Wader dalam paket sego megono (nasi begana) ditawarkan sebuah warung di Kota Pekalongan. Di Blitar, Jawa Timur, rumah makan Jeng Sus menyediakan wader goreng dalam paket nasi pecel, dan di sebuah resto megah di Tanjung Benoa, Nusa Dua, ikan wader pepes atau goreng siap tersaji dalam paket nasi rames khas Bali. Ikan wader masih mampu bertahan, sebagai bagian dari sajian di meja makan di tengah pesatnya gelombang persaingan seni kuliner.
Ikan wader yang umumnya berukuran panjang 10 cm dan berat 10 gram--meski kadang bisa mencapai panjang 17 cm. Wader sudah lama masuk dalam daftar kuliner masyarakat Pulau Jawa. Warga Betawi menyebutnya ikan cere, orang Sunda menyebutnya ikan paray, sedangkan wader umum digunakan di Jawa Tengah dan Timur. Seiring perkembangan waktu, ikan cere praktis punah dari perairan Jakarta. Di Jawa Barat, ikan paray sudah tidak terlalu populer. Pasar yang masih cukup kuat ada di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan belakangan di Bali.
Ikan wader ini secara alamiah hidup di parit-parit yang airnya jernih mengalir, di saluran irigasi, di sawah, di sungai kecil-menenggah, hingga ke tepian danau atau waduk. Secara alamiah, ikan mungil ini tersebar di mulai dari daratan Asia Tenggara, Filipina, dan di Indonesia ada di air tawar Sumatra, Jawa-Bali, dan Kalimantan. Namun, di Sumatra dan Kalimantan, populasinya terbatas, dan warga setempat menyukai ikan seluang atau ikan bilih yang bentuknya mirip. Seluang dan bilih adalah sepupu ikan wader.
Sebagai lauk, wader goreng sudah dikonsumsi orang Jawa sejak lama. Kitab Centhini yang ditulis Yosodipura II (1814), menyebutkan bahwa wader menjadi hidangan lauk seperti halnya ikan gurame, tambra (sejenis ikan mas), dan lele. Ketika itu, orang Jawa juga menyantap ikan tengiri, wagal, dan kalarung dari laut.
Ikan wader termasuk dalam famili Cypridae bersama ikan mas, ikan tambra, ikan seluang dan ikan bilih - dua yang terakhir disukai di Sumatra. Dari banyak spesies ikan wader yang pernah hidup, yang hingga kini masih banyak ditemui di alam bebas hanya wader pari atau lunjar padi (Rasbora argyrotaenia) dan wader bintik (Barbus maculatus). Secara umum bentuk dan ukuran keduanya mirip. Keduanya pun bisa ditemui di perairan daratan rendah dekat pantai, hingga di pegunungan 2.000 meter dari permukaan laut. Yang penting, airnya jernih, dangkal, dan mengalir.
Tubuh wader pari ini berwarna kuning keemasan pada bagian atas, dan berwarna putih keperakan di bagian bawah. Sedangkan wader bintik dicirikan oleh empat sungut kecil di ujung moncong. Tubuhnya berwarna abu-abu kehijauan atau keperakan dengan dua sirip yang terdapat di pangkal sirip belakang dan di tengah batang ekor.
Setelah ditangkap, ikan wader ini dibuang isi perutnya, dibumbui lalu digoreng. Ada pula yang dipepes. Agar awet, ada yang menggorengnya dengan tepung. Rasa yang dihadirkan biasanya gurih asin. Wader bisa disantap begitu saja, karena tulang kepala, sirip, dan durinya menjadi lunak oleh minyak panas. Di meja makan, wader biasanya bukan lauk tunggal. Dalam kuliner Jawa, wader goreng biasa dihidangkan bersama tahu/tempe bacem, sayur atau lalap, dan sambel.
Belakangan, pasar tak bisa lagi mengandalkan wader hasil tangkapan di alam bebas karena pasokannya tidak stabil, ukurannya pun tidak seragam sehingga menyulitkan pengolahannya. Wader hasil budidaya pun tersedia di pasar. Usaha budidaya wader tumbuh di banyak tempat, di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sebagian pelaku budidaya juga mampu memproduksi benihnya.
Budidaya ikan wader ini menarik. Untuk memproduksi wader sekilo tidak diperlukan pakan sebanyak untuk memproduksi ikan mas atau ikan gurame sekilo. Sebagai hewan omnivora, wader bisa memakan banyak bahan termasuk dedaunan. Untuk memastikan harga jual yang bagus, memang perlu observasi pasar secara cermat, karena permintaan wader tak sekuat ikan mas, gurame, atau lele.
Uceng - Jeler
Para pemburu wader, yang menggunakan jaring, jala atau peranggkap ikan (bubu), sering mendapat bonus ikan uceng. Wader dan uceng memiliki irisan habibat, yakni di perairan yang mengalir deras, bening, berbatu, dan berpasir. Uceng, ada sebagian yang menyebutnya ikan jeler, juga sering hadir di meja makan berrsama wader.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563856219_Ikan_Lunjar_Pari.jpg" />Ikan Lunjar Pari. Foto: Istimewa
Berbeda dengan wader, uceng (Nemacheilus fasciatus) dikenal sebagai ikan endemik yang hidup di parit, sungai-sungai kecil hingga sedang, atau saluran irigasi, terbatas di Kawasan Priangan Timur, Banyumas, sekitar Magelang, hingga Solo dan Jogja. Di tempat lain, populasinya terbatas. Uceng berukuran kecil, dengan panjang maksimum 10 cm. Bentuknya bulat lonjong berwarna kuning-coklat bergaris-garis, mirip daun tua yang gugur.
Masyarakat Jawa Tengah juga biasa menyantap ikan jeler kecil atau uceng ini tanpa harus membuang isi perutnya. Dengan reputasi hidup bersih di perairan bening, hewan pemakan serangga dan dedaunan ini bisa langsung masuk pengggorengan. Seperti wader, uceng juga digoreng kering dan kadang dibungkus tepung. Belakangan uceng juga mulai dibudidayakan.
Dibanding wader, harga uceng lebih tinggi. Tulang dan durinya sangat lunak sehingga rontok pada proses penggorengan. Rasanya tak kalah gurih dari wader. Di Jogja, sekilo uceng goreng harganya bisa sampai Rp150-200 ribu, dua kali lipat dari wader goreng yang harganya berkisar Rp75-100 ribu.
Meski di alam bebas habitat uceng dan wader ini terus tergerus, akibat pencemaran dan fluktuasi air yang tajam. Namun, kedua spesies ikan ini punya daya tahan tersendiri. Siklus hidupnya yang pendek membuat mereka mampu beradaptasi secara fleksibel. Populasinya akan tertekan hebat setiap musim kemarau. Namun bisa musim hujan tiba, populasinya langsung meningkat. Tujuh sampai delapan bulan basah memungkinkan mereka berkembang sampai tiga generasi.
Dengan segala cerita di belakangnya, sepertinya wader dan uceng punya peluang untuk menjadi bagian dari fine dining, acara makan bergengsi di restoran-restoran keren yang tentunya punya nilai ekonomi tinggi. Dengan begitu, para pemburu dan peternak wader-uceng, bisa lebih sejahtera. (P-1)