Situasi Indonesia yang terlihat normal saat ini sebenarnya masih diliputi ketidakpastian global. Hal itu menjadi alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
Mengisi kekosongan hukum UU Cipta Kerja, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perppu itu merevisi sejumlah aturan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Presiden menyebut, situasi Indonesia yang terlihat normal saat ini sebenarnya masih diliputi ketidakpastian global. Hal itu sekaligus menjadi alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
“Kita tahu kita ini kelihatannya normal, tetapi diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastian global. Saya sudah berkali-kali menyampaikan ada 14 negara pasien IMF, yang 28 mengantre di depan pintunya IMF,” ujar Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Kepala Negara menyatakan, lebih lanjut, dunia saat ini pada dasarnya sedang tidak baik-baik saja. Masih ada ancaman risiko ketidakpastian pada masa mendatang. Karena itu, pemerintah coba mengantisipasi itu lewat perppu untuk memberi kepastian hukum kepada para investor dalam dan luar negeri.
“Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan perppu, karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum, yang dalam persepsi para investor baik dalam maupun luar. Itu yang paling penting, karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor,” ujar Presiden.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022) menegaskan, penerbitan perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujarnya dalam keterangan pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta.
Airlangga juga menyampaikan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, keberadaan perppu itu diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha. “Tahun depan karena kita sudah mengatur bujet defisit kurang dari tiga persen dan ini mengandalkan kepada investasi. Jadi, tahun depan investasi kita diminta ditargetkan Rp1.200 triliun. Oleh karena itu, ini menjadi penting, kepastian hukum untuk diadakan. Sehingga tentunya dengan keluarnya Perppu nomor 2 tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Adapun isi dari Perppu Cipta Kerja ini seputar pengaturan upah minimum bagi pekerja alihdaya atau outsourcing. Kemudian, Perppu Cipta Kerja ini juga menyinkronkan antara UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Pada Perppu Cipta Kerja, pemerintah juga melakukan penyempurnaan substansi pemanfaatan sumber daya air bagi kepentingan umum, perbaikan kesalahan typo atau rujukan pasal, legal drafting, dan kesalahan lain yang nonsubstansial.
“Yang lain disempurnakan sesuai dengan pembahasan kementerian/lembaga terkait dan sudah dikomunikasikan kalangan akademisi,” tukas Menko Airlangga.
Menko Polhukam Mahfud MD menambahkan, perppu ini sekaligus menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja. Hal itu karena perppu setara dengan undang-undang dalam hukum Indonesia.
Menurut Menko Mahfud, pertimbangan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan terkait keluarnya Perppu Cipta Kerja karena kebutuhan mendesak ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 38/PUU-VII/2009.
Sebetulnya, lahirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja diinisiasi oleh pemerintah dan DPR untuk menciptakan iklim usaha dan investasi yang berkualitas bagi para pelaku bisnis, termasuk UMKM dan investor asing.
Melalui UU itu, regulasi yang tumpang-tindih dan prosedur yang sebelumnya cukup rumit dipangkas. Begitu halnya dengan rantai birokrasi perizinan yang berbelit-belit, serta pungutan liar yang selama ini menghambat usaha dan investasi. Namun, langkah-langkah itu dilakukan dengan tetap mengutamakan terjaganya lingkungan.
Kendati sejumlah kalangan menilai pembuatan UU Cipta Kerja itu relatif kilat, tentu tujuan baik melatari pembentukan UU itu. Sehingga bisa dikatakan, UU itu mendukung pembangunan terakselerasi dengan baik, investasi masuk ke dalam negeri dengan deras, pelaku usaha dan UMKM pun mendapatkan iklim usaha yang berkualitas.
Setelah dibahas di DPR sejak April 2020, RUU tentang Cipta Kerja atau juga dikenal Omnibus Law pun resmi disahkan menjadi UU oleh DPR pada 5 Oktober 2020, dan diundangkan pada 2 November 2020. Tak lama berselang, satu organisasi buruh mengajukan permohonan uji materi UU Cipta Kerja ke MK. Putusan MK dari gugatan inilah yang kemudian menjadi dasar terbitnya Perppu 2/2022 tersebut.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari