Indonesia.go.id - Kearifan Masyarakat Toraja dan Mbojo Merawat Air

Kearifan Masyarakat Toraja dan Mbojo Merawat Air

  • Administrator
  • Minggu, 16 Juni 2024 | 13:29 WIB
BUDAYA
  Kuang, sumur kecil di tengah sawah yang sudah digunakan turun temurun di lahan pertanian Tanah Toraja. IST
Masyarakat di Nusantara memiliki beragam cara dalam menjaga dan mengelola air secara adil dan lestari untuk kehidupan.

Masyarakat di Nusantara memiliki beragam cara dalam menjaga dan mengelola air secara adil dan lestari untuk kehidupan. Pola dan tradisi tersebut menciptakan banyak kearifan lokal dan dipertahankan secara turun temurun hingga sekarang. Hal itu terjadi lantaran kearifan lokal dalam mengelola dan melestarikan air memberi banyak manfaat tidak hanya bagi masyarakat itu sendiri, melainkan juga untuk peningkatan hasil pertanian dan peternakan.

Penduduk Toraja pun menyimpan kisah kearifan lokal yang masih berkembang meski dalam jumlah terbatas. Toraja merupakan salah satu suku asli di Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut Hetty Nooy-Palm dalam Introduction to Sa'dan People to Their Country, kata toraja pertama kali disematkan oleh kolonial pada tahun 1909. Dalam bahasa Bugis, toraja atau to riaja artinya adalah orang-orang yang bertempat tinggal di negeri atas.

Hal itu setidaknya sejalan dengan informasi di portal resmi milik Pemerintah Provinsi Sulsel bahwa suku Toraja tinggal di pegunungan bagian utara dengan populasi sekitar satu juta jiwa. Mereka juga tersebar di Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. Pada awalnya penduduk Toraja adalah imigran dari pesisir Teluk Tonkin di sekitar Laut Tiongkok Selatan berbatasan dengan Vietnam.

Peneliti antropologi Columbia University, Toby Alice Volkman, dalam penelitiannya mengenai suku Toraja menemukan fakta bahwa mereka hanya memiliki sedikit lahan pertanian produktif karena tinggal di pegunungan. Namun, penduduk Toraja memiliki cara unik untuk bertahan menjaga lahan pertanian padi mereka agar tetap bisa diairi dan memberikan panen. Sebuah sistem irigasi yang jarang ditemukan di seluruh Nusantara berhasil dikembangkan dan bertahan hingga sekarang.

Mereka menyebutnya sebagai kuang, yaitu sistem pengolahan lahan persawahan tadah hujan dengan membangun sumur-sumur kecil di tengah areal pertanian. Sumur ini dipakai untuk menampung air hujan dan menjadi sumber air minum bagi ternak serta tempat budidaya ikan. Kuang yang dibangun dengan kedalaman dua meter ini turut berfungsi sebagai sumber pengairan areal sawah tadah hujan. Keberadaan kuang juga sangat berarti terutama ketika musim kemarau karena dapat dijadikan penampungan air irigasi.  

Masyarakat Toraja umumnya membangun kuang dengan model permukaan bulat atau persegi. Sebagai penanda adanya kuang di sawah sekaligus memperkuat struktur, pemilik lahan biasanya menahan tepian kuang memakai kayu, bambu, atau tumbuhan berakar serabut yang kuat seperti rumput-rumputan. Ini berguna agar tepian kuang makin kuat dan tidak mudah longsor.

Dalam sepetak lahan seluas minimal dua hektare, para petani umumnya menggali tiga lubang untuk dijadikan kuang agar lebih optimal selain untuk keberlangsungan ekosistem. Sebagai kolam budidaya, tiga kuang di tengah sawah dapat diisi oleh aneka ikan. Kuang pertama biasanya ditempatkan ikan untuk konsumsi harian, kuang kedua diisi ikan untuk upacara adat dan kuang ketiga diletakkan ikan sebagai lauk ketika ada tamu ke rumah.

 

Kearifan Lokal Parafu

Sementara itu, terpisah jarak ribuan kilometer dari Toraja ada sebuah daerah di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dimana bermukim masyarakat Mbojo sebagai suku asli di Bima. Menurut Ridwan dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima dalam penelitiannya berjudul "Ekologi Manusia: Rekonstruksi Moralitas Tradisi Mbojo-Bima, Samawa, dan Sasak dalam Keberlanjutan Lingkungan Hidup NTB" menjelaskan beberapa hal.

Misalnya, secara kepecayaan masyarakat Mbojo mengenal adanya parafu yakni semacam sumber mata air (mada oi) tertentu. Sebab, tak semua mada oi merupakan parafu. Budayawan Bima bernama Alan Malingi dikutip dari Jurnal Fundamental volume 12 nomor 1 Januari-Juni 2023 menyebutkan bahwa bahwa beberapa mata air yang masih dianggap sakral sampai saat ini di antaranya Oi Lanco, Oi Mbou, dan Oi Lombi yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.

Masyarakat Lambitu sangat menghormati pohon-pohon dan bebatuan karena dapat memberikan kelestarian mata air parafu. Ini menunjukkan suku Mbojo mampu memunculkan suasana kelestarian dan perwujudan interaksi antara manusia dengan lingkungan. Sedangkan di Desa Sambori dapat ditemukan parafu di La Ngganci, Sanindi, Dewa Ompu Manda, Matakoda, dan Oi Kalo.

Aturan adat pun dibuat untuk melindungi parafu semisal warga setempat tidak boleh buang hajat sembarangan di sekitarnya, tidak boleh menebang tumbuhan sekitar, dan tiap parafu wajib dibersihkan sekali setahun. Ditegakkannya aturan adat memberikan keuntungan bagi keberadaan parafu karena aneka pohon tumbuh subur di sekitar dan memberi pemandangan berbeda di lereng perbukitan gersang dan tandus.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari