Indonesia memiliki keanekaragaman satwa langka dilindungi yang tinggi di dunia, namun keberadaan binatang itu juga memiliki tingkat ancaman kepunahan yang tinggi. Salah satu spesies satwa endemik yang terancam punah adalah macan tutul jawa. Bernama Latin Panthera pardus melas, saat ini bisa dikata merupakan karnivora terbesar di Pulau Jawa, setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan telah punah oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) pada 1980.
Di Indonesia, macan tutul jawa ini hanya hidup di Pulau Jawa, Pulau Kangean, dan Pulau Nusakambangan. Hutan-hutan di Pulau Jawa merupakan habitat utama bagi populasi ini. Sebaran keberadaannya tercatat dari Taman Nasional Ujung Kulon di Provinsi Banten hingga Taman Nasional Alas Purwo di Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar hidup dalam kawasan-kawasan hutan konservasi seperti Taman Nasional dan Cagar Alam.
Celakanya, Pulau Jawa merupakan pulau yang penduduknya terpadat di Indonesia. Seiring semakin padatnya populasi penduduk di Pulau Jawa, maka hilangnya habitat merupakan ancaman nyata dan utama bagi kucing besar ini. Dari waktu ke waktu, luas kawasan hutan cenderung menurun. Sementara itu, penyusutan areal habitat ini jelas membawa konsekuensi pada munculnya ancaman penurunan populasi macan tutul jawa secara signifikan.
Ambil contoh kasus, terjadinya kepunahan lokal macan tutul jawa di Jawa Tengah, misalnya. Hasil penelitian memperlihatkan, di sepanjang 20 tahun, yaitu sejak 1988 hingga 2008, telah terjadi kepunahan lokal di 17 lokasi, terutama di kawasan hutan produksi. Jika upaya konservasi tidak segera dilakukan secara serius, mudah diprediksi kemungkinan besar binatang yang termasuk famili ‘Felidae’ ini juga akan mengalami nasib serupa dengan harimau jawa.
Pemerintah tentu menyadari potensi ancaman penyusutan populasi atau bahkan kepunahan macan tutul jawa ini. Bahkan sudah sejak zaman kolonial Belanda berdasarkan UU 134 Tahun 1931 tentang Perlindungan Binatang Liar, satwa ini telah dinyatakan sebagai satwa liar langka yang dilindungi.
Komitmen Konservasi
Pada 1970, status perlindungan macan tutul jawa dikuatkan lagi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No 421/Kpts/Um/8/1970. Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya agenda konservasi, regulasi ini kemudian semakin diperkuat dengan lahirnya UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; melalui UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity; dan tak kecuali juga melalui Peraturan Pemerintah 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
indonesia.go.id/assets/img/assets/1564048914_antarafoto_macan_tutul_jawa_160918_bcs_ant_3_ratio_16x9.jpg"" alt="""" />Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (15/9/2018). Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Di tingkat pemerintah daerah, upaya pelestarian macan tutul di Provinsi Jawa Barat diperkuat dengan penetapan macan tutul jawa ini sebagai fauna identitas atau maskot provinsi melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat No 27 tahun 2005.
Di tingkat global, keseriusan Indonesia terlibat dalam upaya konservasi pun terlihat. Indonesia sejak 1967 resmi menjadi anggota IUCN (Internasional Union for Conservation of Nature). IUCN sendiri ialah suatu organisasi international yang didedikasikan untuk penanganan masalah konservasi sumber daya alam hayati. Dibentuk pada 1948, IUCN saat ini merupakan organisasi dunia terbesar yang mendedikasikan diri terhadap isu lingkungan, pengetahuan alam, dan sumber daya alam hayati.
IUCN ialah sebuah lembaga internasional yang berwenang menetapkan status konservasi suatu spesies yang ada di seluruh dunia. Sejak 1964 lembaga ini mengeluarkan “IUCN Red List” atau sohor dengan nama “Red Data List”. Daftar ini bertujuan memberi informasi, dan analisis mengenai status, tren, dan ancaman terhadap spesies, dan sekaligus memberikan advis untuk mempercepat tindakan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Sejak 1978 IUCN telah memberikan status pada macan tutul jawa sebagai rentan (vulnerable); di tahun 1988 statusnya naik menjadi terancam (threatened); tahun 1994 statusnya menjadi indeterminate; lagi-lagi di tahun 1996 statusnya kembali naik menjadi genting (endangered spesies kategori C2a); dan akhirnya pada 2008 dinyatakan kritis atau terancam punah (critically endangered). Lebih jauh, pada 2012 IUCN kembali mengeluarkan IUCN Red List, posisi macan tutul jawa tercatat kembali masuk kategori critically endangered.
Critically Endangered (CR) dalam bahasa Indonesia: ‘kritis’ atau ‘terancam punah’. Status ini diberikan kepada spesies yang berisiko sangat tinggi untuk mengalami kepunahan dan dikhawatirkan akan punah dalam waktu dekat. Biasanya populasinya termasuk kategori sangat sedikit dan habitatnya juga terbatas.
Selain itu, sejak 1978 Indonesia telah meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menjadi Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. Macan tutul jawa sendiri termasuk ke dalam Appendix I CITES, yang artinya ialah satwa ini tidak boleh diperdagangkan.
Sayangnya hingga kini total jumlah populasi macan tutul jawa di seluruh Pulau Jawa, yang didasarkan pada survai lapangan nisbi belum ada data informasi angka yang pasti dan juga lengkap. Senior Manager Terrestrial Program Conservation International [CI] Indonesia Anton Ario mengatakan, satwa liar ini boleh dikatakan belum pernah diteliti secara tuntas.
Data-data yang sementara ini ada, pada umumnya hanya khusus untuk wilayah tertentu dan menggunakan metode penghitungan yang berbeda-beda. Data-data tersebut umumnya juga dikumpulkan dalam rentang waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan perangkap kamera, setidaknya diketahui kepadatan macan tutul jawa di beberapa lokasi konservasi tertentu.
Sebutlah di Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, misalnya, diestimasi kepadatan populasinya ialah satu ekor per 6 km persegi, di Taman Nasional Gunung Halimun berdasarkan perhitungan kategori daerah hutan primer dan sekunder, diestimasi satu ekor per 6.67 km persegi. Lalu di kawasan hutan Gunung Salak ialah satu ekor per 6,5 km persegi. Ada lagi di kawasan Hutan Lindung Gunung Malabar adalah satu ekor per 7,6 km persegi, dan lain sebagainya.
Dari berbagai riset yang telah dilakukan secara parsial di berbagai lokasi hutan konservasi tersebut, kemudian dilakukan perhitungan secara ektrapolasi berdasarkan luas areal hutan yang masih tersisa di Pulau Jawa, yaitu 13.68 persen atau seluas 327.733,03 ha. Dari asumsi tersebut, maka pada tahun 2016 pemerintah memiliki estimasi awal jumlah total kucing besar di Pulau Jawa berkisar 491-546 ekor.
Jika estimasi tersebut di atas dibandingkan dengan data tahun 1992, yang saat itu diperkirakan macan tutul jawa yang hidup di kawasan konservasi di seluruh Pulau Jawa berkisar 350–700 ekor, maka potret 2016 ini menunjukkan tren penurunan populasi.
indonesia.go.id/assets/img/assets/1564049122_antarafoto_macan_tutul_jawa_160918_bcs_ant_1_ratio_16x9.jpg"" alt="""" />Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (15/9/2018). Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Strategi dan Rencana Aksi
Serius menindaklanjuti hasil tren penurunan populasi macan tutul jawa, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No P.56/Menlhk/Kum.1/2016 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas) Tahun 2016 – 2026. Berdasarkan hasil diskusi selama proses penyusunan dokumen, setidaknya secara garis besar diharapkan tercipta enam kondisi yang dapat dicapai dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan:
Pertama, pengelolaan populasi macan tutul jawa di alam. Bicara pengelolaan berarti pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu status populasi dan sebarannya secara pasti dan lengkap. Bagaimanapun, data ini sangat penting dalam membuat kebijakan dan perencanaan manajemen konservasi.
Selain itu, data itu juga diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan agenda pembangunan. Dengan begitu diharapkan formula kebijakan pembangunan yang disusun tidak pernah menjadi ancaman bagi eksistensi macan tutul jawa, dan karena itu, ke depan jumlah populasinya juga bisa dipertahankan.
Kedua, soal pengelolaan habitat macan tutul jawa. Penting untuk dirumuskan adanya habitat prioritas, baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi di seluruh Pulau Jawa, berbasis pada pendekatan lanskap atau zonasi. Habitat prioritas ini kondisinya sebisa mungkin harus dipertahankan. Untuk itu dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak baik di tingkat daerah maupun nasional.
Ketiga, peningkatan kapasitas pemerintah dan mitra kerja. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini penting terkait implementasi di lapangan secara maksimal terkait protokol dan pedoman yang telah disiapkan untuk mensukseskan agenda konservasi tersebut. Selain itu, juga sangat penting untuk digalakkan upaya penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap pelaku perburuan dan perdagangan ilegal macan tutul jawa.
Keempat, program konservasi ex situ. Populasi macan tutul jawa ex situ memiliki peran yang penting dalam mendukung konservasi in situ di habitat alaminya. Upaya konservasi ex situ dan in situ harus berjalan simultan. Konservasi ex situ berfungsi sebagai breeding stock jika suatu saat terjadi kondisi yang tidak diinginkan seperti kepunahan spesies di habitat alaminya atau in situ. Di sini penting untuk dibangun integrasi program antara keduanya, antara pemerintah dan nonpemerintah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kelima, penyediaan data dan media informasi. Ketersediaan data dan informasi yang lengkap diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan dan kesadaran semua pihak tentang pentingnya konservasi macan tutul jawa. Untuk itu diperlukan publikasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dalam bentuk laporan, jurnal, informasi populer, brosur, poster, website dan situs jejaring sosial, serta pengembangan pangkalan data (database) berbasis internet.
Keenam, pendanaan konservasi. Ketersediaan sumber pendanaan yang berkelanjutan tentu sangat diperlukan untuk menjamin terwujudnya kelestarian populasi macan tutul jawa dan habitatnya. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, adanya sumber pendanaan yang berkelanjutan perlu dikembangkan dan dibangun melalui mekanisme kerja sama antarlembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah, baik bersumber dari dalam maupun luar negeri. (W-1)