Indonesia.go.id - Mengungkap Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Rumah Gadang hingga Repong Damar

Mengungkap Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Rumah Gadang hingga Repong Damar

  • Administrator
  • Minggu, 22 September 2024 | 07:00 WIB
MITIGASI
  Kearifan lokal masyarakat Indonesia dinilai memiliki kemampuan mitigasi bencana yang baik. Satu di antaranya bentuk rumah gadang yang dimiliki suku minang. susanty Martha Putri/ WIKI COMMON
Kearifan lokal di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, terutama dalam menghadapi bencana. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan pengetahuan tradisional, kita dapat belajar banyak tentang resiliensi dan keberlanjutan untuk menghadapi tantangan masa depan.

Betapa beruntungnya menjadi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, di negara dengan 17.000 pulau ini hidup sekitar 282,2 juta penduduk mengutip data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Juli 2024. Mereka terbagi ke dalam 1.340 suku bangsa dan 300 kelompok etnik yang telah hidup berdampingan secara damai sejak berabad silam. Keberagaman suku tersebut menciptakan aneka rupa bentuk adat dan budaya serta kebiasaan yang berkembang menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom) tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya.

Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal disebutkan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal muncul sebagai rambu atau panduan dari berbagai asimilasi budaya global yang selalu menghantam kehidupan. Kearifan lokal sendiri dapat berupa pengetahuan berasal dari pengalaman nyata masyarakat dalam kurun waktu lama dan dilakukan secara terus menerus.

Bentuknya bisa berupa norma, etika, hukum adat, atau aturan-aturan khusus yang mengikat masyarakat di dalamnya. Salah satunya berkaitan dengan upaya untuk mengurangi risiko bencana atau mitigasi. Sebab, berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023, dari sekitar 4.878 bencana alam yang terjadi telah mengakibatkan 32.809 rumah mengalam kerusakan. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan 2021 saat terdapat 158.659 rumah rusak karena adanya 5.402 peristiwa bencana.

Perubahan iklim yang memunculkan fenomena tingginya intensitas curah hujan di Indonesia menjadi salah satu contoh bencana alam. Curah hujan tinggi itu dalam beberapa aspek dapat menyebabkan banjir, tanah longsor, dan peristiwa alam lainnya. Kearifan lokal tadi dalam banyak hal mampu meredam atau mengurangi dampak dari bencana. Misalnya apa yang dilakukan masyarakat suku Minangkabau di Sumatra Barat dalam membangun rumah gadang.

Rumah adat berciri khas seperti tanduk kerbau pada ujung-ujung atapnya itu dibangun menggunakan pasak dari kayu dan bukan paku untuk meminimalisasi dampak kerusakan akibat gempa. Demikian pula kearifan lokal yang dijalankan masyarakat suku Badui ketika mereka akan membangun tempat tinggal. Masyarakat yang berdiam di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Luewidamar, Kabupaten Lebak, Banten ini dikenal secara umum dengan konsep kehidupan konservasi alam.

Seperti diungkapkan oleh Suparmini dkk dalam "Pelestarian Lingkungan Masyarakat Badui Berbasis Kearifan lokal", bahan bangunan yang digunakan haruslah lentur. Misalnya bambu, ijuk, dan kirai atau sabut kelapa agar rumah yang dibangun tidak mudah rusak ketika terjadi bencana seperti gempa. Selain itu rumah juga tidak boleh dibangun langsung menyentuh tanah agar tidak mudah runtuh ketika terjadi gempa. Rumah Badui diikat tali ijuk atau kirai supaya tidak mudah rusak ketika bencana alam terjadi.

Begitu pula kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang membangun rumah panggung di pesisir pantai. Bangunan berbentuk panggung setinggi 2-3 meter di atas permukaan tanah itu dikenal sebagai lamban langgakh dan menjadi kebutuhan mutlak masyarakat pesisir sebagai bentuk mitigasi terhadap gelombang besar, gempa, dan tsunami. Masih dari Pesisir Barat Lampung, terdapat pula kearifan lokal repong damar, yaitu mengelola lahan hutan memakai hukum adat.

 

Resiliensi Berkelanjutan

Melihat begitu bermanfaatnya kearifan lokal bagi kehidupan di masyarakat terutama dalam upaya mitigasi bencana menarik perhatian Kepala BNPB Suharyanto. Jenderal TNI bintang tiga itu berpendapat bahwa pengetahuan dan praktik masyarakat lokal yang mampu hidup berdampingan dengan alam sejak masa lampau dapat menjadi benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi bencana.

Ketika berbicara pada Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) 2024 di Jakarta, Rabu (11/9/2024), Suharyanto mengungkapkan bahwa kearifan lokal di masyarakat Indonesia mampu menjaga komunitas mereka dari bahaya bencana lantaran mampu hidup berdampingan dengan alam. "Budaya dan kelembagaan merupakan pilar utama dalam resiliensi berkelanjutan. Setelah itu baru dukungan anggaran, transfer teknologi dan infrastrukur," ucapnya seperti diwartakan Antara.

Suharyanto menyatakan bahwa BNPB sedang menggiatkan pelatihan simulasi evakuasi mandiri dan ketahanan bencana yang berbasiskan masyarakat melalui pembentukan desa tangguh bencana (Destana). BNPB saat ini sudah membentuk sebanyak 182 Destana dan dalam 5 tahun ke depan ditargetkan terbentuk sebanyak 3.000 desa tangguh bencana di sepanjang pesisir Indonesia yang berpotensi banjir dan juga diperkirakan oleh para ilmuwan akan terjadi gempa bumi dan tsunami skala megathrust.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari