Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan Pemerintah perlu mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur sesuai ketentuan.
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi melakukan pemetaan kesiapan Indonesia dalam upaya dekarbonisasi pada pengiriman dan pelabuhan (decarbonizing shipping and port) dengan marine fuel oil (MFO) Rendah Sulfur di Selat Malaka dan Selat Sunda.
Kegiatan yang dilakukan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi itu demi mempercepat upaya pengurangan emisi menjadi net-zero dan implementasi green port. Deputi Koordinasi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marinves) Basilio Dias Araujo dalam rapat koordinasi pada 9 November 2021 menjelaskan, pada 2021, seluruh negara di dunia kembali menegaskan komitmen dan meningkatkan perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim.
Penegasan komitmen tersebut juga disampaikan oleh Presiden RI pada COP-26 UNFCCC yang percaya bahwa Indonesia dapat memenuhi komitmen pada 2030 di dalam Paris Agreement, yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen.
Sementara pada 1 Januari tahun lalu, Organisasi Maritim Internasional/International Maritime Organization (IMO) telah memberlakukan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak yang digunakan di kapal. Aturan yang dikenal sebagai “IMO 2020” tersebut membatasi sulfur hingga 0,50% m/m dari batas sebelumnya sebesar 3,5%.
Dalam area kontrol emisi yang ditentukan, batasannya sudah lebih ketat (0,10%). Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).
Sehubungan dengan hal tersebut, di tingkat nasional pengaturan tersebut dituangkan dalam Surat Edaran (SE) nomor 35 tahun 2019 Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan tentang “Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.”
“Dalam SE nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m,” jelas Basilio.
Selain untuk mendukung decarbonizing shipping and port, Basilio juga mendorong kapal-kapal agar menggunakan LS MFO agar dapat menambah pendapatan untuk negara jika Indonesia dapat menjual LS MFO kepada kapal yang melintas.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa sekitar 90.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya, sekitar 53.068 kapal melewati Selat Sunda setiap tahunnya, dan sekitar 36.773 kapal melewati Selat Lombok setiap tahunnya. Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan Pemerintah Indonesia perlu untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m.
Terkait kesiapan Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil di Indonesia, Pertamina telah meluncurkan bahan bakar kapal MFO sulfur rendah dan telah melakukan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) dengan PT Patra Niaga Pertamina dilakukan pada 4 Agustus 2021.
“Penjualan perdana bunkering LS MFO juga sudah dilakukan di Dermaga KIP Cilegon pada 27 Agustus 2021 kepada kapal asing MV. Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO,” lanjut Basilio.
Untuk meningkatkan decarbonizing shipping and port dan pendapatan negara dari kegiatan bunkering LS MFO diperlukan dukungan dari stakeholder terkait, baik dari kementerian dan lembaga, BUMN dan swasta, pemilik kapal, galangan kapal, serta organisasi internasional, seperti IMO, UNCTAD, dan World Bank.
Basilio berpendapat bahwa IMO dapat membantu upaya mempromosikan teknologi rendah karbon dengan memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerja sama teknis, serta peningkatan efisiensi energi kapal, dan menilai secara berkala penyediaan dana dan teknologi serta pengembangan kapasitas untuk mengimplementasikan Strategi IMO melalui Integrated Technical Cooperation Programme (ITCP) dan inisiatif lain termasuk proyek GloMEEP dan jaringan Maritime Technologies Cooperation Centre (MTCC).
Perlu diketahui, sebagai anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) atau Organisasi Maritime Internasional, Indonesia berperan aktif dalam mengawal terpenuhinya aspek keselamatan dan keamanan pelayaran baik untuk pelayaran internasional.
Berbagai langkah peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran khususnya pelayaran internasional sudah dilakukan negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) berdasarkan dengan hasil keputusan Sidang IMO Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada Juni 2019. Pemberlakuan TSS akan dimulai pada Juli 2020.
Sebelumnya Indonesia bersama Malaysia dan Singapura telah memiliki TSS di Selat Malaka dan Selat Singapura. Namun TSS di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut berbeda pengaturannya, mengingat itu dimiliki oleh tiga negara, sedangkan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok hanya Indonesia yang memiliki wewenang untuk pengaturannya. Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki TSS melalui pengesahan oleh IMO dan berada di dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan ALKI II.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari