Beberapa orang memukul gong dan kenong—alat musik gamelan yang bernada tinggi--yang ada di pendopo adat. Sejumlah perempuan menggunakan rompi merah dengan ikat kepala menari mengelilingi wadah tempat sesajen.
Sambil menari mereka merapalkan doa-doa. Dalam wadah itu sejumlah sesajen diletakkan. Ada kepala babi, kepala anjing, ayam, beras, telor, dan arak. Juga ada tengkorak manusia dan rusa juga terlihat di dekat wadah sesajen itu.
Setelah tarian, dukun adat terlihat mengusap-usap wadah sesajen sambil mengumandangkan doa. Tokoh adat setempat, Antonius Angeu, terlihat berjalan sambil membawa botol yang berisi arak. Ia membagikan minuman itu kepada warga yang berkumpul di situ.
Kesibukan upacara sudah terlihat sejak pagi menjelang siang, Selasa (31/3/2020). Semua warga, mulai anak-anak hingga orang tua yang tinggal di Dusun Mangkau Desa Papapasang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat berkumpul di pendopo adat itu.
Hari itu sub suku Dayak Sungkung Jogu menggelar ritual adat naik panca atau ritual untuk memanggil komang tariu (roh para leluhur).
Ritual ini hanya digelar jika ada sampar atau wabah penyakit dan jika ada peperangan besar. Karena saat ini, dunia termasuk Indonesia sedang dilanda pagebluk corona, ritual itu mereka gelar. Mereka berharap dengan digelarnya ritual ini, sampar tak mampir ke wilayah mereka. "Ini ritual besar kami untuk tolak bala. Dulu leluhur kami melakukan ini jika ada wabah," kata Antonius Angeu.
Ada sejumlah larangan setelah ritual ini digelar. Mereka dilarang keluar rumah selama empat hari empat malam, dilarang makan babi, anjing, dan ayam, dilarang membawa rebung dan pakis, dan tak boleh pergi ke hutan.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1587041378_antarafoto_aksi_cukur_gundul_lawan_virus_corona_250320_yud_3_min.jpg" />
Wali Kota Solo FX. Hadi Rudyatmo (kedua kanan) mencukur rambut pejabat daerah Pemerintah Kota Solo saat aksi cukur gundul rambut bersama di Rumah Dinas Walikota Loji Gandrung, Solo, Jawa Tengah, Rabu (25/3/2020). Aksi cukur gundul bersama yang menurut kepercayaan orang Jawa sebagai salah satu cara menolak bala tersebut merupakan bentuk ikhtiar dan berharap Kota Solo bisa segera bebas dari wabah virus Corona COVID-19. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Kena Sanksi
Bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi adat. Jika ada yang melanggar ritual akan digelar kembali dan biayanya akan dikenakan kepada yang melanggar.
Ritual tolak bala ini merupakan anjuran dari dewan adat yang ada di Pulau Kalimantan. Ada tujuh rumpun suku Dayak besar dan 405 sub suku yang mendiami Kalimantan.
Dayak Sungkung Jogu, hanyalah satu dari 405 sub suku Dayak itu. Untuk membantu pemerintah menangani sampar ini, Dewan Adat Dayak menyerukan kepada seluruh masyarakat suku Dayak untuk melakukan ritual tolak bala ini. Ritual semacam ini, menurut Antonius, biasa dilakukan leluhur mereka ketika sampar melanda wilayah mereka.
Tak hanya suku dayak. Ritual tolak bala semacam ini juga dilakukan oleh beberapa suku adat di Indonesia. Mereka rata-rata masih menjalankan tradisi leluhurnya sampai saat ini.
Di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada ritual Joka Segu Ngawu Re'e. Ritual ini dilakukan di tepi Pantai Wara, Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Senin (30/3/2020).
Ritual dilakukan di bibir pantai dekat desa itu. Menghadap ke pantai, ritual ini dipimpin mosalaki (tetua adat) Laki Pu'u Bernandus Kere (82 tahun).
Mengenakan ikat kepala, Bernadus Kere terlihat duduk di kursi plastik warna biru. Ia didampingi delapan mosalaki lainnya yang duduk bersila di pasir. Sejumlah warga yang turut dalam ritual ini ada yang lesehan, banyak juga yang berdiri.
Sebatang bambu dibentuk setengah lingkaran yang menyerupai pintu. Batang bambu itu diikat janur. Janur dan bambu itu juga dipasang sepanjang bibir pantai.
Di hadapan Bernadus ada batu lonjong yang ditegakkan dan tiga buah batu ceper di sekelilingnya. Darah babi dipercikkan di batu-batu itu. Di sekelilingnya diletakkan tembakau yang telah dilinting menggunakan daun koli, sirih pinang, telor, dan beras.
"Batu-batu ini dinamakan mase atau mahe, tempat diletakkannya persembahan atau sesajen. Mase menjadi pusat pagelaran ritual adat. Tiga mase lainnya sebagai penopang," kata Robertus Beke salah, seorang mosalaki.
Sambil menatap tajam, mulut Bernadus komat-kamit membaca mantra memanggil arwah leluhur agar hadir dalam ritual yang ditujukan untuk mengusir sampar corona. Lalu ia meletakkan nasi bersama daging ayam dan menuangkan arak di atas mase.
Bernadus lalu menancapkan kayu Reo di samping mase dan meletakkan nyiru di kayu itu dengan bagian belakangnya menghadap laut. Dalam kepercayaan mereka, peletakan nyiru itu sebagai simbol penahan agar penyakit tak singgah ke daerahnya.
Tempat ritual ini dinamakan Kuwu Si’e, pembuangan segala jenis wabah penyakit dan segala sesuatu yang jelek. “Kalau ada sesuatu yang dilihat tidak beres, para Mosalaki berkumpul dan bermusyawarah untuk membuat adat untuk menolak bala mengusir penyakit,” kata Blasius Senda, mosalaki lainnya.
Dalam kepercayaan mereka, menurut Blasius, leluhur harus memberi makan dan minum. Kepada leluhurnya itu mereka meminta agar mengantarkan sampar corona ke rumah asalnya.
Blasius meyakini, selain bisa diobati secara medis, corona juga dapat dihalau dengan melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa dengan cara menggelar upacara adat seperti yang mereka lakukan.
Setelah ritual adat digelar, ada dua pantangan yang harus ditaati, yakni dilarang menerima tamu dari luar selama dua hari dan dilarang membuat kegaduhan.
Ada yang Salah
“Masyarakat adat percaya, segala hama penyakit terjadi karena ada sesuatu yang salah baik perbuatan maupun lainnya. Termasuk melakukan kesalahan terhadap lingkungan dan alam sekitar sehingga harus ada ritual tolak bala,” ujar Blasius.
Pagebluk corona yang belum ditemukan obatnya ini memang membuat banyak orang resah. Virus yang berawal dari Wuhan, Tiongkok itu kini telah menyebar ke 152 negara. Di Indonesia, hingga Minggu (12/4/2020) virus itu telah menyebar di 34 atau seluruh provinsi di Indonesia.
Virus itu hingga menginfeksi 4.241 orang dan merenggut 373 orang Indonesia. Dari jumlah terinfeksi itu 359 orang dinyatakan sembuh. Sementara untuk data global, virus itu tercatat telah meninfeksi 1.810.846 orang, 112.222 orang meninggal, dan 415.131 orang dinyatakan sembuh.
Melihat banyak korban yang berjatuhan, tak mengherankan jika sejumlah suku adat melaksanakan ritual sebagaimana dulu leluhur mereka melakukannya.
Tak hanya suku Dayak dan suku di NTT tapi juga sejumlah suku adat yang ada di Indonesia, termasuk suku Jawa. Di Jawa, ritual tolak bala ini bisa kita jumpai di Solo. Di daerah ini, sejumlah warga menggelar ritual dengan memasang sesaji gantungan daun alang-alang, dan daun opo-opo, memasak sayur lodeh, hingga cukur gundul.
"Kalau Keraton Yogya tolak bala dengan sayur lodeh, kalau saya dengan ritual memasang godong (daun) alang-alang dan godong opo-opo," ujar GKR Wandansari, salah satu keluarga Keraton Solo.
Sesaji dua daun itu mereka gantung di atas pintu-pintu. Harapannya, sesaji itu bisa menangkal pagebluk corona yang sedang mewabah ini. Pemasangan sudah dimulai sejak 15 Maret lalu.
Di Kelurahan Gandekan, Jebres, Solo, ritual tolak bala juga digelar pada Senin (23/3/2020). Ritual dilakukan dengan memasak dan makan bersama sayur lodeh tujuh rupa. Sayur lodeh tujuh rupa itu terdiri dari kluwih, terung, kulit melinjo, waluh, daun so, tempe, dan cang gleyor.
Menurut Arik Rahmadani, warga Gandekan, ritual sayur lodeh tujuh rupa itu merupakan tradisi yang dilakukan leluhurnya jika ada pagebluk.
Cara lainnya dilakukan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo yang melakukan cukur gundul bersama jajaran pejabat kota Solo. Rudy meyakini cukur gundul ini sebagai cara menolak bala wabah corona. "Gundul itu kan simbol membersihkan segala sesuatu kotoran," katanya.
Pakar antropologi yang juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta, Yando Zakaria, melihat cara mereka menangkal sampar corona ini tak lain adalah upaya untuk menjaga keseimbangan.
Keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Sang Pencipta. Itulah cara mereka menangkal sampar. Ikhtiar menangkal wabah yang belum ditemukan obatnya.
Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Elvira
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini