Untung Surapati, sebuah legenda. Kisah hidupnya adalah ikonik tentang heroisme. Sikap heroisme dan militansinya melawan penjajahan Belanda inilah, membuat namanya terangkat jadi tokoh legendaris.
Bukan semata bagi masyarakat Jawa, baik kalangan kawula maupun priayi, namanya juga sangat populer di Kalimantan, Maluku, dan Sunda. Merujuk Ferdinand Wiggers dalam Nyai Isah dan Cerita lainnya mencatat, sejak abad ke-19 nama Surapati telah menjadi ikon dan simbol perlawanan melawan kolonialisme Belanda di tengah-tengah masyarakat itu.
Tercatat sejarah, di Kalimantan pernah ada seorang pemberontak yang saat melawan Belanda menggunakan nama Surapati. Juga di Maluku terdapat puak yang menggunakan nama Soripatty. Bahkan hingga memasuki abad ke-20, di Sukabumi terbit majalah berbahasa Sunda yang bernama Soerapati, sedangkan "verantwoordelijk redactur"-nya juga menamakan diri Oentoeng.
Lebih dari itu. Riwayat hidupnya bahkan menjadi lakon favorit dalam wayang krucil dan pementasan ketoprak di Jawa Tengah di akhir abad ke-19 dan hingga era kontemporer sekarang.
Ya, pada 8 Februari 1686 terjadi kasus pembunuhan Kapten Francois Tack di depan alun-alun Keraton Kartosura, Solo. Jelas, kasus ini sebuah peristiwa yang sangat menggemparkan ketika itu. Ya, “pembunuhan Kapten Francois Tack merupakan salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah VOC,” ujar sejarawan HJ de Graff.
Menjadikan peristiwa pembunuhan Kapten Tack menjadi satu lakon favorit dalam medium seni pertunjukan tradisional tentu cukup subversif pada zamannya. Di balik kasus pembunuhan Kapten Tack itulah nama Untung Surapati selalu disematkan sebagai terdakwa utamanya. Sekalipun di sisi lain sumber lain sebenarnya justru mengklaim pelakunya ialah tokoh lain dan bukan Surapati.
Ya, popularitas Surapati di akhir abad ke-19 ini pula yang menjadi dasar alasan Ferdinand Wiggers, saat memilih karya sastra Belanda yang hendak diterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu lingua franca.
Berupa novel dengan judul Van Slaaf tot Vorst, terbit pertamakali di Belanda pada 1887. Ditulis oleh seorang penulis perempuan Belanda, Nicolina Maria Christina Sloot (1853-1927), novel bergenre roman sejarah ini kemudian diterjemahkan Wiggers dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Terbit di Hindia pada 1898, novel ini bercerita tentang kisah Untung Surapati.
Artinya, saat Christina Sloot terinspirasi menuliskan kembali kisah hidup sosok dari Bali ini menjadi novel, dan Wiggers menerjemahkannya ke Bahasa Melayu, maka mudah diduga cerita tentang hidup Untung Surapati sendiri telah melegenda jauh hari di Nusantara. Mungkin sebelum abad ke-19, nama Untung Surapati bahkan telah masyur dan melegenda di tanah air, setidaknya di Jawa.
Naskah-naskah Tradisional
Ya, bicara teks tradisional seputar kisah dan legenda Untung Surapati tampaknya cukup banyak ditemui. Merujuk Maharsi (2008) dalam Kajian Filologi; Naskah Babad Surapati disebutkan kisah ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi, Babad Surapati, Babad Mentawis, Babad Kraton, Babad Trunajaya, Babad Trunajaya-Surapati, dan Babad Kartosura.
Kembali pada kasus Kapten Tack. Menurut Mahandis Yoanata Thamrin (2014) dalam Investigasi Terbunuhnya Kapten Tack di Kartosura, merujuk Babad Tanah Jawi, dikatakan perang itu memakan korban tewas sebanyak 79 serdadu VOC dan satu serdadu hilang. Sementara itu di pihak Surapati, sekitar 50 orang Bali tewas. Sebanyak 20 luka berat, di mana 15 di antaranya akhirnya juga tewas.
Masih merujuk sumber historiografi tradisional tersebut, Thamrin mengatakan Babad Tanah Jawi menulis nama Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat II, sebagai pembunuhnya. Atas perintah Sunan, Pangeran Puger sengaja membantu pasukan Surapati dan menyamar sebagai pasukan Bali. Konon, Kapten Tack, perwira muda yang sohor berjasa memadamkan pemberontakan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa ini, luka dengan 20 tusukan berat karena ditikam tombak pusaka Kyai Plered.
Sementara itu, bicara Babad Surapati bukan hanya dikenal di Jawa Barat, melainkan juga di Jawa Timur. Masih dari Jawa Timur, di ujung paling timur pulau ini yaitu Blambangan, pun ditemukan varian babad ini. Demikianlah hasil penelitian Ann Kumar dalam Surapati: Man and Legend: a Study of Three Babad Traditions.
Adanya Babad Surapati yang menempatkan Untung Surapati sebagai subjek utama, jelas membuktikan adanya pengakuan para pujangga Jawa (baca: “intelektual publik”) saat itu akan kiprah dan ketokohannya. Kumar bahkan mengatakan, Surapati merupakan tokoh istimewa dalam sejarah Jawa.
Kembali merujuk Maharsi, kata surapati baik dalam bahasa Jawa Kuno maupun Jawa Baru memiliki arti yang sama, yaitu ‘raja dewa’.
Jika nama ‘untung’ adalah pemberian majikan Belanda-nya dan sekaligus orang tua kekasihnya, Susanna Moor. Maka nama ‘Surapati’ adalah nama pemberian Sultan Cirebon. Masih merujuk Maharsi, nama sebelumnya ialah Joko Untung. Sumber lain dari Bali mengatakan nama sebelumnya ialah Surawira Aji.
Surapati, pada awalnya merupakan nama putra angkat Sultan Cirebon. Namun karena kasus berbohong kepada Sultan, kemudian ia dihukum mati.
Setelah Surapati dihukum mati, nama ini kemudian disematkan pada pemuda dari Bali itu. Pemberian nama Surapati ini menunjukkan, Joko Untung atau Surawira Aji, pantas menyandang nama Surapati yang berarti ‘raja dewa’. Bukan hanya soal kepantasan, penyematan nama Surapati juga disinyalir merupakan bentuk penghormatan baginya dari kalangan aristokrat.
Dari pelbagai naskah tradisional dari Jawa Timur, masih merujuk Maharsi, setidaknya hingga saat ini terdapat tujuh variasi naskah. Menarik digarisbawahi di sini, dalam naskah-naskah itu Surapati juga diceritakan diakui sebagai putra Sunan Amangkurat II.
Naskah-Naskah Baru
Sementara itu, teks ‘modern’ barulah muncul setelah Christina Sloot atau Masyhur dengan nama pena Melati van Jawa, menulis karya novelnya. Seperti telah disinggung di muka, novel ini lantas diterjemahkan oleh Ferdinand Wiggers, seorang jurnalis peranakan Eropa sekaligus pelopor penulisan karya-karya sastra di negeri ini. Terjemahan dari Van Slaaf Tot Vorst, yaitu Dari Boedak Sampe Djado Radja disebut-sebut sebagai karya terpenting Wiggers.
Agung Dwi Ertato (2018) dalam Pesakitan Ambtenaar yang Jadi Juru Karang Ternama setidaknya memberikan tiga alasan mengapa karya terjemahan itu bernilai fenomenal.
Pertama, Wiggers tidak memilih karya yang populer baik dari sisi pengarang maupun dari sisi modus cerita untuk diterjemahkan. Kedua, isi dari cerita tersebut lebih dekat pada pihak pribumi daripada pihak kolonial maupun kelas menengah di Tanah Hindia Belanda. Dan terakhir atau ketiga, pengarang cerita asli yaitu Melati van Java hidup sezaman dengan Wiggers.
Terkait ini, Pramoedya Ananta Toer dalam Antologi Sastra Pra-Indonesia, dan diterbitkan kembali oleh Hasta Mitra pada 1983, memberikan catatan:
“Terjemahan Dari Boedak Sampai Djadi Radja dapat ditafsirkan sebagai pernyataan simpati pada tokoh legendaris Surapati yang konsekuen menentang penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya.”
Selain Melati van Java dan Wiggers, patut disebutkan nama penulis lokal, yaitu Abdoel Moeis (1883-1959). Terbit di 1950, dia menulis romannya dengan judul Surapati. Selang dua tahun kemudian, pada 1953, sebagai kelanjutan kisah Surapati juga ditulis sebuah novel lain dengan judul Robert, Anak Surapati.
Mengingat makna ikonik Untung Surapati sebagai simbol perlawanan atas kolonialisme Belanda, dan sekaligus bermaksud mengabadikan namanya, maka Taman Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pascakemerdekaan Indonesia diubah namanya menjadi “Taman Surapati.”
Selain itu, pemerintah Indonesia berdasarkan SK Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975 telah menetapkan sosok legendaris ini sebagai Pahlawan Nasional. (W-1)