Masyarakat Suku Moi menghias perahu sebagaimana mereka menghormati atau mencintai kaum perempuan di suku itu.
Luas wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dari Miangas hingga Pulau Rote memiliki kekayaan alam serta budaya yang luar biasa. Apalagi bila kita berbicara soal tanah Papua. Selain kaya sumber daya alam, Papua juga kaya akan budaya yang tecermin dari keberagaman suku dan bahasanya.
Bayangkan, di Papua yang kini sudah bertransformasi menjadi enam provinsi, yakni Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Papua Barat Daya ada 255 suku dengan total 428 bahasa. Di antara ratusan suku itu, di antaranya adalah Suku Moi.
Suku Moi dinilai memiliki budaya cukup tinggi, bahkan sangat bersahabat dengan lingkungannya. Berasal dari daerah bagian pesisir utara di dataran Papua, Suku Moi kini banyak ditemui di sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Suku Moi sendiri terbagi dalam tujuh subsuku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.
Tokoh Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi Benyamin Kalami (65), seperti dikutip dari Antara, mengemukakan bahwa awalnya suku itu hanya mendiami satu tempat, yaitu di Kampung Maladofok (kampung kuno yang terletak sekitar dua kilometer di barat Desa Malaumkarta). Namun, setelah adanya bencana alam, suku Moi mengungsi ke sejumlah daerah, seperti ke Desa Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi yang tergabung dalam daerah yang dijuluki sebagai Malaumkarta Raya. Bisa dikatakan, di Kota Sorong relatif mudah ditemukan masyarakat suku Moi.
Sejak zaman dahulu suku Moi merupakan suku yang terbiasa melaut. Kini pun, Suku Moi dan perahu tidak bisa dipisahkan. Perahu dalam bahasa Moi disebut ‘kama’. Perahu sudah ada sejak zaman nenek moyang suku Moi.
Ada beberapa bagian yang mencirikan bahwa perahu tersebut adalah perahu khas suku itu. Yakni, adanya susung (bangunan seperti rumah) yang berfungsi sebagai tempat melindungi diri dan barang logistik dari hujan.
Perahu khas suku Moi dibuat dari kayu selawaku yang merupakan kayu yang berasal dari tanah Moi, atau satu daerah kebanyakan masyarakat suku Moi tinggal. Peran perahu itu biasanya digunakan untuk balobe atau ‘mencari’ ikan saku. Selain itu, pada zaman dahulu dipakai untuk berjualan sagu dan buah ke kota.
Perahu menjadi alat transportasi yang vital bagi suku Moi. Oleh karena itu, masyarakat suku tersebut benar-benar merawat perahunya dengan baik, bahkan tak lupa menghiasnya.
Bila diibaratkan, masyarakat suku Moi menghiasi perahu sebagaimana mereka menghargai dan menyayangi kaum perempuan di Suku Moi. Masyarakat suku Moi sejak dahulu pun selalu menerapkan tradisi egek, yang merupakan tradisi menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Itu pulalah sebabnya, suku Moi lebih senang menggunakan perahu adat, ketimbang perahu bermesin.
Egek sendiri juga sudah berakulturisasi, tidak hanya berkembang di Kabupaten Sorong, tetapi juga berkembang dalam budaya Maluku. Di Maluku, tradisi itu dikenal dengan sebutan sasi.
Esensi dari tradisi egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan. Contohnya, bila masyarakat adat suku Moi memiliki hajat tertentu, seperti membangun fasilitas umum, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan dana besar, mereka akan berembuk di kelompok masyarakat hukum adat itu, atau disebut dengan istilah acara ‘buka egek’.
Melalui forum itu, masyarakat suku itu memungkinkan meninjau beberapa budaya yang sudah menjadi hukum adat sehingga mereka memungkinkan mencari dana, seperti pembangunan fasilitas umum hingga terpenuhinya dananya.
Buka egek merupakan waktu bagi Suku Moi untuk melaut, mengambil hasil bumi untuk konsumsi sendiri. Selain itu, buka egek juga berlaku untuk sumber daya alam lainnya, seperti tanah dan hutan yang masih masuk wilayah suku Moi.
Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, suku itu diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017. Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan buka egek dengan ritual tradisional khas suku Moi, seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len
Pada 2023, MHA Suku Moi akan melaksanakan buka egek sekaligus mengadakan acara Festival Egek yang diselenggarakan pada 5--8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari