Indonesia.go.id - Menjawab Isu Ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja

Menjawab Isu Ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja

  • Administrator
  • Selasa, 10 Januari 2023 | 09:05 WIB
PERPPU CIPTA KERJA
  Ilustrasi. Pekerja di kawasan Jenderal Sudirman Jakarta. dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini dimaknai bahwa pelaksanaan alih daya dapat dilakukan/terbuka untuk semua jenis pekerjaan dalam suatu proses produksi. ANTARA FOTO
Perppu Ciptaker merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab dinamika ketenagakerjaan.

Pada akhir 2022, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu itu merevisi sejumlah aturan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Dalam beleid tersebut, sejumlah pasal yang disorot publik adalah yang terkait ketenagakerjaan. Antara lain, soal penentuan upah minimum pekerja, pengaturan pekerjaan alih daya (outsourcing), cuti pekerja, dan pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Adapun, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI menerangkan, Perppu ini merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. “Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” kata Menaker, Rabu (4/1/2023).

Dijelaskan, substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu itu, antara lain, soal ketentuan outsourcing, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum, dan perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Menaker juga menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama kalangan pekerja/buruh dan pengusaha di Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta.

Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen. Substansi perppu, dijelaskan lebih lanjut oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Indah Anggoro Putri, dalam keterangan pers tentang Perppu Cipta Kerja pada Jumat (6/1/2023).

Pada kesempatan itu, Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker menepis isu yang menyatakan bahwa pemerintah pusat akan kembali menetapkan seluruh kebijakan upah di daerah. Dirjen Indah menjelaskan, dalam Perppu Cipta Kerja ini memang ada perubahan substansi Ketenagakerjaan terkait upah minimum pada Pasal 88 C, 88 D, dan 88 F.

Di antaranya, penegasan syarat penetapan upah minimum kabupaten/kota. Besaran UMK dapat ditetapkan bila hasil penghitungannya lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Sementara itu, bagi kabupaten/kota yang belum mempunyai UMK dan akan menetapkan UMK, harus memenuhi syarat tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP).

Formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula ini lebih lanjut akan diatur dalam PP. Dipastikan pemerintah akan menetapkan formula yang lebih adaptif.

Sebagai konsekuensi dari Perppu Cipta Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Sebab, dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini dimaknai bahwa pelaksanaan alih daya dapat dilakukan/terbuka untuk semua jenis pekerjaan dalam suatu proses produksi.

Sementara itu, dalam perppu itu juga diatur tentang pembatasan jenis pekerjaan. Perppu Cipta Kerja mengatur alih daya dibatasi hanya dapat dilakukan untuk sebagian pekerjaan, yang mana hal ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam PP.

Satu hal, Perppu No 2/2022 memang tidak mengatur periode waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tetapi mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam revisi PP 35/2021. Disebutkan dalam perppu, ada dua jenis PKWT, yakni PKWT berdasarkan jangka waktu. Jangka waktunya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maksimal lima tahun.

Selanjutnya, PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dengan demikian, tidak ada ketentuan PKWT bisa diberlakukan terus- menerus sampai seumur hidup. “Jangka waktunya ditetapkan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak antara manajemen perusahaan dan pekerja, dan dalam PKWT tersebut juga harus disebut ruang lingkup selesainya pekerjaan,” tukas Dirjen Indah.

Tidak Ada PHK Sepihak

Pihak Kemnaker juga menegaskan di dalam perppu itu tidak ada aturan bahwa PHK boleh dilakukan sepihak. Ketika terjadi perselisihan PHK, dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Para pekerja juga tidak perlu khawatir karena Perppu 2/2022 tetap mengatur uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Adapun besarannya untuk masing-masing alasan PHK nanti diatur lebih lanjut dalam revisi PP 35/2021.

Perppu ini tetap memastikan perusahaan dan pekerja memiliki perjanjian masa istirahat. Pekerja/buruh masih mendapatkan libur satu hari jika enam hari kerja dalam seminggu atau dua hari istirahat ketika bekerja lima hari dalam seminggu.

Perppu 2/2022 juga masih mengatur tentang istirahat (cuti) panjang, jadi ketentuan tersebut masih berlaku. Bila perusahaan sudah mengatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka istirahat panjang tersebut tetap berlaku dan tidak boleh dikurangi.

Sementara itu, ketentuan cuti haid dan melahirkan bagi pegawai perempuan tidak hilang, masih ada dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena tidak ada perubahan, maka cuti haid dan melahirkan tidak dituangkan dalam Perppu 2/2022, sehingga acuan yang digunakan adalah UU 13/2003 Pasal 81 dan Pasal 82.

Menurut Indah Anggoro Putri, dengan terbitnya Perppu Ciptaker ini, sekaligus mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru terhadap beberapa ketentuan yang diatur sebelumnya, dalam empat undang-undang di bidang ketenagakerjaan. Keempat undang-undang tersebut yakni UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Pasal-pasal yang ada dalam undang-undang eksisting, sepanjang tak diubah dan dihapus oleh Perppu Ciptaker, maka pasal-pasal tersebut tetap berlaku.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari