Atas prestasinya menangani sampah, Bupati Banyumas tampil sebagai pembicara di forum Konferensi Perubahan Iklim COP 27 di Mesir. Di Banyumas, 89 persen sampah didaur ulang.
Bupati Banyumas Achmad Husein hadir dan berbicara tentang isu penanganan sampah, dalam satu sesi di side event Konferensi Iklim Internasional, yang biasa disebut Conference of Parties (COP). Bupati Achmad ini menjadi tamu resmi United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) pada COP ke-27 yang berlangsung di kota wisata, Sharm El Sheikh, Mesir, pada 5--20 November 2022. Ia menjadi bagian dari delegasi resmi Indonesia.
Konferensi iklim di Sharm El Sheikh itu merupakan event akbar. Sekitar 35 ribu utusan hadir dari seluruh dunia, termasuk 90 kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden Amerika Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, serta PM Inggris Rishi Sunak termasuk yang hadir di Sharm El Sheikh, sebelum mereka melanjutkan perjalanan untuk menghadiri KTT G20 di Bali.
Sampah menjadi bagian dari masalah iklim. Sampah organik jelas menghasilkan emisi, antara lain, gas metana yang efek panasnya 22 kali dari karbon diaksida (CO2). Tumpukan sampah plastik yang tak terurus akan merusak ekosistem setempat dan mengurangi kapasitas lingkungan dalam menyerap karbon yang berlebihan di udara.
Bupati Achmad Husein adalah sosok yang pantas berbicara dan membagikan pengalamannya pada sesi mitigasi perubahan iklim itu. ‘’Perjalanan ke Mesir ini merupakan tugas dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pembicara di COP 27,’’ ujarnya, seperti yang dikutip oleh Serayunews.com, edisi Selasa (15/11/2022).
Sebagai bagian dari delegasi Indonesia itulah, Bupati Achmad Husein berada di kota elok Sharm El Sheikh, yang berada di tepi Laut Merah, selama sepekan 11--18 November 2022. Ia kebagian berbicara di sesi problem solving sampah kota. ‘’Banyak pembicara lain, saya bukan satu-satunya,’’ ujar Achmad Husein merendah.
Pergulatan Bupati Banyumas dengan urusan sampah telah menorehkan hasil yang membanggakan. Lima tahun lalu, ia masih harus berurusan dengan 100 truk sampah yang harus ditumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) setiap harinya. Serangkaian rekayasa teknis pun dilakukannya, utamanya dalam soal pengolahan dan pemanfaatan limbah melalui proses sirkular (daur ulang).
Hasilnya, seperti di laporan media spesialis lingkungan mongabay.co.id, volume sampah Banyumas yang harus diangkut ke TPA terus menurun. Kini dari volume 138 dump truck sampah yang muncul setiap hari, hanya 15 truk (11 persen) residu sampah yang diangkut ke TPA Kaliori, untuk diproses dengan teknik sanitary landfill, ditimbun tanah selapis demi selapis.
Krisis Sampah
Achmad Husein, alumnus Teknik Sipil ITB, mula-mula merintis karir di swasta, sebagai profesional, dan sempat menjadi Direktur Utama PDAM Banyumas 2005--2007. Setelahnya, ia berbelok aktif di kancah politik. Mula-mula ia menjadi wakil bupati (2008--2013), kemudian terpilih sebagai Bupati Banyumas dua periode, yakni 2013--2018 dan 2018--2023.
Menjelang kepemimpinan di periode pertama berakhir, muncul krisis sampah. Warga sekitar TPA Kaliori tiba-tiba saja menuntut agar TPA itu segera ditutup. Kedatangan 100 truk sampah setiap hari rupanya sudah sampai level mengganggu warga sekitar TPA. Warga dari sejumlah desa sekitar TPA, yang berada di Kecamatan Kalibagor itu, mulai beraksi.
‘’Saya kenyang di-bully dan didemo berkali-kali,’’ kata Achmad Husein. Situasi semakin serius ketika warga mulai memblokir jalan dan melarang truk sampah lewat. Sampah pun menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS). Giliran warga yang ketempatan TPS marah-marah.
Untung, dia bisa melakukan negosiasi dengan warga. TPA Kaliori pun kembali dibuka, dengan syarat sampah yang dibuang ke sana dari hari ke hari harus berkurang.
Achmad Husein tak tinggal diam. Dia mencoba menerapkan konsep pemakaian ulang, pengurangan, dan daur ulang, atau yang populer disebut reuse, reduce, recycle (3R). Namun, penanganan secara manual hanya bisa memproses 15 persen dari sampah yang ada. Sisanya terus menggunung.
Ada tawaran untuk menggunakan mesin pembakar sampah incenerator. Mesin itu mampu memilah sampah dan memisahkan besi serta kaca, dan sampah plastik serta organiknya dibakar dengan suhu sangat tinggi, dalam kondisi tanpa udara, sehingga tak muncul gas beracun seperti dioksin dari hasil pembakaran plastik. Bersih, tapi mahal.
‘’Tapi harganya mahal, sampai Rp800 miliar. APBD Kabupaten Banyumas tak memungkinkan,’’ kata Achmad. Namun, ia tak mau menemui jalan buntu.
Bupati Banyumas terus mencari solusi. Ia kembali kepada konsep R3. Namun, ia perlu mesin untuk memilah sampah, memisahkan yang organik dengan nonorganik, terutama plastik. Ia pun membeli mesin prototipe dari Bekasi. Tak memuaskan. Ia kembali membeli mesin lain dari Tangerang. Mesin bisa memilah sampah, tapi sering macet, dan kapasitasnya pun hanya 1 ton per jam.
Achmad Husein tak patah semangat. Ia meluncur ke Bantar Gebang, Bekasi, dan mempelajari mesin pemilah sampah yang dipakai di sana “Saya melihat mesin yang ada di situ, kemudian membuatnya. Setelah melakukan modifikasi dua kali, mesin pemilah sudah beres. Pemilahannya bersih, sehingga antara sampah anorganik dan organik benar-benar terpisah,” katanya.
Mesin-mesin itu kemudian diproduksinya, dan ditempatkan di TPS Terpadu atau TPS 3R. Di tiap TPS Terpadu itu Achmad Husein membangun hanggar pusat daur ulang (PDU). Saat ini sudah ada 18 TPS Terpadu yang dilengkapi mesin pemilah dan hanggar daur ulang. Selain itu ada 11 PDU lain dalam skala yang lebih kecil.
Kehadiran jaringan TPS terpadu dan PDU mandiri itu membuat tumpukan sampah jauh menyusut. Sampah anorganik didaur ulang sesuai jenisnya. Sampah plastik bisa dirajang dan dijual untuk refuse derived fuel (RDF), bahan bakar tambahan, untuk pabrik semen di Cilacap.
Bahan organiknya dipakai sebagai media biakan ulat maggot, yang bentuknya mirip belatung. Ulat maggot ini adalah larva dari lalat buah black soldier fly (lalat tempayak). Ulatnya biasa dijual untuk pakan ikan dan unggas. Pascapembusukan, sampah organik itu laku dijual sebagai kompos. TPS Terpadu itu menjadi pusat ekonomi sirkular.
Tanpa TPA
TPS Terpadu dan PDU itu sudah bergulir sejak 2018 dan memberi manfaat bagi khalayak. Namun, Achmad Husein belum puas. Ia ingin tak ada sampah tersisa agar TPA tidak diperlukan lagi. Maka, dia menggandeng Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, lalu membangun instalasi Pembakaran Sampah dengan mesin pirolisis di Desa Wlahar Wetan.
Biayanya Rp49,7 miliar dengan komposisi anggaran APBN 84% dan APBD Banyumas 16%. Instalasi itu disebut TPA Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE). Kapasitasnya 75 ton residu sampah per hari. Residu sampahnya diambil dari TPA terpadu yang terdekat. Di situ juga terdapat unit pemilah yang memisahkan logam, kaca, dan keramik pada residu sampah. Sisanya semua masuk ke ruang bakar yang bersuhu 800 derajat Celsius.
Hasil pembakarannya bersih. Dalam situasi yang miskin oksigen, pembakaran itu membuat bahan organik menjadi arang, dan hanya sedikit yang teroksidasi menjadi CO2. Debu arang dari instalasi ini digunakan untuk campuran pembuatan paving (material pengeras jalan). Paving-nya itu sendiri dihasilkan dari pengolahan limbah plastik plus campuran debu pirolisis. Produksinya dilakukan di TPA BLE Desa Wlahar Wetan itu pula. Mesinnya cukup canggih.
Namun, Bupati Banyumas itu tidak ingin hanya hilir yang tertangani. Hulu juga perlu dikelola. Maka, ia mengoperasikan dua aplikasi khusus, yakni Salinmas dan Jeknyong, yang bisa digunakan warga yang telah memilah sampah di rumah. Bila jumlahnya sudah cukup, akan ada petugas TPA Terpadu yang datang membelinya.
‘’Jadi, dari hulu sampai hilir kita garap,’’ kata Bupati Achmad Husein. Baginya, daerah tanpa tempat pembuangan sampah akhir (TPA) adalah sebuah keniscayaan. Ia telah membuktikan bahwa dari 138 truk sampah per hari, tinggal 15 truk yang dibawa ke TPA Kaliori, di Kecamatan Kalibagor. Bila skala pengolahannya diperbesar, residu sampah bisa nol.
Hasil karya nyata itu yang disampaikan oleh Bupati Achmad Husein dari Sham El Sheikh, Mesir. Dari tepian padang pasir Sinai itu dia pun berseru tentang daerah tanpa sampah.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari