Menteri ESDM memprediksi, potensi tambang nikel Indonesia hanya bertahan 15 tahun. Pemerintah berencana menghentikan investasi smelter berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF). Kenapa?
Warning alias peringatan itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Menyusul membludaknya fasilitas pengolahan nikel dan pemurnian (smelter) nikel sejak 2020, akan berdampak buruk. Yakni, akan mempercepat habis cadangan mineral kerak bumi yang berwarna dasar putih keperakan, mengkilap, sedikit keemasan, dan cukup keras itu, hanya dalam kurun 15 tahun mendatang. Kok bisa?
Hitungan Menteri ESDM sederhana saja. Menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan cadangan dan produksi bijih nikel terbanyak di dunia. Merujuk data Badan Geologi Kementerian ESDM 2021, sumber daya bijih nikel mencapai 17,68 miliar ton dengan cadangan 5,24 miliar ton. Untuk sumber daya logam nikel mencapai 177 juta ton dengan cadangan 57 juta ton.
Dari seluruh cadangan nikel di Indonesia, sebagian besar berada di tiga provinsi di daerah timur Indonesia, yaitu Sulawesi Tenggara sebanyak 1,86 miliar wet metrik ton (wmt), Maluku Utara (1,40 miliar wmt) dan Sulawesi Tengah (870 juta wmt).
Pada saat yang sama, di sisi yang lain, rata-rata produksi pengolahan nikel (baik limonit/kadar rendah maupun saprolit/kadar tinggi) 5 miliar ton per tahun. Maka, jika dibagi rata, cadangan nikel saprolit yang sebesar 17 miliar tersebut akan habis dalam 15 tahun. Adapun untuk nikel limonit (kadar rendah), dalam hitungan Badan Geologi, bisa bertahan 34 tahun.
Oleh karena itu, Menteri ESDM mewanti-wanti agar Indonesia berhati-hati. Juga bijak dalam mengelola tambang mineral nikel. "Kalau bisa dikembangkan, potensi ini bisa panjang," jelas Arifin kepada awak media di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Serangan WTO
Di tengah gegap gempita produksi nikel Indonesia yang salah satunya dipicu kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor bijih nikel, masyarakat dikejutkan dengan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Organisasi itu memenangkan Uni Eropa yang menggugat kebijakan larangan ekspor nikel RI yang berlaku mulai 1 Januari 2020.
Bagi Pemerintah RI, kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mempercepat pembangunan smelter nikel. Karena itu, pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan banding pada 8 Desember 2022. Bagaimana masa depan nikel Indonesia setelah pengajuan banding tersebut? Bagaimana pula jika WTO menolak banding yang diajukan pemerintah Indonesia? Bagaimana dampaknya terhadap industri nikel Indonesia?
Ada dua kemungkinan hasil WTO; menolak atau menguatkan gugatan Uni Eropa. Manakala banding ditolak, alias memutuskan Indonesia melanggar ketentuan WTO, maka Indonesia harus mengubah regulasi sesuai dengan keputusan WTO, salah satunya mencabut kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Dengan adanya pencabutan kebijakan tersebut, maka penambang nikel di Indonesia kembali memiliki opsi untuk mengekspor langsung ke luar negeri.
Keputusan penambang untuk ekspor langsung (menjual ke pasar global) atau menjual ke smelter dalam negeri, nantinya akan dipengaruhi harga jual. Per Desember 2022, merujuk data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga bijih nikel kadar 1,8% di tingkat global tercatat USD83,5 (SMM), jauh lebih tinggi dibanding Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan Kementerian ESDM, yaitu USD57,54.
Dengan angka semacam itu, tentu saja, penambang akan lebih suka untuk menjual langsung hasil tambangnya ke pasar global. Lantaran harganya yang lebih menguntungkan.
Walhasil, itu tentu akan mengganggu pasokan bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan smelter di dalam negeri. Ujungnya, akan berdampak pula pada kinerja industri pengolahan nikel di Indonesia, di tengah masih terus bertambahnya jumlah smelter penghasil NPI dan MHP yang mulai beroperasi.
Selain itu, kondisi tersebut juga berisiko menahan investasi untuk pembangunan smelter nikel lebih lanjut, di tengah terus meningkatnya investasi di sektor logam dasar. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor tersebut merupakan investasi tertinggi yang masuk ke Indonesia sepanjang 2022, yaitu mencapai Rp150 triliun.
Langkah Bijak ESDM
Sembari menunggu putusan WTO, sebagaimana diungkap Kementerian ESDM berkomitmen untuk segera menghentikan investasi baru smelter rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang menjadi lini pengolahan bijih nikel kadar tinggi. Alasannya, adalah untuk mengimbangi permintaan saprolite yang tinggi, sementara cadangan bijih nikel kadar tinggi dalam negeri itu belakangan ini mulai menipis.
Sebagai informasi, sebagian besar pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri mengolah saprolite dengan teknologi RKEF, sehingga produk yang dihasilkan hanya berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) yang masih berupa produk setengah jadi. Untuk kemudian dibuat menjadi stainless steel.
Merujuk data dari Dewan Penasihat Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) kapasitas smelter Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi) pada Tahun 2022 tercatat terdapat 135 line smelter NPI berteknologi RKEF dari 65 perusahaan di Indonesia.
Dari sana, logam nikel yang dihasilkan mencapai 9 juta metric ton. Ini memerlukan sekitar 120 juta wmt bijih nikel. Kebutuhan bijih nikel dipastikan akan bertambah di tahun 2023, mengingat jumlah smelter NPI bertambah menjadi 179 line. Maka, bisa dibayangkan, pengerukan alias produksi tambang nikel akan terus diperbesar.
Itulah sebabnya, menghentikan investasi baru smelter berteknologi RKEF yang hanya menghasilkan produk setengah jadi, tentu masuk kategori langkah bijak untuk menjaga hasil bumi (nikel).
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna/Elvira Inda Sari