Indonesia.go.id - Api Biru Limbah Tahu Sumedang

Api Biru Limbah Tahu Sumedang

  • Administrator
  • Kamis, 11 April 2024 | 07:22 WIB
BIOGAS
  Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) anaerobik di Kampung Giriharja, Desa Kebon Jati, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. IPAL tersebut dapat membantu masyarakat dalam mengolah limbah tahu. BRIN
Limbah cair industri tahu Sumedang di Giriharja, Kebonjati, Sumedang Utara, bisa mencukupi kebutuhan gas 59 rumah warga.

Di balik nikmatnya rasa tahu dan tempe, proses produksi makanan khas Indonesia yang dikenal sejak abad 16 itu, terdapat limbah yang punya potensi merusak lingkungan. Limbah  produksi tahu tempe itu, bisa padat (ampas) maupun yang cair.

Limbah padat tahu tempe dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan. Oleh perajin, limbah padat ini dijual untuk diolah menjadi tempe gembus, kerupuk ampas tahu, dan pakan ternak.

Sementara itu, limbah cair dihasilkan dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu. Volume limbah cair setiap kali proses produksi sangat banyak. Limbah cair tersebut punya kandungan bahan organik tinggi dan kadar Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang berbahaya.

Selain berbau busuk dan menyengat, juga punya daya rusak lingkungan. Jika dibuang langsung ke sungai akan merusak airnya dan menurunkan daya dukung lingkungan.

Problem limbah produksi tahu tempe dari 1,5 juta perajin yang tergabung  dalam Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), menarik minat sejumlah peneliti  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang bersalin nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mereka mencoba menawarkan satu solusi, mengubah limbah berbahaya menjadi bermanfaat, dengan cara membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).

Selain mampu mengolah limbah cair menjadi layak buang, sehingga bisa mengatasi masalah pencemaran, juga sekaligus menjadikan limbah cair tahu lebih bermanfaat. Yaitu, dijadikan sebagai biogas.

Adalah perajin tahu Sumedang yang menjadi pilot project IPAL yang ditawarkan BRIN. Awalnya, sebanyak 11 perajin tahu di Dusun Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten  Sumedang, Jawa Barat, membuang limbah secara sembarangan ke Sungai Cileuweung. Akibatnya, air sungai pun tercemar.

Aroma busuk limbah tahu itu pun memunculkan protes warga sekitar. Bahkan, di masa puncak produksi, warga dari hilir kerap menyatroni pabrik-pabrik tahu tersebut untuk memprotes bau busuk.

Berangkat dari situasi itu, sebagaimana dilaporkan Majalah GPRNews edisi Maret 2023,  BRIN yang menggandeng Nanyang Technological University, Singapura, bersepakat dengan warga dan perajin,  membangun IPAL pada 2011. Lima tahun kemudian, persisnya  pada 2016, IPAL tersebut beroperasi penuh dan diserahterimakan kepada warga untuk dikelola secara mandiri.

IPAL limbah cair tahu di Dusun Giriharja ini berdiri di atas lahan seluas total 500 meter persegi. Pengolahan limbah cair tahu dilakukan dengan mekanisme anaerobik. Limbah diproses dengan mekanisme anaerobik agar mikroba tidak bisa hidup bila ada udara sehingga harus tertutup.

Merujuk peneliti dari Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PR LTB) BRIN Neni Sinta Wardani, limbah cair tahu yang punya kandungan organik tinggi diuraikan oleh mikroba menjadi metana dan karbondioksida atau yang dikenal sebagai energi biogas. BRIN juga membangun sistem pengaliran limbah cair dari pabrik tahu menuju IPAL Anaerobik.

Proses Produksi

IPAL Kelompok Perajin Tahu Giriharja  itu berkapasitas 24 meter kubik per hari. Setiap hari IPAL tersebut menerima limbah cair sekitar 20--25 ton dari seluruh pabrik tahu di sini. Dari limbah tersebut, diproses menghasilkan biogas atau api biru, yang kemudian disalurkan ke  masyarakat untuk keperluan memasak.

Proses produksi api biru tahu itu diawali dari limbah cair tahu yang  disedot secara otomatis ke dalam enam tabung reaktor warna hitam. Di dalamnya terdapat mikroba yang membantu mengubah limbah cair menjadi gas metana dan air bersih. Limbah yang telah berubah menjadi gas metana selanjutnya ditampung dalam gas bag atau tabung besar sebagai wadah penyimpan.

Nantinya, biogas di dalam gas bag ini akan disalurkan ke dapur rumah-rumah warga menggunakan pipa besi. Hingga sekarang, 59 rumah di RT 5 RW 6 telah mendapatkan manfaat dari biogas limbah cair tahu. Sisa limbah berupa cairan kemudian dialirkan ke Sungai Cileuwung sudah berupa air bersih dan tidak berbau. Warga yang tinggal di hilir pun sudah tidak lagi merasakan bau.   

Salah satu warga yang memanfaatkan biogas ini adalah Rohimah. Ibu rumah tangga berusia 53 tahun ini mengaku dapat menghemat pengeluaran dengan mengonsumsi biogas dari IPAL Giriharja. Ia juga mendapat kompor gratis karena menjadi pelanggan biogas. "Saya cukup membayar Rp20 ribu per bulan untuk berlangganan biogas. Ini jauh lebih hemat dibandingkan memakai gas elpiji subsidi 3 kilogram. Karena pengeluaran saya bisa sekitar Rp60 ribu untuk membeli gas subsidi," jelas Rohimah.

Kendati demikian, produksi biogas dari limbah cair tahu di Dusun Giriharja bukannya tanpa kendala. Warga tidak dapat menggunakan gas terus-menerus selama 24 jam karena bergantung pada sejumlah faktor. Misalnya, volume limbah cair yang diproduksi pabrik tahu setiap hari yang tidak selalu konsisten.

Jika harga kedelai sebagai bahan  baku utama pembuatan tahu sedang meroket, maka hanya sebagian kecil pabrik tahu yang berproduksi secara terbatas. Ini tentunya akan berpengaruh kepada volume biogas yang diproduksi dari IPAL. Kemudian, konsumsi biogas ke dapur rumah-rumah warga dibatasi pemakaiannya dari pukul 4.00 WIB hingga 10.00 WIB dan 14.00-19.00 WIB.

Beberapa warga yang berlangganan biogas juga masih memanfaatkan gas elpiji subsidi atau dikenal sebagai gas melon secara terbatas untuk menyiasati jam operasional penyaluran biogas.  Namun, setidaknya masyarakat di Dusun Giriharja telah memberanikan diri mengelola sendiri limbah tahu menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan menciptakan ekonomi sirkular yang dapat dicontoh oleh daerah lain di Indonesia.

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari