Indonesia.go.id - KH Noer Ali, Ulama Kharismatik di Medan Perang

KH Noer Ali, Ulama Kharismatik di Medan Perang

  • Administrator
  • Selasa, 21 Mei 2019 | 17:00 WIB
SEJARAH
  KH Noer Ali. Foto: Istimewa

Wilayah Karawang-Bekasi punya catatan sejarah yang membanggakan. Dari heroisme Karawang-Bekasi pula Sastrawan Chairil Anwar terinspirasi membuat karya puisi yang melegenda hingga kini. Daerah Karawang-Bekasi jadi meninggalkan riwayat suatu wilayah yang terletak di Jawa Barat itu pernah lahir seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang ditakuti penjajah.

KH Noer Ali, sosok ulama kharismatik yang menjadi “singa” saat masa merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda dan Jepang. Lahir di Babelan, Bekasi, pada tahun 1914. Wawasan keislaman KH Noer Ali tidak perlu diragukan lagi. Ia telah melanglang buana belajar keislaman kepada para ulama besar di Tanah Air maupun di Makkah.

Saat usia 8 tahun, KH Noer Ali telah belajar mengeja dan membaca bahasa Arab, mengaji dan menghafal surah-surah dalam Al Quran kepada Guru Maksum di Kampung Bulak. KH Noer Ali juga menimba pengetahuan keislaman mengenai tarikh para Nabi, ahlak dan fiqih di sana.

Semakin beranjak dewasa, KH Noer Ali terus memperdalam ilmu agama Islam. Salah satunya yaitu ke Guru Mughni di Ujung Malang. Di situ KH Noer Ali berguru ilmu keislaman tentang tauhid. Ketika memperdalam pengetahuan keislaman di Guru Mughni, KH Noer Ali adalah santri paling cerdas. Hal itu diakui langsung oleh sang guru.

Saat masa pendidikan memperdalam wawasan keislaman itulah KH Noer Ali secara langsung juga melihat kondisi nyata kehidupan bangsa dan masyarakatnya. KH Noer Ali melihat ada yang timpang antara ilmu keislaman diperolehnya dengan fakta realita. Adanya kesewenangan tuan tanah ke warga pribumi, kekejian aparat kolonial kala itu, ketidakadilan, maksiat dan lainnya. Semangat cinta Tanag Air mulai lahir dalam diri serta jiwa KH Noer Ali.

KH Noer Ali juga sempat mengenyam pendidikan pesantren ke Guru KH Marzuki. Di pondok pesantren, KH Noer Ali tetap mempertahankan predikat sebaga murid yang cerdas. Saat di pesantren inilah KH Noer Ali mulai mahir menggunakan senapan sebab hobinya memburu bajing kala waktu senggang.

Tahun 1934 KH Noer Ali berangkat ke Makkah untuk kembali meneruskan pencarian ilmu keislaman. Kepergiannya belajar ilmu agama Islam ke Makkah sempat membuat hati Guru KH Marzuki bimbang. Namun tekad KH Noer Ali akhirnya mampu meluluhkan hati sang guru. KH Noer Ali berangkat ke Makkah dengan uang pinjaman.

Selama belajar pengetahuan keislaman di Makkah, KH Noer Ali banyak berguru kepada para Syaikh. Namun sesuai nasehat gurunya, KH Marzuki, agar mengutamakan belajar kepada Syaikh Ali Al Maliki. bahkan akhirnya KH Noer Ali jadi santri kesayangan Syaikh Ali Al Maliki. Dan begitu juga sebaliknya.

Meskipun sedang belajar ilmu keislaman di Makkah dengan para Syaikh, KH Noer Ali tetap mengingat bangsanya. KH Noer Ali terus mencari informasi soal kondisi Indonesia dan dunia. Informasi tentang Indonesia diperoleh KH Noer Ali dari surat orang tuanya serta Koran di Arab Saudi. Hati dan semangat KH Noer Ali bergolak. Ia ingin ikut berkontribusi memerdekakan Tanah Airnya.

Kemudian KH Noer Ali bersama rekan lainnya dari Indonesia di Makkah membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB). Tahun 1939 KH Noer Ali pulang ke Indonesia. Lalu tahun 1940, KH Noer Ali mendirikan pondok pesantren.

Kedatangan KH Noer Ali kembali ke Tanah Air merisaukan para tuan tanah dan pemerintah kolonial. Sebab seluruh warga dengan sukarela memberikan tanahnya untuk pembangunan akses jalan di Ujung Malang, Teluk Pucung dan Pondok Ungu. Hal yang membuat tuan tanah kehilangan perilaku jahatnya sebab selama ini kerap membeli tanah dengan harga yang merugikan warga.

Tahun 1942, nama KH Noer Ali masuk dalam daftar ulama yang harus bekerja sama dengan penjajah Jepang. Di tahun yang sama, penjajah Jepang memintanya agar bersedia bekerja sama dengan Jepang melalui rekan sejawat KH Noer Ali asal Thailand saat menjadi santri di Makkah. KH Noer Ali dengan tegas menolaknya. Ia tak ingin pesantrennya nanti tak terurus dan para santrinya terpecah sebab enggan berkompromi dengan penjajah Jepang.

Pada masa perebutan kemerdekaan, KH Noer Ali mempersiapkan santrinya untuk masuk ke latihan kemiliteran yang dibentuk Jepang. Ada juga yang disalurkan ke Pasukan Pembela Tanah Air agar ikut berperang di medan tempur.

KH Noer Ali bukan hanya berdiam diri sebagai ulama. Ia adalah “singa” medan perang. KH Noer Ali memimpin lascar-laskar rakyat untuk bertempur merebut kemerdekaan. KH Noer Ali bahkan pernah menjadi Komandan Bataliyon Tentara Hizbullah Bekasi.

Sejarah mencatat, tahun 1947 KH Noer Ali terlibat pada pertempuran sengit di Karawang-Bekasi dengan tentara penjajah Belanda. KH Noer Ali kala itu memerintahkan warga dan pasukannya untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil lalu dipasang di setiap pohon dan tiang. Tujuannya untuk mempertegas bahwa Indonesia masih ada dan siap mempertahankan kemerdekaannya. (K-HL)