Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjalin kemitraan strategis dengan Pemerintah Denmark dalam pengembangan energi alternatif. Kerja sama ini ditandai dengan pemberian rekomendasi Denmark kepada Indonesia dalam bentuk Regional Energy Outlook di empat provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Riau.
"Denmark telah memberikan dukungan terhadap pengembangan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk empat provinsi," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, saat memberikan pernyataan pers di Jakarta, belum lama ini.
Arifin mengungkapkan, Pemerintah Denmark membantu menganalisa skenario yang paling cocok untuk untuk keempat wilayah itu terkait sistem tenaga listrik yang terjangkau, tangguh dan ramah lingkungan, serta bagaimana energi alternatif khususnya peran EBT dalam menggantikan energi fosil.
Hasil rekomendasi outlook RUED yang diberikan oleh Denmark, sebagai berikut, Untuk outlook Sulawesi Utara dan Gorontalo disebutkan bahwa Sulawesi Utara memiliki potensi pengembangan EBT, khususnya hidro, sedangkan Gorontalo berpotensi besar untuk mengembangkan solar. Apabila kedua provinsi ini berhasil mengembangkan energi hidro, energi surya, dan menggunakan natural gas untuk menggantikan batubara, maka kedua provinsi ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar kurang lebih 50% pada 2030
Outlook Kalimantan Selatan menyebutkan bahwa provinsi ini masih didominasi oleh penggunaan batubara, namun energi angin, energi surya, dan natural gas combined cycles dapat dijadikan alternatif energi yang murah untuk menggantikan batubara. Apabila pada tahun 2030 provinsi ini berhasil mengembangkan EBT hingga 34% untuk pasokan listrik, maka emisi gas rumah kaca dapat berkurang hingga 48% pada 2030.
Sedangkan outlook Riau menegaskan bahwa baik Riau dan Sumatra secara keseluruhan memiliki potensi EBT, khususnya energi angin dan energi surya, melampaui peran EBT yang digambarkan pada RUPTL 2019-2028. Energi surya dan biogas dianggap kompetitif apabila mendapatkan skema pembiayaan yang baik. Apabila bauran EBT dapat mencapai 2/3 pasokan listrik Riau pada 2030 sesuai RUPTL, maka akan terjadi penghematan pembiayaan infrastruktur listrik sebesar 13 miliar rupiah.
Kemitraan ini disambut hangat oleh Menteri Kerja Sama Pembangunan Denmark Rasmus Prehn. Rekomendasi yang diberikan Denmark itu diharapkan dapat menciptakan iklim industri EBT yang lebih murah dan efisien. "Selain bisa meningkatkan pemanfaatan EBT, rekomendasi ini mampu mewujudkan harga EBT yang lebih murah dan efisien dari teknologi yang diterapkan," ujar Rasmus.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berkomitmen untuk mengurasi pemakaian energi fosil ke energi terbarukan. Ia mengakui, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang cukup besar. Namun, pemanfaatan EBT masih sangat minim. Realisasi EBT hingga saat ini baru mencapai 32 megawatt (MW) dari potensi 400 MW.
Namun usaha pemanfaatan potensi energi terbarukan ini sangat lamban. Sepanjang 2017 hingga semester I 2019 telah ditandatangani 75 kontrak jual beli listrik (power purchasing agreement/PPA) pembangkit EBT dengan kapasitas 1.581 MW. Dari jumlah kontrak tersebut, terdapat lima yang sudah beroperasi secara komersial (comercial operation date/COD). Sedangkan proyek yang memasuki tahap konstruksi baru 30 kontrak.
Padahal dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas pembangkit EBT 16.714 GW. Sebenarnya Kementerian ESDM memproyeksikan hingga lima tahun mendatang biaya investasi peningkatan pembangkit EBT mencapai USD36,95 miliar. Demikian ditegaskan Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Sutijastoto pada berbagai kesempatan.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan, besaran biaya investasi tersebut dimaksudkan sebagai strategi memperluas pangsa pasar energi. "Nilai investasi tersebut bisa membantu meningkatkan pangsa pasar energi pada 2025," kata Agung.
Lebih lanjut, Agung merinci nilai investasi tersebut terdiri dari PLT Panas Bumi sebesar USD17,45 miliar, PLT Air atau Mikrohidro senilai USD14,58 miliar, PLT Surya dan PLT Bayu senilai USD1,69 miliar, PLT Sampah senilai USD1,6 miliar, PLT Bioenergi senilai USD1,37 miliar, dan PLT Hybird sebesar USD0,26 miliar.
Jumlah rincian investasi PLT EBT tersebut, disesuaikan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2025. (RUPTL) ini mengacu pada asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% per tahun sampai 2020 dan 6,5% pada 2025.
Menurut Agung, angka investasi ini secara tidak langsung memberi dampak pada peningkatan kapasitas bauran pembangkit EBT di Indonesia menjadi 24.074 Mega Watt (MW) di tahun 2025 dari 10.335 MW di tahun 2019.
Kalau digambarkan perkembangannya selama lima tahun ke depan, kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 11.256 MW pada 2020, 12.887 pada 2021, 14.064 MW pada 2022 dan 2023 menjadi 15.184 MW dan 17.421 MW pada 2024. Dan Indonesia telah menandatangani Paris Agreement sehingga bauran energi ditargetkan mencapai 23% pada 2025.
Produksi EBT Indonesia sejak 2000 hingga saat ini terus meningkat. Pada 2000, produksi EBT sebesar 19.599,8 GWH. Angka tersebut meningkat 111% menjadi 41.314 GWH pada 2017. Sementara itu, kapasitas terpasang listrik EBT pada 2010 baru 5.475,4 MW. Namun, pada 2018 kapasitas terpasang listrik EBT naik 73% menjadi 9.484 MW.
Target pemanfaatan EBT dalam RUPTL 2019-2028 juga cukup tinggi. Pemerintah menargetkan bauran pembangkit listrik EBT sebesar 11,4% pada 2019 dan akan meningkat menjadi 23,2% pada 2028. Adapun produksi listrik EBT dunia pada 2000 sebesar 2.850.585,2 GWH dan meningkat menjadi 6.190.947,8 GWH pada 2017. Sementara itu kapasitas terpasang energi EBT mencapai 753.949,5 MW pada 2000 kemudian meningkat menjadi 2.356.346,4 MW pada 2018.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memproyeksi Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD70-90 miliar atau sekitar 1.000 triliun untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.
Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa penambahan kapasitas energi terbarukan di Indonesia terbilang masih sangat rendah. Hingga akhir 2019, Indonesia baru mampu mencapai 385 Mega Watt (MW) dari target 45 Giga Watt (GW) yang dicatatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025.
Fabby mengungkapkan, rendahnya realisasi tambahan energi baru terbarukan ini tak lepas dari rendahnya realisasi investasi untuk pengembangan energi terbarukan. Menurut Fabby, hingga kini nilai investasi di sektor energi baru terbarukan belum mencapai target. Investasi energi terbarukan terus turun dan ada di bawah target yang sebenarnya dicanangkan dalam RPJMN maupun RENSTRA Kementerian ESDM pada 2015.
Capaian target investasi energi terbarukan tahun ini baru mencapai USD1,17 juta dari total target senilai USD1,8 juta. Selain tak mencapai target, lima proyek dari total 75 proyek energi terbarukan yang telah menandatangani power purchase agreements (PPAs) bahkan tercatat sudah diterminasi. Dan, kata Fabby, sejumlah proyek ET yang telah menandatangani PPA 2017-2018 masih mengalami kesulitan financial close. Tak hanya itu, sejumlah investor asing yang sepanjang tahun 2015-2016 ramai masuk ke Indonesia, perlahan memilih menarik diri dan berpindah ke negara tetangga, khususnya Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand. (E-2)