Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri bahan bakar nabati
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT), termasuk bahan bakar nabati (BBN) bioetanol, sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi karbon. Salah satu wacana yang muncul adalah kemungkinan pemberian insentif bagi kendaraan berbahan bakar bioetanol.
Meski demikian, sampai saat ini, belum ada pembahasan khusus mengenai insentif ini. Menurut Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, peluang pemberian insentif tetap ada.
Pelaku usaha yang berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon melalui penggunaan bioetanol bisa mendapatkan manfaat dari nilai ekonomi karbon. “Untuk dapat menikmati insentif ini, para produsen harus membangun ekosistem bioetanol dari hulu ke hilir, mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh industri kendaraan listrik berbasis baterai,” ujarnya, Senin (23/9/2024).
Langkah konkret dari produsen kendaraan listrik, seperti Hyundai yang membangun fasilitas packing baterai di Cikarang dengan nilai investasi mencapai Rp900 miliar, menjadi contoh nyata bagaimana sebuah ekosistem harus dibangun untuk mendukung industri ramah lingkungan. Investasi besar ini menciptakan dampak yang signifikan, dan hal yang sama juga diharapkan dari produsen kendaraan bioetanol jika mereka ingin mendapatkan insentif serupa.
Implementasi Bioetanol
Sampai saat ini, bioetanol di Indonesia sudah mulai diimplementasikan melalui Pertamax Green 95, bahan bakar campuran bioetanol 5% (E5), yang kini dijual di 75 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Langkah itu merupakan awal dari rencana jangka panjang pemerintah untuk meningkatkan campuran etanol dalam bahan bakar hingga 10% pada 2029.
Namun, progres pengembangan bioetanol di Indonesia masih tergolong lambat. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM nomor 12 tahun 2015, seharusnya Indonesia sudah mencapai penggunaan campuran etanol sebesar 20% (E20) pada 2025. Sayangnya, target itu tampaknya masih jauh dari pencapaian karena kini masih berada pada tahap E5.
Salah satu kendala utama yang dihadapi adalah belum banyak industri bioetanol yang memenuhi kriteria untuk menghasilkan bahan bakar dengan kualitas fuel grade. Untuk mempercepat pengembangan industri bioetanol, diperlukan kebijakan yang mendukung akselerasi industri itu.
Kini, dari 13 industri bioetanol yang ada, hanya dua yang memenuhi kriteria fuel grade, sedangkan sisanya masih memproduksi bioetanol untuk kebutuhan food grade. Perlu adanya dorongan dari pemerintah agar industri bioetanol di Indonesia dapat tumbuh lebih cepat dan signifikan. Artinya, membangun ekosistem bioetanol, baik dari segi produksi maupun distribusi, adalah kunci penting untuk memastikan keberlanjutan dan keberhasilan program ini.
Jika hal itu dapat dilakukan, maka peluang untuk pemberian insentif semakin terbuka. Selain itu, investasi besar di sektor ini juga akan menarik lebih banyak pemain industri dan teknologi untuk terlibat, menciptakan efek domino yang positif bagi perekonomian dan lingkungan.
Transisi Energi Bersih
Pengembangan bioetanol di Indonesia merupakan langkah yang sangat penting dalam transisi energi bersih. Dengan potensi besar yang dimiliki oleh sektor ini, baik dari segi sumber daya alam maupun kebutuhan energi ramah lingkungan.
Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri bahan bakar nabati. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, produsen, dan masyarakat, akan sangat menentukan masa depan bioetanol di Indonesia.
Eniya Listiani Dewi berkata, "Ekosistem harus dibangun, dan insentif akan mengikuti." Jika industri bioetanol bisa menciptakan ekosistem yang kuat dan berkelanjutan, insentif dari pemerintah akan menjadi kompensasi yang sejalan dengan investasi yang masuk.
Ini tidak hanya akan mendorong pertumbuhan industri, melainkan juga mendukung target Indonesia untuk mencapai emisi nol karbon pada 2060. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, bioetanol bisa menjadi salah satu solusi utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil di Indonesia.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR