Masih ada sisa anggaran cadangan kebencanaan Rp1 triliun sampai akhir tahun. Tak ada istilah tutup buku, meski jelang tutup tahun. Kas anggaran kebencanaan tidak mengenal hari libur.
Guncangan gempa bermagnitudo 7,4 skala Richter terjadi pada pukul 12.20 waktu Indonesia bagian barat, pada Selasa (14/12/21). Episentrumnya di 7,59 derajat lintang selatan (LS), dan 122,24 derajat bujur timur (BT). ‘’Lebih tepatnya, lokasinya di Laut Flores pada jarak 112 km ke arah barat laut, dari Kota Larantuka, NTT. Adapun pusat gempa berada di kedalaman 10 km,” kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BPKG) Profesor Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers tidak beberapa lama setelah gempa terjadi.
Gempa terjadi akibat aktivitas pada patahan di Laut Flores. Guncangannya terasa keras di Larantuka, dan beberapa tempat lain di Pulau Flores, seperti Maumere, Ruteng, Labuan Bajo, bahkan sampai ke Pulau Sumba, yang berada di belakang Flores dari arah pusat gempa. Getarannya juga merembet ke arah barat laut dan dirasakan hingga Makassar, Kota Bulukumba, dan Buton di Sulawesi Tenggara.
BMKG pun mengeluarkan peringatan tsunami. Mula-mula diprediksi antara 0,5–3 meter. Tapi, tak berapa lama peringatan tsunami itu dikoreksi menjadi di bawah 0,5 meter saja. Faktanya, tsunami memang tak terjadi. Namun, masyarakat kota Larantuka sempat mengevakuasi diri menjauh dari pantai dan mencari tempat aman di ketinggian. Kerusakan di Larantuka tak seberapa.
Yang mengalami guncangan lebih berat adalah Kabupaten Selayar, yakni gugusan kepulauan yang berada di antara Flores dan Sulawesi Selatan. Gempa terasa besar di situ, warga pun mengungsi ke tempat-tempat tinggi, meski tsunami tak terjadi. Sejauh ini tak dilaporkan ada korban jiwa, namun 345 unit rumah rusak, 134 unit di antaranya rusak berat. Utamanya di Kecamatan Pasilambena dan Pasirmerannu. Keduanya pulau yang terpisah dari Pulau Selayar. Pemkab Selayar telah menetapkan masa tanggap darurat selama 2 minggu.
Gempa di Laut Flores itu terjadi berselang 10 hari setelah Gunung Semeru meletus dan melahirkan guguran lava panas, akibat runtuhnya kubah lava di bibir kawah. Disertai guyuran hujan di sekitar puncak gunung, peristiwa vulkanik itu menimbulkan banjir lumpur panas disertai amukan guguran awan panas ke arah lereng tenggara. Sedikitnya 46 korban tewas, 9 luka berat, dan belasan lainnya masih dalam pencarian. Sekitar 9.000 warga mengungsi.
Kerusakan terjadi di sekitar aliran Sungai Kobokan, yang oleh warga setempat disebut Besuk Semut, di Kecamatan Candipuro dan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Guguran lahar panas itu menerjang dan meluber ke kiri kanan sungai sepanjang 13 km, dari puncak Semeru di ketinggian 3.670 meter dari permukaan laut (dpl) hingga ke Jembatan Gladak Perak di lembah dengan elevasi 670 dpl. Alur sungai yang curam membuat banjir lumpur panas itu mengalir cepat dan kuat.
Foto satelit yang dirilis Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan)/BRIN menunjukkan, area yang terdampak langsung mencakup 2.418 ha, yang terdiri dari kawasan hutan seluas 910 hektare (Ha), lahan terbuka 764 Ha, hutan sekunder 243 Ha, lahan pertanian 161 Ha, ladang 161 Ha, kebun tanaman keras 78 Ha, pemukiman 68 Ha, semak belukar 21 Ha, dan tubuh air 10,4 Ha.
Rumah penduduk yang hancur 2.900 unit, dan sebagian besar tak bisa dihuni lagi karena berada di zona bahaya. Pemerintah berencana merekolasi mereka, bergeser menjauh dari aliran lahar. Lahan Perhutani menjadi opsi bagi hunian baru itu. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono untuk segera membangun kembali jembatan Gladak Perak yang ambrol. Jembatan lama yang berumur 23 tahun, dengan bentangan gelagar beton sepanjang 115 meter itu, ambruk karena fondasinya jebol digerus aliran lumpur panas.
Anggaran Bencana
Pemerintah pusat dan daerah memiliki pos anggaran tersendiri bagi aksi penanggulangan bencana. Dana tersebut ada yang disediakan bagi kesiapsiagaan pada tahap prabencana (biasa disebut dana kontingensi), dan ada juga yang digunakan untuk penanggulangan pascabencana.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, sumber dana penanggulangan bencana itu ialah APBD dan APBN. Pelaksanannya pemerintah pusat dan daerah (pemprov, pemkab, serta pemkot). Dana kontingensi digunakan untuk membiayai kegiatan mitigasi bencana, termasuk membangun sarana mengurangi risiko bencana.
Bagi pemerintah pusat ada “dana siap pakai” yang ditempatkan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dana tersebut biasa digunakan untuk tanggap darurat bencana, mulai dari urusan evakuasi korban bencana, pencarian korban, perawatan korban, pasokan makanan dan minuman bagi korban, penyediaan tenda pengungsi dengan segala kebutuhannya.
Pemerintah pusat pun memiliki pos pembiayaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Anggarannya dititip di Kementerian Keuangan. Penggunaannya atas permohonan daerah, diverifikasi BNPB, dan pelaksananya seringkali Kementerian PUPR. Utamanya untuk pembangunan kembali infrastruktur jembatan, jalan, permukiman, air bersih, dan seterusnya.
Terkait rekonstruksi ini, sering pemerintah membangun rumah sederhana yang dibagikan kepada korban bencana, dalam skema bantuan sosial atau hibah, melalui Kementerian Sosial, meski pada pelaksanaanya ditangani Kementerian PUPR. Kementerian Sosial juga memberikan santunan pada korban meninggal (diberikan kepada ahli warisnya) dan yang mengalami cacat akibat bencana.
Dengan skema pembiayan tersebut, pemerintah melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana, yang selalu terjadi di setiap tahunnya. Dalam peta BNPB, dari 83 ribu desa di Indonesia, 56 ribu di antaranya dinyatakan punya risiko bencana. Kalau tidak menghadapi risiko genangan banjir, bisa juga terjangan banjir bandang, atau tanah longsor.
Yang lain menghadapi risiko abrasi, banjir rob, atau gempa sekaligus tsunami. Ada pula yang punya risiko terpapar kebakaran hutan dan lahan, sebagian lagi diintai letusan gunung berapi dan paparan banjir lava serta gulungan awan panas vulkanis. Wilayah Indonesia sangat luas, berada di garis cincin api yang menjadi sumber gunung berapi serta gempa bumi.
Sebagian wilayah Indonesia juga berada dalam zona iklim tropis basah, yang selalu membawa risiko banjir, banjir bandang, genangan, atau tanah longsor. Memasuki 2021, di luar bencana pandemi Covid-19, ada bencana gempa di Sulawesi Barat, banjir besar di Kalimantan Selatan, amukan badai tropis di NTT, dan sejumlah bencana lain, hingga yang terbaru adalah banjir guguran lava di Gunung Semeru serta gempa di Laut Flores.
Pemerintah pusat mencadangkan anggaran penanggulangan bencana di 2021 sebesar Rp3,7 triliun. Dana penanggulangan bencana itu biasa disebut cadangan untuk bencana yang dititipkan di Kementerian Keuangan, meski pengguna anggarannya adalah BNPB dan Kemensos. Penggunaannya ialah untuk tanggap darurat bencana, hingga rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Saat ditemui wartawan Selasa (7/12/21) di Gedung DPR-RI, Senayan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, per 30 November 2021 masih ada sisa Rp1 triliun dari Rp3,7 triliun yang dicadangkan itu. Yang Rp2,7 triliun sudah dibelanjakan, dan sebagian besar untuk tanggap darurat bencana, yakni Rp1,7 triliun. Yang Rp1 triliun lainnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sisa yang Rp1 triliun itu bisa dicairkan sewaktu-waktu ada bencana, termasuk ke bencana Semeru dan gempa Laut Flores. ‘’Meskipun sudah menjelang tutup tahun, tidak ada istilah tutup buku. Jadi, kita tetap standby, siaga,’’ kata Menkeu Sri Mulyani. Tak ada hari libur untuk urusan kebencanaan.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari