Indonesia.go.id - Senampan dalam Kelezatan Toleransi Beragama di Kampung Gelgel

Senampan dalam Kelezatan Toleransi Beragama di Kampung Gelgel

  • Administrator
  • Selasa, 27 April 2021 | 12:28 WIB
TOLERANSI
  Masjid Nurul Huda, Kampung Gelgel di Klungkung, Bali. DOK. Masjid Nurul Huda
Selain dikenal sebagai pemukiman Islam tertua di Bali, Desa Kampung Gelgel juga diketahui sebagai salah satu objek wisata religius. Toleransi antarumat beragama di daerah ini acap memicu rasa penasaran wisatawan asing maupun domestik.

Jarum jam belum lagi menunjukkan pukul 17.00 di waktu Indonesia bagian tengah. Dan sang surya sudah makin melengserkan sinarnya menuju ufuk barat. Beberapa warga mulai berdatangan ke halaman Masjid Nurul Huda, yang memiliki makna cahaya petunjuk.

Di antara mereka membawa sejumlah sagi warna putih motif kembang-kembang bertepi biru dan merah berdiameter seukuran lengan orang dewasa. Nampan-nampan berbentuk lingkaran berbahan enamel tadi pun mulai ditata rapi di atas deretan lantai ubin putih bersih di teras depan masjid.

Isinya pun lengkap dan beraneka rupa, ada nasi beserta lauknya seperti ikan, ayam goreng, sate lilit berbahan daging ayam, sayur dan sambal matah juga kerupuk dan beberapa botol air mineral.

Tak ketinggalan buah-buahan seperti beberapa sisir pisang ambon, jeruk, dan salak ikut disajikan di dalam sagi, kemudian ditutup dengan tudung atau saap warna merah yang di atasnya diletakkan sekotak kurma. Di halaman masjid, beberapa lembar karpet plastik ikut digelar dengan sagi sudah tersaji di atasnya. Total ada lebih dari 50 sagi terhidang dan siap untuk dicicipi.

Sekitar pukul 17.30 waktu setempat masuklah ke halaman masjid beberapa pria bersafari warna gelap, biru dan putih polos dengan sarung endek, tenun ikat khas Bali aneka warna, seperti hijau, biru, ungu, dan merah. Mereka tak lupa mengenakan udeng, ikat kepala adat, ada yang putih, dan tak sedikit yang bermotif batik. Kedatangan mereka rupanya sudah ditunggu puluhan orang yang langsung disambut puluhan orang yang sudah menunggu di teras berubin putih seluas hampir 100 meter persegi.

Mayoritas para penyambut berbaju koko putih dan sarung aneka motif dipadu songkok hitam atau putih. "Assalamualaikum nyama slam (Assalamualaikum saudaraku beragama Islam)," begitu ucapan yang meluncur lembut dari mulut Penglisir Puri Klungkung, Ida Dalem Semaraputra. Ia adalah Raja Puri Klungkung dan sekitarnya. Sore itu dengan safari biru lengan pendek dan sarung endek kotak, Raja Klungkung langsung disambut pengurus masjid serta perbekel atau kepala desa setempat.

Mereka kemudian menuju teras masjid dan duduk bersila saling melempar sapaan. Sesekali terdengar tawa renyah di antara mereka. Tak lama, kumandang azan Maghrib pun tiba dan terdengar nyaring dari pelantang di atas menara setinggi 17 meter. Semua yang hadir kemudian mengelilingi sagi yang sedari tadi sudah tersedia dan siap untuk disantap. Saap merah pun dibuka dan tampaklah sajian menu di hadapan para hadirin yang langsung dicicipi.

Itulah sekelumit potret suasana ifhtar atau buka puasa bersama pada 10 hari kedua Ramadan yang digelar di Masjid Nurul Huda. Kegiatan ini dilakukan di Desa Kampung Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali, 25 Mei 2019, atau sebelum terjadinya pandemi virus Covid-19. Masyarakat di Bali mengenal aktivitas makan bersama mengelilingi sagi itu sebagai megibung yang berasal dari kata gibung atau kegiatan duduk dan makan bersama dalam satu wadah.

Tradisi yang lahir dari Karangasem ini bertujuan untuk saling berdiskusi dan berbagi pendapat tanpa tersekat oleh berbagai perbedaan status sosial dan kasta. Demikian yang dikutip dari laman situs www.kampunggelgel.desa.id milik Pemerintah Desa Kampung Gelgel.

Di desa ini megibung dikenal sebagai ngaminang di mana setiap pesertanya hanya boleh memakan apa yang tersaji di depannya dan tidak mengambil makanan milik teman sebelahnya. Ketika sudah merasa kenyang dan makan pun selesai, kita tidak boleh beranjak dari sagi

Ini bukan pertama kalinya Raja Klungkung melakukan kunjungan ke tempat ibadah umat Islam untuk ikut merasakan berbuka puasa bersama di desa yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari pusat kota Denpasar. Tradisi ini sudah dipertahankan sejak ratusan tahun silam.

Desa Kampung Gelgel memang mendapat tempat tersendiri di hati Puri Klungkung. Bukan hanya karena merupakan perkampungan Islam tertua di Pulau Seribu Pura, tapi desa seluas 8,5 hektare dengan populasi 1.221 jiwa atau 358 kepala keluarga yang mayoritas penduduknya beragam Islam itu memang mendapat perhatian khusus dari Raja Klungkung.

Kedatangan Raja Klungkung pada 2019 itu ditemani Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta, Kepala Polres Klungkung, Komandan Kodim, tokoh dari Forum Kerukunan Umat Beragama, serta para kepala desa dan seluruh perbekel di Kecamatan Klungkung.

Hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik pada 2020 menunjukkan bahwa Islam di Bali merupakan agama minoritas dengan populasi sekitar 10,5 persen dari total 4.317.404 jiwa penduduk. Di mana sebanyak 86,91 persen penduduk di Bali merupakan penganut agama Hindu.

 

40 Prajurit Muslim

Perhatian Kerajaan Klungkung pada Islam di Bali, boleh jadi, berawal dari kisah Dalem Ketut Ngelesir, Raja Gelgel yang memerintah pada 1383 dan berpusat di Desa Gelgel saat ini. Diketahui, semula Kerajaan Gelgel berada di Samprangan, Gianyar. Namun oleh Dalem Ketut Ngelesir kemudian dipindahkan ke Klungkung.

Dalem Ketut Ngelesir sendiri naik tahta menggantikan sang kakak, Dalem Samprangan. Saat itu mereka berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit.

Dalam berbagai literasi disebutkan, ketika menghadiri sebuah konferensi di Majapahit yang diadakan Prabu Hayam Wuruk pada 1384, Dalem Ketut Ngelesir mendapat keistimewaan. Prabu Hayam Wuruk mempersembahkan 40 prajurit pilihan Majapahit untuk mengawal kepulangan Dalem Ketut Ngelesir ke Pulau Dewata. Ke-40 prajurit ini ternyata beragama Islam.

Dikutip dari buku Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya, arkeolog Hasan Djafar menuliskan bahwa Islam diketahui sudah ada di Kerajaan Hindu-Buddha itu sejak 1281 Masehi dan 1368 Masehi, berdasarkan penemuan makam Islam kuno di Desa Tralaya, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, yang lokasinya tak jauh dari pusat Kerajaan Majapahit.

“Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis Hasan Djafar.

Sebagai bentuk terima kasih, Dalem Ketut Ngelesir memberikan sebidang tanah di sisi timur kerajaan untuk tempat tinggal ke-40 prajurit. Mereka kemudian mendirikan Masjid Nurul Huda di awal abad 14 dan sempat beberapa kali mengalami perbaikan sebelum akhirnya dibangun ulang berkonstruksi beton 2 lantai pada 1989. Mimbar khotbah masjid terbuat dari kayu jati berukir khas Bali, motif daun-daunan, dan sudah dipertahankan sejak 1836.

Sementara itu, para prajurit yang sebagian menetap ini kemudian menikahi perempuan setempat. Dan seiring waktu, mereka tinggal menyebar karena beranak pinak dan menjadi penyebar Islam ke sejumlah kawasan di Bali. Misalnya, ke Kampung Lebah, Kamasan, Kusamba, Pagayamanan, dan Kampung Toyapakeh di Pulau Nusa Penida.

Saat ini Desa Kampung Gelgel, selain dikenal sebagai permukiman Islam tertua di Bali, juga diketahui sebagai salah satu objek wisata religius. Wisatawan asing dan domestik rupanya penasaran dengan toleransi antarumat beragama yang terjalin di daerah ini. Terlebih sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di Jl Waturenggong berdiri pula Pura Kawitan Pusat Pasek Gelgel Dalem Siwa Gaduh.

Toleransi tak hanya sebatas ngaminang. Warga juga kerap menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya, tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu. Begitu pun sebaliknya, warga Hindu atau agama lainnya hanya mengirimkan makanan halal kepada saudaranya yang Muslim. 

Ketika warga Hindu memperingati Nyepi, maka warga Desa Kampung Gelgel akan membantu tugas para pecalang mengamankan wilayah. Sebaliknya, jika warga Muslim menggelar salat Idulfitri dan Iduladha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu lintas di sekitar lokasi salat.

Toleransi luar biasa ini ikut membantu meningkatkan angka Indeks Kerukunan Beragama (IKB) di Bali. Pada survei yang diadakan Kementerian Agama di 2019, IKB Provinsi Bali mencapai 80,1 persen atau di atas rata-rata nasional sebesar 73,83 persen. Ini menempatkan Bali di urutan 3 besar nasional.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari