Menghadapi dunia yang sedang diambas krisis, sepertinya Indonesia perlu terus menggali sumber-sumber devisa. Undangan orang agar mau menanamkan investasinya ke Indonesia memang sudah menjadi agenda penting yang tidak dapat ditunda. Sayangnya, hal ini masih terkendala dengan berbagai macam hambatan seperti perizinan yang memakan waktu lama.
Selain itu yang juga penting untuk dimaksimalkan adalah sektor pariwisata dan pendapatan dari Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dua sektor inilah yang mampu membantu memperkuat ekonomi Indonesia.
Pertama, para TKI kita akan memberi masukan mata uang asing ke Indonesia yang pada akhirnya menjadi sumber devisa negara. Kedua, otomatis kebutuhan terhadap mata uang rupiah juga meningkat sehingga makin membuat mata uang Indonesia perkasa.
Dewasa ini jumlah TKI di luar negeri mencapai angka yang terhitung sangat banyak,yaitu sekitar 8 juta orang yang tersebar di berbagai negara di dunia ini. Sedangkan upah minimal yang mereka dapatkan selama bekerja di luar adalah sebesar 10 juta sampai 20 juta setahun per orang.
Dengan kata lain mereka mampu menghasilkan devisa negara yang masuk minimal dalam angka kisaran Rp160 triliun setahun. Tentu saja angka itu akan semakin membesar apabila TKI yang dikirim semakin memiliki kemampuan dan skill. Artinya, semakin terdidik TKI, akan semakin besar juga devisa yang didapatkan negara.
Jika kita bandingkan dengan besaran APBN yang angkanya mencapai Rp2400 triliun, artinya remitansi TKI ini nilainya bisa mencapai 7% dari ABPN kita. Sebuah sumbangsih yang luar biasa bagi Indonesia.
Melihat besarnya sumbangan devisa TKI, justru yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbesar jumlah pengiriman TKI ke luar negeri. Tentu saja ini juga harus diikuti dengan pelatihan dan penambahan keterampilan bagi TKI agar harganya jauh lebih meningkat.
Saat ini sebagian besar TKI Indonesia memang masih dihiasi tenaga-tenaga nonterampil yang hanya mengisi posisi buruh kasar dan asisten rumah tangga. Sedangkan pengiriman tenaga terampil masih jauh dari harapan.
Tenaga terampil ini harus dilengkapi dengan kemampuan berbahasa di daerah tujuannya. Agar TKI memiliki kemampuan mengkomunikasikan masalahnya dengan pemerintah di negara tujuan. Tentu juga untuk menghindari adanya kesalahpahaman dengan majikan.
Selain itu, layanan-layanan untuk TKI, seperti di kedutaan besar berbagai negara, harus lebih ditingkatkat. Pejabat kedutaan besar bukan lagi memandang TKI sebagai warga kelas dua, tetapi harus menganggap mereka sebagai pahlawan devisa yang membantu mengisi kocek negara dengan pengorbanannya.
Yang paling penting, pemerintah harus memiliki komitmen untuk melakukan perlindungan hukum bagi TKI yang bermasalah dengan hukum di tempat kerjanya. Kita bisa mencontoh Filipina yang serius melindungi buruh migrannya di seluruh dunia.
Menurut data yang diperoleh Bank Dunia, Filipina telah mendapatkan devisa sebesar 10 miliar USD bahkan india telah mencapai angka 20 miliar USD dari tenaga kerja migrannya. Sedangkan angka untuk Indonesia hanya 5 miliar USD.
Data ini masih menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa mengoptimalkan potensi dari sektor tenaga kerja Indonesia. Di lain sisi, data ini bisa saja menjadi pendorong semangat untuk meningkatkan ketenagakerjaan kita di dunia internasional.
Menghadapi bonus demografi ini, Indonesia bisa memanfaatkan peluang dengan mengisi kebutuhan tenaga kerja dunia dengan meningkatkan skill para buruh migrannya. Selain itu perlindungan hukum yang dibutuhkan TKI kita harus lebih dimaksimalkan.
Dunia memang sedang menghadapi krisis ekonomi. Ketika itu melanda, justru TKI-TKI kita tampil bak pahlawan yang bisa memberikan udara segar bagi perekonomian nasional. Karena itu, perhatian terhadap TKI harus lebih serius dibanding sebelumnya. (E-1)