Indonesia.go.id - Catatan Seorang Agen Amerika, Penginapan Bersejarah di Terban Taman

Catatan Seorang Agen Amerika, Penginapan Bersejarah di Terban Taman

  • Administrator
  • Kamis, 28 November 2019 | 00:15 WIB
SEJARAH
  Musso dan Suripno, Jogjakarta September 1948. Foto: Koleksi GMT Kahin

Kerumunan itu pun mulai tenang. Wajah-wajah yang marah berganti melunak. Saat Kahin dengan bahasa yang terbata-bata memekik kata 'merdeka'. Semuanya menjadi berubah. Kemarahan hilang sampai kemudian terdengar tepukan tangan.

Lapor dan lapor lagi. Sudah merupakan hal yang tidak bisa dielakkan Kahin. Di Purwokerto komandan wilayah Belanda yang sebelumnya sudah membaca kawat (telegram) tentang Kahin dengan sangat antusias memberi peringatan dan penjelasan bahwa jika Kahin ingin mengendara sendiri ke Yogyakarta bukan tanggung jawab dirinya. Sesuai peraturan Kahin akan ditemani seorang pengawal sampai ke titik terjauh wilayah Belanda.

Seorang kopral, sepertinya dari Ambon, disiapkan untuk Kahin. Perwira Belanda itu sungguh memandang sebelah mata pada Kahin yang jipnya dibekali tiga bendera Amerika. Tapi lumayan, sebelum berangkat perwira itu menyarankan untuk tetap menjaga agar bendera-bendara itu mudah kelihatan terutama ketika sudah melewati titik terluar.

Jip pun melaju ke arah Gombong. Sekitar satu jam terdengar suara tembakan dari sebelah kiri. Kopral Ambon menyarankan untuk berhenti. Dia mengangkat senapannya dan lari menuju gerumbul semak datangnya arah suara. Kahin ditinggal sendiri menunggu. Setengah jam kemudian kopral kembali dengan basah kuyup keringat dan debu. Terlihat senapannya telah dia gunakan. Wajahnya terlihat puas.

Jip kembali berjalan hingga setengah jam lagi. Daerah ini sepertinya adalah daerah yang dimaksud oleh perwira di pangkalan tadi sebagai daerah tak bertuan. Kembali terdengar tembakan. Kejadian yang sama terulang kembali, kopral Ambon lari ke gerumbul semak pepohonan yang cukup lebat. Kali ini Kahin menunggu satu jam sampai kopral Ambon itu kembali datang dengan berkeringat campur debu dan wajah puas.

Akhirnya jip sampai ke kota Gombong. Kopral Ambon membawa Kahin ke ujung jembatan sungai kecil yang merupakan garis status quo. Seorang perwira Belanda menggantikan kopral Ambon dan mengantar Kahin ke tengah jembatan. Terlihat di seberang tampak pos Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seorang bergegas menuju ke tengah jembatan. Ternyata dia adalah Letnan Sutrisno yang menunggu kedatangan Kahin.

Perwira Belanda segera turun dari tempat duduknya di sebelah Kahin dan mempersilakan Letnan Sutrisno naik. Kahin terkesan dengan Letnan Sutrisno yang masih muda, ramah, dan serius. Jip pun berjalan menuju Kebumen yang saat itu itu adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Kebumen di tahun 1948 adalah jantungnya republik.

Blokade Belanda

Setelah perjanjian Renville, wilayah Kebumen adalah pinggir wilayah Republik yang berbatasan dengan garis status quo yang sebenarnya berfungsi sebagai blokade. Bukan hanya untuk lalu lintas kendaraan, tapi juga blokade transportasi logistik. Hal yang sama terjadi Banten dan Sumatra. Belanda bertindak demikian karena tahu di daerah republik pasti mengalami kekurangan pangan. Ditambah dengan ribuan pengungsi menyingkir dari wilayah konflik kondisi hidup di wilayah republik sudah pasti sengsara. Semua dilakukan Belanda agar moral orang republik jatuh dan segera menyerah.

Tanggal 25 Agustus 1948, Kahin dan Letnan Sutrisno masuk ke alun-alun Kebumen. Atas saran Sutrisno, mereka mampir di warung orang Tiongkok di pojokan. Saatnya mengisi perut. Di tengah suasana makan ternyata di luar ternyata terdengar suara kerumunan pemuda. Terdengar suara makian kemarahan yang semakin banyak. Sutrisno tampak khawatir. Dia keluar dan mendapati gerombolan pemuda itu sudah memadati halaman antara warung dan Jip yang diparkir.

Sutrisno terlihat balik dan berkata "Mereka menyangka kau orang Belanda". Dia bilang mereka tak percaya penjelasannya. Kahin sedikit nekat segera keluar menghampiri kerumunan. Dengan bahasa Indonesia separuh-separuh Kahin berusaha meyakinkan mereka. "Ini bendera ada merah ada putih ada biru tetapi bukan Belanda, lihat tanda bintang-bintangnya". Rupanya pemuda-pemuda itu tidak bisa bedakan mana garis merah putih biru dengan garis-garis merah putih dengan bintang berlatar biru. Kahin meyakinkan para pemuda bahwa dia dari Amerika dan Amerika mendukung perjuangan Indonesia.

Kerumunan itu pun mulai tenang. Wajah-wajah yang marah berganti melunak. Saat Kahin dengan bahasa yang terbata-bata memekik kata 'merdeka' semuanya menjadi berubah. Kemarahan hilang sampai kemudian terdengan tepukan tangan. Tak lama kemudian Sutrisno dan Kahin sudah melanjutkan perjalanan ke timur.

