Indonesia.go.id - Ketahanan Industri Indonesia di Tengah Volatilitas Ekonomi Global

Ketahanan Industri Indonesia di Tengah Volatilitas Ekonomi Global

  • Administrator
  • Minggu, 7 Juli 2024 | 21:02 WIB
INDUSTRI
  PMI Manufaktur Indonesia periode Juni 2024 mengalami penurunan signifikan ke level 50,7 dari 52,1. Penerapan mekanisme bea masuk, khususnya untuk industri yang sudah mengalami krisis segera diberlakukan. ANTARA FOTO/ Yulius Satria Wijaya
Ekonomi global masih menghadapi ketidakpastian akibat konflik geopolitik dan perubahan iklim, yang berdampak pada rantai pasok dan harga komoditas. Indonesia perlu mengambil langkah strategis, seperti penerapan tarif bea masuk, untuk melindungi industri domestik dan tetap kompetitif dalam ekonomi global.

Ekonomi global saat ini masih dibayangi ketidakpastian. Konflik geopolitik di berbagai kawasan dunia menjadi faktor risiko terbesar, ditambah dengan masalah perubahan iklim yang mempengaruhi rantai pasok dan menekan volatilitas harga komoditas.

Dampak dari kondisi ini tergambar jelas dalam laporan S&P Global periode Juni 2024 mengenai Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia. Menurut laporan tersebut, PMI Manufaktur Indonesia periode Juni 2024 mengalami penurunan signifikan ke level 50,7 dari 52,1 pada bulan sebelumnya.

Meskipun masih berada di zona ekspansi selama 34 bulan berturut-turut, tingkat produktivitas manufaktur bulan lalu merupakan yang terlemah dalam setahun terakhir. Trevor Balchin, Economics Director S&P Global Market Intelligence menyatakan bahwa manufaktur Indonesia kehilangan momentum pada periode tersebut.

"PMI masih bertahan di atas tren rata-rata jangka panjang, namun perkiraan Indeks Output Masa Depan tidak bergerak dari posisi pada bulan Mei dan merupakan bagian dari yang terendah dalam rekor," kata Trevor.

Namun masih ada harapan. Dunia usaha memproyeksikan prospek positif dalam 12 bulan ke depan dengan adanya proyek baru, penguatan daya beli konsumen, penurunan inflasi, dan kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan.


Tantangan dan Peluang di Sektor Manufaktur

Tidak hanya Indonesia, Tiongkok juga mengalami pelambatan ekonomi. Aktivitas manufaktur di negara tersebut mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut pada Juni, menunjukkan pelemahan pada sektor yang menjadi andalan Beijing untuk mendorong perekonomian.

Bagaimana Indonesia merespons aksi sejumlah negara yang menerapkan ristriksi dan menerapkan strategi dumping untuk mengamankan keberlangsungan industrinya? Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi perekonomian domestik.

Indonesia juga perlu mempertimbangkan penerapan tarif bea masuk untuk subsektor tertentu guna mengamankan neraca perdagangan. Pasalnya, beberapa negara telah mulai menerapkan kebijakan restriktif, termasuk praktik dumping, untuk melindungi ekonomi mereka. Artinya, kebijakan seperti itu memang harus dilakukan mereka bila tidak ingin ekonominya semakin terpuruk.

 

Strategi Perlindungan Ekonomi: BMTP dan BMAD

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyarankan, penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Antidumping (BMAD) dengan memperhatikan dua aspek penting:

Pertama, tarif bea masuk harus diterapkan pada produk yang sudah membanjiri pasar domestik, seperti pakaian jadi, tanpa mengganggu bahan baku yang dibutuhkan industri. Kedua, pemerintah harus segera menerapkan mekanisme bea masuk untuk industri yang sudah mengalami krisis, seperti tekstil, guna mencegah lebih banyak pabrik tutup dan pekerja terkena PHK.

Pendapat di atas sejalan dengan usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah meminta penerapan restriksi perdagangan dengan tarif maksimal, khususnya untuk sektor tekstil dan keramik yang menghadapi persaingan ketat dari produk impor murah.

Kris Sasono Ngudi Wibowo, Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, menyatakan bahwa tarif yang akan diterapkan berbeda untuk setiap sektor dan akan ditetapkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Sejumlah kebijakan itu perlu dilakukan untuk tetap mempertahankan tingkat daya saing bisnis di Indonesia yang masih cukup bagus di dunia sesuai laporan World Competitiveness Ranking (WCR) tahun 2024 dari International Institute for Management Development (IMD).

Laporan itu menyebutkan, peringkat daya saing Indonesia naik ke posisi 27 dunia, meningkat tujuh level dari tahun sebelumnya. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi tiga besar setelah Singapura dan Thailand.

Peningkatan ini tidak lepas dari peran peningkatan daya saing di bidang industri. Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Andi Rizaldi, menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung standardisasi dan layanan jasa industri untuk meningkatkan daya saing.

Dukungan ini meliputi sertifikasi, pengujian, konsultansi, pendampingan, peningkatan kompetensi SDM, jasa pemeliharaan, dan jasa teknik lainnya. Berpijak dari kondisi di atas dan untuk menavigasi ketidakpastian ekonomi global, Indonesia perlu mengoptimalkan strategi industri dengan melindungi industri domestik melalui kebijakan tarif yang tepat dan meningkatkan daya saing.

Dukungan pemerintah yang kuat dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini, memastikan Indonesia tetap kompetitif dan mampu berkembang dalam ekonomi global yang penuh tantangan.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari