Sejak pemerintah menetapkan pentingnya social distancing atau jaga jarak aman dalam mencegah persebaran Covid-19, gereja-gereja jadi sepi. Apalagi, ketika norma social distancing itu meningkat ke physical distancing seiring diberlakukannya situasi Pengaturan Sosial Berskala Besar (PSBB). Umat Kristiani tak lagi berbondong-bondong di hari Minggu untuk pergi beribadat di gereja. Kebiasaan barunya, saat ini, sehabis mandi pagi dan berpakaian pantas, umat duduk manis di depan televisi dan mencari channel streaming misa mingguan.
Pandemi virus corona yang menyebabkan Covid-19 membuat gereja Katolik memutuskan menggelar misa secara online atau melalui video siaran langsung melalui kanal Youtube maupun televisi dan radio. Misa online ini menjadi cara untuk mendukung pemerintah yang meminta masyarakat agar tidak berkumpul dan menjaga jarak dengan orang lain, sebagai upaya mencegah penyebarluasan Covid-19. Sejak 21 Maret 2020, sejumlah gereja sudah melakukan misa secara online.
Beberapa Minggu terakhir merupakan perayaan Paskah bagi umat Kristiani. Begitu pula Paskah menjadi perayaan terpenting dalam tahun liturgi gereja Katolik. Bagi umat Katolik, Paskah memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup Yesus, yaitu hari kebangkitan Yesus. Rangkaian Paskah di mulai dari Rabu Abu, Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, sampai perayaan Minggu Paskah. Dari beberapa peristiwa itu ada tiga yang terjadi di pekan suci, yakni di minggu terakhir sebelum Paskah. Ketiga perayaan itu Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci.
Perayaan Paskah tahun 2020 ini tak lagi ada pemberkatan daun palma yang dibawa umat di Minggu Palma. Daun palma (palem) diyakini sebagai simbol penyambutan terhadap Yesus saat masuk kota Yerusalem. Namun, Paskah 2020 ini juga tidak ada acara pembasuhan kaki umat oleh pemimpinnya di misa Kamis Putih. Tak ada acara penciuman salib di ibadah Jumat Agung.
Umat Katolik pada umumnya duduk diam dan khusuk di rumah mengikuti ibadah secara online yang diselenggarakan oleh Keuskupan atau Paroki masing-masing. Pilihan lainnya, mengikuti ibadah yang diselenggarakan Keuskupan Agung Jakarta melalui siaran langsung lewat TVRI, Kompas TV, dan RRI serta live streaming yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo.
Namun, bagi umat Katolik pada umumnya perayaan melalui media online tidak mengurangi makna Tri Hari Suci. Karena bagi mereka yang paling utama ada di dalam hati, yaitu iman yang selalu bersinar terang. Spirit Tri Hari Suci selalu dirayakan dalam keheningan dan kontemplasi.
Memang, seperti ada yang kurang dalam perayaan Paskah atau misa online. Misalnya, di dalam ibadat online tidak ada penerimaan komuni (pembagian hosti sebagai pertanda tubuh dan darah Kristus). Hosti adalah roti tanpa ragi yang digunakan dalam perayaan ekaristi. Hosti berbentuk lebih tipis dari uang logam.
Catatan lainnya, anak-anak tak lagi dapat berkat tanda salib di akhir ibadah. Tak ada pula jabat tangan sebagai salam damai dengan umat di dekat tempat duduk seusai homili. Homili merupakan fase penerimaan firman Allah dalam liturgi ibadah umat Katolik.
Apakah misa online sah? Romo (Pastor) Andreas Atawolo OFM, dosen teologi dogmatik di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, mengulas hal itu lewat artikel di blognya andreatawolo.id. Dalam artikel berjudul “Misa Online Banyak Maknanya,” itu Romo Andreas Atawolo menjelaskan bahwa dalam misa online ini, umat pada prinsipnya “berpartisipasi” dan karena itu “bukan sekadar menonton.”
“Partisipasi yang dimaksud ialah adanya Imam Katolik merayakan Ekaristi yang disiarkan secara live, dan di saat yang sama umat berpartisipasi melalui media digital, tentu sejauh dapat dijangkau,” tulisnya.
Apakah misa itu sah? Romo Andreas Atawolo menegaskan bahwa itu adalah sah. “Dalam situasi khusus ini jelas bahwa hal yang paling kita rindukan, yaitu menerima Tubuh Kristus dalam rupa hosti kudus memang tidak terjadi.”
Communio (persekutuan) tanpa menerima hosti, kata Romo Andreas Atawolo, menjadi saat untuk sadar bahwa makna simbol itu terbatas, namun kasih Tuhan tidak dibatasi oleh simbol; bahwa kita makhluk terbatas, namun dikasihi Tuhan tanpa batas ruang dan waktu.
“Antara Paus Fransiskus yang merayakan Ekaristi di Vatikan sana dan seorang umat di pedalaman Pulau Flores sana terdapat sebuah ikatan batin: keduanya bersatu dalam gereja Katolik, Satu, Kudus dan Apostolik,” tambahnya.
Sementara itu, Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dalam kotbah pada misa Paskah 2020 mengaitkan Paskah dalam kondisi kontekstual yang dirasakan Bangsa Indonesia hari-hari ini. "Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apa relevansi perayaan Paskah pada masa kita umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia, pada khususnya sedang mengalami pandemi wabah virus corona ini,” ujar Kardinal Suharyo.
Uskup mengatakan, wabah muncul karena manusia telah merusak tatanan dan harmoni alam. Perusakan alam ini membuatnya tidak seimbang lagi, dan ini berakibat sangat luas dan beragam seperti pemanasan bumi, perubahan iklim, polusi, dan munculnya berbagai penyakit baru.
Ketidakseimbangan ini menurut Kardinal Suharyo membuat tubuh manusia tidak seimbang pula, imunitas melemah, sehingga manusia menjadi rentan wabah. Seharusnya, alam memiliki caranya sendiri meredam wabah. Tetapi ketika nafsu, keserakahan dan kesombongan manusia telah mengakibatkan rusaknya alam, wabah menjadi tidak terbendung.
“Terkait ini, Paus Fransiskus mengatakan, dengan keserakahannya, manusia mau menggantikan tempat Allah. Dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam,” tegasnya.
Menurut Kardinal Suharyo, manusia terlibat dalam dosa terhadap alam yang telah diciptakan-Nya. Wabah adalah isyarat alamiah bahwa manusia telah mengingkari jati dirinya sebagai citra Allah yang bertugas untuk menjaga kelestarian alam, bukan mengingkarinya. “Wabah menyadarkan bahwa manusia adalah ciptaan rapuh yang tidak mungkin bertahan hidup jika alam ciptaan lainnya dihancurkan,” tegasnya.
Meski begitu, kata Kardinal, ada rasa syukur di tengah pandemi Covid-19 ini. Hal itu adalah solidaritas dan kerelaan berkorban dalam berbagai macam bentuk. Tumbuhnya hal-hal itu adalah Paskah yang nyata.
Dalam ajaran gereja Katolik, Tri Hari Suci merupakan momentum penting ketika iman mampu mengalahkan maut. Spirit ini menjadi optimisme yang diharapkan mampu mengalahkan maut seperti makna terdalam Paskah sejati. Hal itu bisa memberi semangat sekaligus pelajaran penting untuk melewati situasi darurat Covid-19.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini