Ada ribuan penelitian telah ditulis orang di Eropa tentang letusan Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883. Tetapi catatan tentang peristiwa itu, dari tangan pertama orang Indonesia, hingga saat ini hanya ada satu yang menuliskannya. Penulis naskah klasik itu bernama Muhammad Saleh. Koran Lampung Post, edisi Minggu 29 Agustus 2010 menulis wawancara khusus dengan orang yang berhasil menemukan dan menerjemahkan naskah Melayu klasik tersebut.
Namanya Suryadi, dalam data pribadinya tertulis nama Surya Suryadi. Kedengarannya seperti orang Jawa tetapi dia adalah orang Minang Tulen. Ada penjelasan tersendiri kenapa beberapa nama orang Minang menggunakan nama Jawa. Salah satunya adalah persoalan trauma politik di masa lalu.
Suryadi adalah lulusan Universitas Andalas tahun 1991. Dia pindah ke Universitas Indonesia untuk menjadi pengajar pada 1994. Tak kunjung menjadi pengajar tetap Suryadi menerima tawaran untuk menjadi dosen tamu penutur bahasa Indonesia di Universitas Leiden. Di Leiden dia menamatkan pendidikan doktornya di bidang Filologi. Dari latar itulah dia menemukan 'pusaka' Syair Lampung Karam. Dalam tulisan di Indonesia.go.id beberapa waktu lalu, disertasi Suryadi tentang Industri Rekaman di Indonesia; Kasus Minangkabau, juga telah sedikit dikupas.
Dua Tahun Berburu
Syair Lampung Karam, adalah sebuah karya yang telah menjadi bagian dari naskah Melayu Klasik karena telah berumur 125 tahun. Selama itu naskah ini terselip di perpustakaan Inggris, Belanda, Jerman, Russia, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Berkat ketekunan Suryadi selama dua tahun melakukan penelitian, syair catatan pribadi yang ditulis dalam bentuk pantun ini bisa 'lahir' kembali.
Banyak hal menarik dari naskah hasil karya seseorang bernama Muhammad Saleh yang diperkirakan oleh Suryadi adalah salah seorang penyintas bencana alam yang dahsyat itu. Yang pertama tentu saja adalah representasi catatan Muhammad Saleh sebagai satu-satunya orang Lampung atau orang Indonesia pada saat ini yang mencatat bencana katastropik itu.
Suryadi yang menelusuri banyak sumber-sumber naskah klasik hingga wawancara dengan Lampung Post belum menemukan catatan lain tentang peristiwa itu dari orang Indonesia atau orang Melayu lainnya.
Siapakah sosok penulis bernama Muhammad Saleh? Suryadi, mengaku kepada Lampung Post, bahwa dia belum mengetahui sumber sejarah yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya penulis naskah dalam tradisi Melayu-Jawi atau huruf Arab Pegon ini. Suryadi hanya bisa menjelaskan bahwa Muhammad Saleh berada di Lampung pada saat letusan Krakatau terjadi.
Bagi Suryadi yang lebih penting adalah melihat hasil karya Muhammad Saleh yang bisa menunjukkan bahwa catatan dia menunjukkan kejujurannya. Dia terlihat tidak mengada-ada dalam tulisannya. Dia lebih mirip seorang 'pelapor', mirip dengan wartawan, ketimbang sastrawan. Satu yang ditulis oleh Muhammad Saleh adalah kerendahan hatinya untuk menyatakan bahwa ia bukanlah seorang yang pandai syair.
Tujuan menulis syair dia katakan semata-mata hanya berbagi cerita duka warga Lampung yang terkena musibah kepada sesama saudaranya di tempat lain. Muhammad Saleh, dalam bayangan Suryadi mewakili ciri khas orang dengan latar belakang budaya Melayu dalam bercerita tentang bencana. Beberapa kali dia menulis syair yang melihat bencana itu sebagai cobaan dari Allah terhadap manusia yang mungkin sudah banyak berbuat dosa.
Dokumen Litografi
Arman AZ, seorang pencinta sejarah asal Lampung, menulis pada koran yang sama Lampung Post edisi Minggu 30 November 2014. Dia menulis perkembangan lebih jauh terhadap penerbitan buku karya Suryadi tentang Syair Lampung Karam yang berkembang di tingkat nasional maupun internasional. Lebih jauh dia menjelaskan tentang ihwal naskah Melayu klasik ini.
Naskah ini berbentuk dokumen litografi. Litografi adalah teknik percetakan pada pertengahan abad 19 yang mampu membuat penulisan dokumen pada waktu itu bisa diperbanyak walaupun tidak sebanyak teknologi percetakan dengan plat timah pengembangan teknologi Gutenberg yang lebih berkembang kemudian.
Teknologi Litografi menggunakan prinsip tolak-menolak antara air dan minyak bertemu dengan medium cetak dan tinta. Teknik Litografi adalah teknik yang sangat dikuasai oleh kaum cerdik pandai yang berkembang di seputar Samudera Hindia hingga Selat Malaka.
Naskah catatan pribadi Muhammad Saleh yang diteliti Suryadi ada empat edisi. Yang pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu. Naskah kedua berjudul, Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut, Naskah ketiga berjudul, Syair Lampung dan Anyer dan Tanjungkarang Naik Air Laut. Dan naskah keempat berjudul, Inilah Syair Lampung Karam Adanya. Naskah keempat adalah edisi revisi dari tiga sebelumnya.
Beberapa catatan di naskah menunjukkan bahwa naskah ini diselesaikan di sebuah kampung bernama Kampung Bangkahulu yang ada di Singapura. Ruas jalan ini di Singapura telah menjadi Bencoolen Street. Ada beberapa kosa kata Melayu yang saat ini menurut Arman AZ sudah tidak lazim dipakai seperti da'wat, hasir, nazam, lalas, bahi, cayak-miyak, dan wazrang. Apresiasi tersendiri diberikan oleh Arman AZ kepada John H McGlynn yang bersusah-payah menerjemahkan hasil penerjemahan Suryadi atas karya Muhammad Saleh ke dalam Bahasa Inggris dengan rasa pantun Melayu. Upaya penterjemahan itu bukan main-main. John McGlynn bahkan perlu melakukan kunjungan ke tempat-tempat kejadian bencana untuk bisa menyelami suasana 'reportase' Muhammad Saleh.
Kerja Kolektif yang Luar Biasa
Atas penerbitan terjemahan Syair Lampung Karam ke dalam Bahasa Inggris oleh John McGlynn pada 2014, sejarawan senior Peter Carey sangat mengapresiasi upaya tersebut. Artikel karya Harry Aveling dari Monash University dalam International Journal of Asia-Pacific Studies, July 2016 menulis tentang kerja kolektif di balik upaya mengangkat manuskrip Melayu Klasik ini.
Harry menulis bahwa penerjemahan karya klasik ini adalah kerja orang banyak. Disebutkan penerjemahnya adalah John McGlynn berdasarkan transeliterasi Romawi-Melayu karya Suryadi dan kajian syair Melayu yang dilakukan oleh Ian Proudfoot dan Virginia Hooker.
Di dalam artikel Harry menyebutkan bahwa naskah pertama berasal dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan Perpustakaan Negara Russia, Moskow. Naskah kedua berasal dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah ketiga berasal dari perpustakaan Universitas Cambridge, London dan naskah keempat berasal dari Jakarta, Leiden, London, Malaysia, dan Frankfurt.
Satu hal yang sangat mengesankan bagi Harry dari cara menulis seorang Muhammad Saleh, yang jejak sejarahnya masih harus dicari lebih lanjut, adalah kerendahan hati seorang penulis cerdik pandai yang menulis kisah tutur dalam bentuk pantun Melayu yang masih mengesankan bahkan hingga sekarang ini. (Y-1)