Candi Borobudur dan Kelapa Muda

Dari Kebumen, jip melintasi jalur yang lurus dengan bukit-bukit yang kadang menurun panjang. Ketika jalan kembali datar tampak di sebelah kiri pemandangan Candi Borobudur yang terkenal itu. Bangunannya sangat besar, Kahin baru melihat pertama kali. 

Seorang penduduk terkesan melihat ada turis berkunjung. Dia perintahkan seseorang untuk memanjat pohon kelapa dan memberikan Kahin dan Sutrisno air kelapa pelega dahaga. Selama perjalanan Kahin hanya melihat satu mobil melintas. Semakin dekat ke Yogyakarta pedati dan sepeda yang terlihat. Begitu memasuki kota, para pejalan kaki pun terlihat walau tidak terlalu banyak. Kebanyakan mereka kurus kurang gizi dengan baju lusuh. Sebagian melah mengenakan bekas karung goni.

Tiba-tiba terdengar sirine meraung disusul dengan dua pesawat terbang rendah melintasi jalan yang mereka lewati. Mereka terpaksa minggir sampai sirine berhenti. Sutrisno tampak tak terlalu peduli. Dia bilang, ini sudah kesekian kali terjadi latihan untuk siap-siap menghadapi serangan udara Belanda. Baginya latihan ini pemborosan karena hampir menggunakan semua pesawat angkatan udara republik, yakni tiga pesawat Zero buatan Jepang.

Kendaraan terus melaju. Setelah melewati persilangan Malioboro, beberapa menit kemudian mereka sampai ke Terban Taman. Mereka sampai ke sebuah rumah bernomor 8a. Ini adalah rumah penginapan resmi dari pemerintah republik bagi para tamu. Di dalamnya terdapat tiga kamar tidur. Salah satunya disiapkan untuk Kahin. Di sebelah rumah terdapat rumah dalam ukuran yang sama yang diperuntukkan bagi kunjungan petugas PBB ke Yogyakarta.

Kedatangan Kahin ke Yogya ternyata hampir bersamaan dengan kedatangan Merle Cochran, duta Amerika di PBB. Dia datang pada 9 Agustus 1948. Kahin juga mencatat kedatangan Musso, pemimpin Komunis sebelum perang yang datang ke Yogyakarta dari Moskow pada 11 Agustus 1948.  Dia adalah seorang pemimpin komunis yang kabur ke Moskow pada peristiwa pemberontakan 1926-27. Sempat kembali ke Surabaya pada 1935 untuk membangun gerakan bawah tanah tetapi tidak sukses. Dia pun kembali ke Moskow dengan tujuan yang terlihat tidak menentu. Sekarang, pikir Kahin, Moskow sepertinya sudah cukup untuk memulangkan Musso.

Meja Makan Pertemuan

Penginapan Terban Taman terbukti menjadi tempat bersejarah yang mempertemukan tiga "agen" lintas bangsa. Meja makan satu-satunya di rumah itu menjadi saksi bertemunya beberapa orang yang sangat berbeda latar belakangnya. Dua kamar lain yang ada di rumah itu ternyata ditempati dua orang penting. Mereka sudah ada di sana beberapa hari sebelum kedatangan Kahin. Yang pertama ditempat John Coast, seorang anggoa partai Sosialis Demokrat Inggris dengan reputasi mentereng. Dia pernah ditahan Jepang di Singapura dan menjalani kerja paksa membangun "Railway of Death" yang menyambungkan Siam dan Burma. Dia telah menuliskan pengalamannya dalam buku dengan judul yang sama. Sekarang dia menjadi bagian dari Kementerian Luar Negeri Kerajaan Inggris. Yang kedua, ternyata adalah orang yang sangat istimewa. Dia adalah seorang laki-laki yang terlihat berasal dari keluarga terpandang. Dengan sedikit bekas lahir yang ada di tengah keningnya sekilas dia mirip seperti orang berkebangsaan India yang berasal dari kasta yang tinggi.

Namanya Raden Suripno. Dia adalah anak seorang bupati Klaten yang terletak antara Yogyakarta dan Solo. Dia sangat terpelajar dan selama perang menjalani gerakan bawah tanah di Belanda. Pembawaannya ramah dan teguh. Tak heran pembawaan itu ternyata muncul dari pengalamannya yang luar biasa untuk seorang yang cukup muda. Rupanya Suripno adalah aktivis muda Partai Komunis Indonesia  yang menemani kepulangan Musso. Dia bertemu Musso di Praha dan segera menjadi sekretaris pemimpin kawakan. Bersama, mereka terbang New Delhi. Dari India mereka membawa pulang sebuah pesawat penumpang yang dibeli oleh republik. Mereka membawa pesawat itu ke Padang, Sumatra. Di sana mereka tinggal selama seminggu sebelum kembali ke Yogyakarta.

Meja makan di Terban Taman, menjadi saksi seorang Kahin yang menyusun tesis tentang republik yang masih sangat muda. Di sana dia bertemu seorang agen Inggris "kri" yang bekerja untuk kerajaan. Di tempat itu pula dia bertemu dengan anak muda yang kerap berdebat dengannya dalam suasana yang panas walaupun secara ideologi tidak banyak bedanya.

Anak muda itu adalah seorang priyayi yang beberapa waktu kemudian menjadi anggota politbiro Partai Komunis Indonesia. Bersama Musso dan Amir Sjarifuddin, Suripno memilih jalan revolusioner bersenjata yang terlalu prematur. Perbincangannya bersama Kahin di bulan Agustus  hingga awal September 1948 adalah perbincangan terakhir yang dicatat dengan baik oleh seorang sersan veteran perang dunia Amerika Serikat yang menulis tesis doktoral tentang republik negeri kepulauan tropis yang masih belia. (Y-1)