Indonesia.go.id - Sederet Manfaat RUU Kesehatan

Sederet Manfaat RUU Kesehatan

  • Administrator
  • Senin, 10 April 2023 | 09:39 WIB
RUU KESEHATAN
  Layanan kesehatan yang berfokus kepada pasien menjadi fokus utama dari RUU Kesehatan. ANTARA FOTO/ Siswowidodo
RUU Kesehatan memperkuat upaya pencegahan penyakit, meningkatkan layanan kesehatan yang berfokus kepada pasien, serta menjangkau masyarakat melalui unit layanan kesehatan di desa.

Sejak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan diserahkan DPR RI kepada Menteri Kesehatan sebagai wakil pemerintah pada 9 Maret 2023, maka dimulailah proses uji publik terkait substansi UU tersebut. Partisipasi publik RUU Kesehatan mulai dilaksanakan sejak 13 Maret 2023, berbarengan dengan penyusunan Daftar Isian Masukan (DIM) versi pemerintah.

Selama beberapa minggu terakhir, pemerintah telah mengidentifikasi pilar transformasi kesehatan nasional yang dapat didukung oleh RUU Kesehatan. Dengan begitu, diharapkan nantinya layanan kesehatan dapat diakses masyarakat dengan lebih mudah, murah, dan akurat.

“Sejalan dengan transformasi sistem kesehatan pilar pertama, RUU Kesehatan akan menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada upaya mencegah orang sehat menjadi sakit,” ujar Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof dr Dante Saksono Harbuwono seperti dikutip dari Laman Kemenkes, 28 Maret 2023. 

Sebagai gambaran, layanan kesehatan yang saat ini masih berfokus pada upaya kuratif dan penyakit yang dialami, serta timpangnya layanan kesehatan. Adapun dengan RUU Kesehatan memperkuat upaya pencegahan penyakit, layanan kesehatan yang berfokus kepada pasien, serta menjangkau masyarakat melalui unit layanan kesehatan di desa.

RUU Kesehatan juga sejalan dengan lima pilar transformasi kesehatan nasional lainnya. Di antaranya, akan mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas; meningkatkan kemandirian dalam memproduksi sediaan farmasi seperti obat dan alat kesehatan serta mempersiapkan masyarakat menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan nanti.

RUU juga akan meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan, meningkatkan produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berkualitas serta mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi kesehatan.

Uji publik berlangsung masif. Sampai 26 Maret 2023 tercatat sebanyak 79 kegiatan partisipasi publik yang digelar Kementerian Kesehatan di beberapa daerah. Kegiatan ini diikuti sekirar 16.000 peserta baik yang hadir secara luring maupun daring dari 1.200 stakeholder yang diundang.

Keterlibatan meliputi kementerian/lembaga terkait, organisasi profesi, akademisi, LSM dan asosiasi. Dalam periode yang sama tercatat sebanyak lebih dari 3.500 masukan dan pertanyaan yang masuk melalui website http://partisipasisehat.kemkes.go.id/.

Salah satu bentuk partisipasi publik RUU Kesehatan adalah melibatkan media massa. Untuk itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI turut serta dalam melakukan diseminasi perkembangan pembahasan RUU Kesehatan. Melalui diskusi Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: RUU Kesehatan" pada Senin (3/4/2023).

Pada diskusi FMB9, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Kesehatan Sundoyo menyampaikan bahwa RUU ini merupakan inisiatif dari DPR dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, UU Kesehatan dapat memuat substansi baru, mengubah UU yang mirip, serta mencabut UU yang setara.

“Terdapat 13 UU yang terdampak, di mana 9 UU akan dicabut dan lainnya mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih antara satu UU dengan UU yang lain,” ujar Sundoyo.

Sejumlah UU yang akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme sapu jagat alias omnibus adalah Undang-Undang nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Di samping itu, RUU Kesehatan juga menyinkronkan pasal-pasal Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang 4/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Serta, Undang-Undang 7/1963 tentang Farmasi dan Undang-Undang-Undang 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Menurut Sundoyo, permasalahan kesehatan di Indonesia yang sangat kompleks membutuhkan solusi yang menyeluruh. Mulai dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas dan infrastruktur, hingga industri farmasi. “Farmasi juga menjadi hal penting dalam RUU Kesehatan ini. Saat ini, 90 persen bahan baku obat masih diimpor, sehingga kemandirian dalam hal ini harus ditingkatkan,” jelasnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Ahmad Redi mengungkapkan, dalam regulasi kesehatan, terdapat 15 UU yang mengandung potensi konflik norma dan masalah implementasi. Regulasi yang berbelit-belit ini membuat kualitas pelayanan kesehatan belum sesuai harapan masyarakat.

Dalam pandangannya, RUU Kesehatan bisa mempermudah perizinan, pendirian program studi kedokteran, dan distribusi fasilitas kesehatan yang lebih merata, terutama di luar Pulau Jawa. Mewakili suara dokter, Ketua Umum PB IDI Moh Adib Khumaidi menyoroti beberapa hal yang menurutnya sangat penting dan harus dipertimbangkan dalam penyusunan RUU Kesehatan. Menurutnya, RUU ini harus memperhatikan permasalahan mendasar dalam sistem kesehatan Indonesia, seperti sistem pembiayaan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan.

“RUU Kesehatan jangan tergesa-gesa, dan peran organisasi profesi dalam memperjuangkan kepentingan tenaga medis harus tetap diakui,” imbuh Adib.

Ketua Umum IDI juga menyoroti ihwal jumlah kebutuhan dokter yang masih jauh dari cukup, terutama di daerah-daerah terpencil, serta pentingnya perlindungan hukum dan hak imunitas bagi tenaga medis. Tanpa adanya perlindungan bagi mereka, dikhawatirkan para tenaga kesehatan akan lebih condong untuk menerapkan praktik kesehatan berbiaya tinggi sebagai bagian dari upaya perlindungan diri sendiri terhadap hukum.

Menyangkut usulan pemerintah di RUU Kesehatan agar Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter dan tenaga kesehatan dapat berlaku seumur hidup, Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI Arianti Anaya mengatakan, STR seumur hidup bukan berarti menghilangkan pemenuhan kompetensi secara berkala. Syarat kompetensi akan melekat dalam Surat Izin Praktek (SIP) melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP) seperti yang berlaku saat ini sehingga kualitas dokter dan nakes akan tetap terjaga.

“Jadi tidak benar isu yang beredar jika STR seumur hidup akan menyuburkan praktik dokter dukun atau dokter tremor atau dokter abal-abal karena mereka tetap diwajibkan mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pemenuhan SKP seperti praktik yang terjadi saat ini. Jadi kualitas mereka tetap terjaga. Bedanya sertifikat kompetensi nantinya akan melekat dalam perpanjangan SIP yang berlaku setiap lima tahun,” jelas Dirjen Arianti Anaya, Minggu (2/4/2023).

Saat ini dokter dan tenaga kesehatan wajib mengurus perpanjangan STR dan SIP setiap lima tahun sekali melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi sehingga banyak dokter dan tenaga kesehatan merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul. Pemerintah melalui RUU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari