MoU Inalum dengan produsen aluminium terbesar di Uni Emirat Arab merupakan langkah strategis ekspansi produksi hingga 400 ribu ton/tahun.
Pada 31 Maret 2022 terjadi peristiwa bersejarah. Pada saat itu PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum) melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama strategis dengan Emirates Global Aluminium (EGA).
EGA perusahaan industri aluminium terbesar di Uni Emirat Arab (UEA). Penandatanganan itu merupakan langkah strategis Inalum dalam ekspansi produksi aluminium hingga 400 ribu ton/tahun pada 2024. Sekaligus, mendorong hilirisasi industri aluminium yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk Indonesia.
Penandatanganan MoU dilakukan dalam perhelatan Dubai Expo 2020 oleh Direktur Utama Inalum Hendi Prio Santoso dan CEO EGA Abdulnasser bin Kalban. Turut hadir dalam acara tersebut Vice Chairman EGA Saeed Mohammed Al Tayer, EGA Board member Musabbeh Al Kaabi, dan Duta Besar Indonesia untuk UEA Husin Bagis.
Merujuk Booklet Tambang Bauksit 2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan bauksit sebanyak 1,2 miliar ton atau setara 4% cadangan bijih bauksit dunia yang mencapai 30,39 miliar ton.
Pada 2019, produksi bijih bauksit Indonesia mencapai 16 juta ton. Sekedar informasi, bauksit dapat dimurnikan untuk memperoleh alumina dan dilebur untuk membuat aluminium. Diperlukan 2 ton—3 ton bauksit untuk menghasilkan satu ton alumina.
Kebutuhan aluminium Indonesia mencapai 1 juta ton, di mana produksi dalam negeri hanya sebesar 250.000 ton. “Inalum optimistis kerja sama strategis ini akan meningkatkan performa perusahaan. Kami yakin, kolaborasi ini akan memberikan pembaharuan yaitu dengan penerapan teknologi peleburan modern yang dimiliki oleh EGA di Inalum. Kami juga menantikan pencapaian-pencapaian besar lainnya bersama EGA dalam ekosistem industri aluminium di Indonesia, baik yang sudah ada saat ini maupun proyek-proyek baru di masa depan,” kata Direktur Utama Inalum Hendi Prio Santoso.
CEO EGA Abdulnasser bin Kalban mengatakan, “Kesepakatan ini semakin memperdalam kerja sama kami dengan Inalum, yang didasarkan pada potensi penggunaan teknologi EGA di sejumlah proyek pembangunan di Indonesia. Tujuan kami adalah untuk mengembangkan posisi kami sebagai penyedia teknologi pilihan di industri kami, mengembangkan aliran pendapatan untuk EGA dari lisensi teknologi dan kemungkinan peluang lebih lanjut, sambil memperkuat hubungan antara kedua negara kami.”
Salah satu poin kesepahaman disebutkan bahwa Inalum dan EGA akan melakukan feasibility study dalam hal penggunaan teknologi EGA di smelter Inalum di Kuala Tanjung, Sumatra Utara. Rencananya, mereka akan melakukan peningkatan produksi hingga 400.000 ton per tahun.
Diharapkan melalui kesepahaman ini pula, dapat dieksplorasi potensi-potensi baru dalam sektor industri pengolahan aluminium yang belum dikembangkan di Indonesia. EGA merupakan sebuah perusahaan peleburan dan pengolahan aluminium kelas dunia. Selama 25 tahun di UEA, mereka telah melakukan pengembangan teknologi secara mandiri dalam hal peleburan aluminium. Pengembangan teknologi tersebut menjadikan EGA sebagai salah satu perusahaan peleburan dan pengolahan aluminium terbesar di dunia.
Sedangkan Inalum berkomitmen melakukan inisiatif pengembangan proyek strategis industri aluminium, di antaranya Proyek Upgrading Teknologi Tungku Reduksi, Optimalisasi Smelter Aluminium Kuala Tanjung, Proyek Smelter Grade Alumina Refinery di Mempawah, dan Pembangunan Aluminium Remelt IAA.
Sejalan dengan potensi besar pangsa pasar aluminium, baik secara domestik dan regional, Inalum terus berupaya mewujudkan pengembangan klaster industri aluminium nasional. Selain itu, perusahaan juga melakukan kolaborasi dengan PLN dalam rangka menciptakan ketersediaan energi di Sumatra Utara.
Inalum telah melakukan kontrak dengan Emirates Global Aluminium (EGA) sejak Desember 2020 sebagai kelanjutan dari kesepakatan bisnis yang ditandatangani kedua perusahaan, dan dipertukarkan di depan Presiden Joko Widodo dan Putra Mahkota UEA di Abu Dhabi pada 12 Januari 2020. PT Inalum berdiri pada 6 Januari 1976 sebagai sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk.
Perbandingan saham antara Pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co Ltd, pada saat perusahaan didirikan, adalah 10% dengan 90%. Pada Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25% dengan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13% dengan 58,87%. Sejak 10 Februari 1998, menjadi 41,12% dengan 58,88%.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian induk, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan SK Presiden nomor 5/1976. Keputusan itu melandasi terbentuknya Otorita Pengembangan Proyek Asahan sebagai wakil pemerintahan yang bertanggung jawab atas lancarnya pembangunan dan pengembangan proyek Asahan.
Inalum dapat dicatat sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang industri peleburan aluminium, dengan investasi sebesar 411 milyar Yen. Perubahan status dari PMA menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013 sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian induk.
Pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia dan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9 Desember 2013. Secara de jure Inalum resmi menjadi BUMN pada 19 Desember 2013, setelah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium.
PT Inalum (Persero) resmi menjadi BUMN ke-141 pada 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2014. Ketika itu, pemerintah menyiapkan anggaran Rp7 triliun untuk akuisisi ini.
Pada 2017, pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2017 pada 10 November 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium. Kemudian pada 27 November 2017, pemerintah melakukan penandatanganan pengalihan saham pemerintah di PT Freeport Indonesia kepada PT Inalum (Persero) yang sekaligus menandakan bahwa Holding Industri Pertambangan resmi dibentuk. Saat itu, Inalum sebagai anggota dari Mining Industry Indonesia (MIND ID), BUMN Holding Industri Pertambangan.
Pada 29 November 2017, PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa resmi mengumumkan pengalihan saham pemerintah ke dalam modal saham perusahaan perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium.
Pabrik ini setiap harinya menghasilkan tiga produk aluminium untuk konsumsi industri dalam negeri. Adapun ketiga produk unggulan tersebut adalah aluminium ingot, aluminium billet, dan aluminium alloy.
Aluminium ingot merupakan aluminium batangan yang biasanya akan dilebur ulang untuk dijadikan berbagai macam produk. Sebut saja untuk bahan material otomotif yaitu velg, hingga komoditas kemasan seperti kaleng makanan dan minuman.
Setiap batang aluminium ingot dari Inalum memiliki berat 22,7 kg dengan 2 jenis kualitas produk yaitu 99,90% dan 99,70%. Produk ini juga telah terdaftar pada London Metal Exchange (LME) pada 23 September 1987.
Produk unggulan kedua yang dihasilkan Inalum adalah aluminium billet. Berbeda dari aluminum ingot yang berbentuk batangan, aluminium billet bentuknya mirip seperti pipa-pipa panjang. Aluminium billet dapat dipakai untuk bahan konstruksi bangunan.
Untuk produk ketiga yaitu aluminium alloy yang menjadi turunan lainnya dari produk aluminum. Aluminium alloy merupakan produk yang tinggal dilebur untuk dijadikan material lainnya.
Produk aluminium alloy milik Inalum memiliki berat kurang lebih 10 kg per batangnya, dengan panjang 730 mm. Pada praktiknya, ketiga produk unggulan dari Inalum ini dapat dijadikan velg hingga kerangka mobil, kerangka pesawat, dan komponen otomotif lainnya.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari