Indonesia.go.id - Perahu Sandeq, Sprinter Terakhir dari Teluk Mandar

Perahu Sandeq, Sprinter Terakhir dari Teluk Mandar

  • Administrator
  • Minggu, 22 Agustus 2021 | 12:26 WIB
BUDAYA
  Perahu Sandeq di Teluk Mandar. DISPAR SULBAR
Para pelaut ulung Sulawesi sudah menaklukkan lautan dengan perahu bercadik sejak 1.000 tahun sebelum Masehi. Perahu sandeq yang diklaim tercepat di perairan Teluk Mandar terancam kelestariannya oleh kehadiran perahu-perahu bermesin dan berbahan serat yang lebih tahan lama.

Perahu merupakan sarana transportasi tertua di dunia dan mulai muncul pada masa prasejarah. Awalnya, beberapa perahu lahir sebagai “media penghubung” secara fisik. Misalnya, alat transportasi dalam menunjang kemudahan bergerak dan alat untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi antarpulau. Namun selanjutnya, perahu bukan hanya berfungsi sebagai media penghubung secara fisik, melainkan media transformasi nilai sebuah budaya dan bahkan berisi tentang konsepsi sebuah kepercayaan.

Hal ini bisa kita temui dalam konteks kehidupan masyarakat Mandar, suku yang banyak menetap di pesisir Sulawesi Barat, terutama di Kabupaten Polewali Mandar. Mereka telah menjadikan sandeq sebagai identitas diri dan ikon daerah, bukan sekadar sebagai leppa-leppa (perahu).

Menurut guru besar antropologi dari Ohio University Gene Ammarell dalam bukunya Bugis Navigation (Navigasi Bugis) yang terbit 1999, sandeq merupakan perahu kayu bercadik berbentuk ramping. Berdimensi panjang bisa mencapai 12 meter, lebar tak lebih dari 1 meter dan kedalaman perahu berkisar 1,2 meter.

Pada bagian kepala perahu atau paccong terdapat bentuk runcing, dan ini menjadi asal mula dari mengapa perahu ini dinamai sandeq. Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Al Asyariah Mandar, Ulya Sunani lewat sebuah penelitiannya mengenai kearifan lokal perahu sandeq mengatakan bahwa perahu bercadik ini merupakan warisan dari migrasi suku Austronesia sejak hampir 3.000 tahun lampau.

Sandeq sarat dengan makna simbolik karena para pembuatnya memiliki pakem lopi sandeq na malolo, yaitu sandeq yang dibuat harus terlihat indah atau bagus. Untuk dasar lambung atau balakang menggunakan kayu dari satu pohon utuh jenis berbuah, misalnya pohon nangka, mangga, atau durian. Maknanya agar perahu selalu membuahkan tangkapan ikan melimpah. Selanjutnya layar segitiga yang melekat pada tiang (pallayarang) berbahan bambu sebagai simbol keharmonisan hubungan manusia dan Sang Pencipta.

Pallayarang sendiri sebagai simbol keyakinan suku Mandar yakni alif atau ketuhanan yang esa. Bagian paling belakang, ada guling atau kemudi. Posisinya bersandar pada sanggilang tommoane dan sanggilang towaine atau sanggar kemudi laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan konsep gender lokal Mandar yang disebut siwaliparri, penghargaan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam membangun dan mengarahkan perahu kehidupan.

Seperti juga pinisi, sandeq mengandalkan embusan angin yang ditangkap oleh layar besar sebagai penggerak untuk menaklukkan lautan. Horst Hibertus Liebner, peneliti kemaritiman asal Jerman yang telah tiga dekade meneliti budaya kelautan masyarakat Sulawesi, menilai bahwa Mandar adalah suku paling pemberani. Seperti dikutip dari bukunya, "Perahu-perahu Tradisional Nusantara", ia mengatakan para pelaut Mandar dengan berbekal sandeq mampu mengarungi lautan selama berhari-hari mencari ikan bahkan hingga ratusan kilometer jauhnya dari kampung mereka.

Perahu berlayar segitiga dengan ciri khas seluruh tubuhnya diberi cat putih sebagai lambang kesucian jiwa ini merupakan penciptaan budaya kemaritiman tertinggi yang disandang orang-orang Mandar. Bagi sebagian peneliti termasuk pengamat budaya Mandar, Muhammad Ridwan Alimuddin, perahu sandeq diyakini dikembangkan dari model sejenis bernama pakur oleh para pembuat perahu di Desa Pambusuang, Polewali Mandar pada era 1930-an. Tetapi beda halnya dalam pandangan Robert Dick-Read, penulis buku The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times.

Ia menyebutkan bahwa para pelaut ulung Sulawesi sudah menaklukkan lautan dengan perahu bercadik sejak 1.000 tahun sebelum Masehi. “Mereka datang dari sebuah semenanjung kecil di barat daya Sulawesi. Merekalah yang berhasil menemukan sistem cadik yang berguna sebagai penyeimbang kiri dan kanan perahu, untuk mengatasi ganasnya ombak lautan, serta menerapkan bermacam cara memancing,” demikian dituliskannya.

Karena itu pula, sandeq tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia seperti tercantum di dalam laman situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Perahu tradisional yang dapat dipakai hingga 30 tahun ini telah tercantum sebagai aset budaya nasional dengan nomor registrasi 2011002025 pada 2011.

Ada tiga tipe sandeq untuk mencari ikan seperti dicantumkan oleh laman situs Kemendibudristek. Pertama adalah sandeq paroppo untuk menangkap ikan tuna di roppo atau rumpon, lalu sandeq potangnga untuk menangkap ikan terbang (Exocoetidae).  Kemudian ada sandeq pangoli untuk menangkap ikan tongkol dan sandeq pappasar untuk mengangkut barang dagangan dari pasar ke pasar yang berada di tepi pantai.

Terakhir, ada yang disebut sebagai sandeq pappasiluba, dikhususkan untuk lomba. Dikenal sebagai Sandeq Race, lomba yang pertama kali diadakan pada 1995 ini menempuh rute dari Mamuju ke Majene lanjut ke Polewali Mandar. Terus ke Ujung Lero Pinrang, lalu ke Barru dan berakhir di Makassar, total jarak tempuhnya 400 km.

Kendati hanya berlayar segitiga, sandeq sanggup melaju hingga kecepatan maksimal 20 knot atau 40 km per jam. Ada hukum fisika berlaku di sini seperti sifat viskositas karena layar (airfoil) segitiga sandeq memberikan kemampuan menahan gesekan atau tekanan geser. Menurut Hukum Bernoulli, bentuk layar sandeq dapat menghasilkan gaya angkat (lift) maksimal lewat efek aerodinamika ketika melewati suatu aliran udara. Semakin kencang embusan angin, semakin laju sandeq di permukaan air.

Alimuddin meyakini kalau sandeq sebagai sprinter alias "pelari" tercepat di atas perairan Teluk Mandar. "Kalau keadaan angin stabil dan tidak terjadi apa-apa di lapangan, sandeq yang berangkat dari Baurung dengan tujuan Polewali bisa tiba bersamaan dengan pete-pete (perahu penumpang) yang berangkat dari Tinambung menuju Polewali dengan kecepatan normal," tulis Alimuddin di dalam bukunya Sandeq Perahu Tercepat Nusantara.

Sayangnya, populasi sandeq kini sudah jauh berkurang, makin tersisih oleh perahu bermesin dari bahan serat (fiber) dan lebih tahan lama. Jika sandeq sudah lapuk, maka berakhir sebagai kayu bakar di dapur rumah para nelayan. Padahal, sandeq merupakan cerminan ketangguhan dan keberanian para pelaut ulung suku Mandar dalam menaklukkan keganasan lautan. "Keberadaan sandeq harus dilestarikan karena sarat nilai historis mupun religi bagi masyarakat Mandar," kata Alimuddin.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari