Beberapa varian kopi spesialti yang sohor di dunia antara lain: Kopi Gayo dari Aceh, Kopi Mandailing dari Deli, Kopi Jawa dari Jawa Timur, Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Sering disebut setidaknya terdapat tujuh atau sepuluh varian kopi spesialti Indonesia sering dipromosikan di berbagai event dunia.
Di antara kopi-kopi spesialti itu patut disebut salah satunya, Kopi Luwak atau Civet Coffee. Kopi bisa berjenis Arabica maupun Robusta. Kopi spesialti ini adalah kualitas super premium di antara kopi premium lainnya. Bahkan Kopi Luwak menjadi salah satu brand image kuat perihal kopi Indonesia. Pasalnya secara historis boleh dikata ini merupakan ‘temuan’ (invention) khas dan asli Indonesia. Saking populernya bukan semata dianggap sebagai kopi terbaik sekaligus ternikmat, lebih jauh belakangan juga menyandang predikat kopi termahal di dunia.
Mulai sohor mendunia setelah Kopi Luwak ditayangkan dalam The Oprah Winfrey Show. Sebuah acara televisi di Amerika dengan presenter kelas dunia, Oprah Winfrey. Dalam sesi acara televisi ini selaku host, Oprah Winfrey, memperkenalkan dan memperagakan cara menyeduh kopi luwak Arabika Gayo Aceh.
Keberadaanya semakin dikenal dan dicari orang setelah Kopi Luwak menjadi minuman favorit dalam film "The Bucket List" produksi 2007 yang dibintangi aktor Hollywood terkenal Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Film yang berkisah tentang perjuangan penderita kanker yang melakukan petualangan berkeliling dunia ini menceritakan aktor utama seorang miliuner bernama Edward Cole, diperankan oleh Jack Nicholson. Sang miliuner ialah pencinta Kopi Luwak. Kopi termahal di dunia.
Tak ketinggalan, pada 2010, sebuah artikel yang berisi profiling terhadap kopi ini juga pernah ditulis oleh The Guardian, sebuah media harian di Inggris yang memiliki reputasi jurnalisme kritis. Meskipun The Guardian mengangkat judul “Is Civet Coffee Worth the Price?” dan kritis mempertanyakan kelayakan harga komoditas itu, penyebutan Kopi Luwak dengan reputasi legendaris tentu membuat popularitasnya semakin tak terbendung.
Keistimewaan Kopi Luwak adalah rendah kafein, rendah kandungan kadar asam, rendah lemak, dan tidak terlalu pahit. Meminum kopi ini dalam dosis besar sekalipun tidak akan mengganggu jantung dan lambung, yang sering jadi masalah bagi para penikmat kopi.
Citarasa kopi yang unik ini dihasilkan dari proses fermentasi biji kopi yang terjadi secara alami di dalam tubuh hewan musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus). Biji kopi itu terfermentasi secara matang dan lebih sempurna. Memiliki cita rasa cokelat tipis. Rasa coklat ini melekat kuat di lidah, tertinggal lebih lama dan memiliki after taste yang exellent.
Harga per kilogram dapat mencapai jutaan rupiah. Atase Perdagangan KBRI Indonesia di Korea Selatan, Dody Edward, pada 2010 pernah melaporkan harga secangkir kecil kopi dihargai hingga 50.000 Won atau setara Rp400.000.
Bahkan saking mahalnya, merujuk National Geographic kopi itu di Amerika Serikat dibanderol seharga 80 dolar AS pada 2016. Saking legendarisnya kopi ini, Guinness Book of Reccord bahkan mencatat Kopi Luwak sebagai “The 1st Excellent & Most Expensive Coffee in the World”.
Aspek kelangkaan menjadi alasan tingginya nilai ekonomisnya. Pasalnya sekalipun kini kopi ini sebenarnya dapat dibudidayakan melalui rekayasa pengandangan binatang, toh output produksinya tetaplah tidak bakalan sebanyak kuantitas kopi yang diolah secara biasa. Rekayasa pengandangan itu dilakukan untuk mengatasi kesulitan dalam pengumpulan kopi dari musang luwak liar.
Meskipun demikian, bagi para penikmat kopi atau biasa disebut “coffee-addict” tentu berbeda cita rasa dan aromanya, antara Kopi Luwak produk liar dan produk kandang. Cita rasa maupun aroma pada produk liar oleh mereka dipersespsi sebagai lebih enak dengan ciri khas rasa tanah (earthy) yang relatif lebih kuat.
Mulanya, produk Kopi Luwak lahir dari sebuah ketidaksengajaan sejarah. Berawal dari eksperimen para buruh di perkebunan kopi di zaman kolonialisme Hindia Belanda. Awal abad ke-18, Belanda membuka perkebunan tanaman komersial di Hindia Belanda terutama Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Salah satunya adalah bibit kopi Arabika yang didatangkan dari Yaman atau mungkin juga Afrika. Pada era yang disering disebut era cultuurstelsel (1830—1870) ini, Belanda melarang buruh perkebunan memetik buah kopi untuk konsumsi pribadi.
Para buruh perkebunan tentu ingin mencoba minuman kopi itu. Mereka memungut biji kopi yang tercecer. Pada perkembangannya para buruh menemukan sisa-sisa fases dari binatang luwak yang gemar memakan buah kopi. Daging buah kopi tercerna, namun kulit ari dan biji kopinya masih tetap utuh. Biji kopi itu dikumpulkan, dicuci, dan diolah menggunakan peralatan sederhana. Ternyata hasilnya sungguh spektakuler. Memiliki cita rasa dan aroma yang berbeda dan sungguh nikmat luar biasa. Kopi itulah yang kini disebut Kopi Luwak.
Cerita mengenai kenikmatan ini terceritakan dari mulut ke mulut. Hingga akhirnya tercium oleh pemilik perkebunan yang tentu adalah orang Belanda. Dari sanalah kopi ini naik kelas menjadi kegemaran warga Belanda kaya. Karena aspek kelangkaan dan proses pembuatannya yang tidak lazim, kopi itu dikenal menjadi kopi termahal sejak zaman kolonial Hindia Belanda.
Pro dan kontra terhadap pengandangan musang liar sebagai rekayasa produksi kopi spesialti kelas superpremium ini tentu muncul di sana sini. Di tingkat global, pada 2013, People for The Ethical Treatments of Animals (PETA) perwakilan Asia mendorong isu boikot terhadap produk Kopi Luwak. Jason Baker, representasi PETA di Asia itu, mengatakan bahwa mereka telah menggalang masyarakat internasional supaya melakukan tanda tangan perjanjian untuk tidak membeli lagi produk Kopi Luwak Indonesia.
Tak kecuali, muncul advokasi dari lembaga lain terkait binatang omnivora ini. Unit riset “Wildlife Conservation” di Universitas Oxford dan lembaga non-profit bernama “World Animal Protection” yang berbasis di London pernah menerbitkan penelitiannya dalam jurnal “Animal Welfare”. Mereka meneliti 50 musang luwak liar yang hidup dalam kandang budidaya kopi di Bali. Hasilnya, muram dan dianggap tidak memiliki perspektif kesejahteraan bagi binatang.
Menghadapi tantangan munculnya kendala psikologis dari masyarakat internasional pemerhati kesejahteraan binatang, Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla segera merespons. Aspirasi masyarakat internasionalpun ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri No. 37/Permentan/KB.120/6/2015 tentang Cara Produksi Luwak Melalui Pemeliharaan Luwak yang Memenuhi Prinsip Kesejahteraan Hewan. Artinya, sejalan beleid ini, setiap pelaku usaha yang hendak melakukan budidaya Kopi Luwak melalui mekanisme pengandangan binatang diwajibkan melakukannya dengan mengemban perspektif kesejahteraan binatang (animal welfare).
Jauh hari sebelumnya, sebagai upaya memberikan keterjaminan perihal kualitas standar mutu kopi spesialti Indonesia, termasuk di sini tentu saja Kopi Luwak, pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Indonesia: SNI 01-2907-2008. Standar ini disusun berdasarkan perkembangan pasar global, yaitu merujuk Resolusi ICO 407 dan mempertimbangkan persyaratan internasional lainnya. Resolusi ICO 407 yang berlaku sejak 1 Oktober 2002 ini menegaskan adanya larangan perdagangan kopi mutu rendah.
Artinya, dengan adanya SNI 01-2907-2008, Indonesia kini telah melakukan penerapan standar mutu kopi Indonesia berdasarkan standar mutu kopi internasional. Bukan mustahil, mengingat latar belakang peningkatan tren konsumsi kopi di dunia dan tumbuhnya kelas menengah di Indonesia, berpijak pada seluruh piranti regulasi tersebut akan membawa posisi Indonesia menjadi “Rumah Besar” bagi kopi-kopi spesialti berkelas dunia.