Izin edar sudah diterbitkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Obat Covid-19 Remdesivir diizinkan beredar di Indonesia. Berbekal izin itu, PT Kalbe Farma, sebagai salah satu pemegang hak edar untuk Indonesia, mengumumkan bahwa pihaknya telah menyediakan obat langka itu dan akan segera mendistribusikannya ke seluruh penjuru tanah air.
Direktur Utama PT Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan, obat baru itu akan dipasarkan dengan brand Covifor. ‘’Untuk harganya adalah 3 juta rupiah per dosis. Siap dipasarkan hari ini juga ke seluruh provinsi di Indonesia,’’ kata Vidjongtius di dalam konferensi pers virtual, Kamis (1/10/2020). Covifor tak akan dijual bebas di apotik, melainkan dikirim langsung ke rumah sakit untuk pasien Covid-19. Covifor diedarkan dalam bentuk larutan (cair), dikemas dalam botol.
Sehari setelah Kalbe Farma mengumumkan penjualan Covifor, giliran perusahaan milik negara PT Indofarma (Pesero) Tbk yang mengumumkan hal serupa. Presiden Direktur PT Indofarma Arief Pramuhanto mengatakan, pihaknya juga telah siap mengedarkan Remdesivir untuk masyarakat Indonesia.
Produk PT Indofarma ini diedarkan dengan merk DESREM. Seperti halnya Covifor, DESREM pun botolan. Pada penggunaannya DESREM dicampur ke larutan infus. Arief Pramuhanto menyebut, harganya di bawah Rp2 juta per dosis. Baik Covifor maupun DESREM tergolong obat generik dari bahan paten Remdesivir. Menurut aturan industri obat, yang generik tak boleh memakai yang sama dengan versi patennya.
Remdesivir adalah obat yang sedang naik daun. Yang memproduksi ialah Gilead Sciences Inc, yang bermaskas di Foster City, California. Awalnya, Remdesivir adalah obat penangkal virus Ebola. Namun ternyata bahan antiviral ini terbukti cukup ampuh untuk menghadapi Covid-19.
Otoritas obat dan makanan Amerika (FDA) telah mengeluarkan izin edar untuk Remdesivir per Juli 2020. Reputasinya cepat menanjak, jangan heran bila permintaannya pun mengantre dari seluruh dunia.
Dalam bentuk patennya, berupa larutan, Remdesivir amat mahal. Satu dosis harganya Rp33 juta. Namun, karena tahu demandnya sangat tinggi, Gilead pun mengizinkan peredaran versi generiknya di 127 negara yang tergolong berpenghasilan rendah-sedang, termasuk Indonesia, India, dan Pakistan. Di negara-negara ini, harganya jauh lebih murah, namun volumenya besar luar biasa.
Untuk mengedarkannya sebagai obat generik, PT Indofarma pun bekerja sama dengan Mylan NV, perusahaan farmasi khusus produk generik, yang bermarkas di Canonsburg, Pennsylvania, AS. Sebelumnya, Mylan NV sudah mengantongi izin dari Gilead untuk memproduksi Remdesivir dengan brand Oseltamivir.
Kerja sama sudah dilakukan sejak jauh hari sebelumnya. Menurut Arief Pramuhanto, Indofarma sudah mengantisipasi bahwa Remdesivir ini akan ampuh untuk Covid-19. Setidaknya, pengujian klinis tahap awal oleh Gilead di AS saat itu memang telah menunjukkan keampuhan Remdesivir.
Bahkan tanpa menunggu uji klinis tahap 3 pun Indofarma sudah memproduksi di pabriknya di Bekasi. Tidak heran bila saat ini, Indofarma telah memiliki stok 4,3 tablet Desrem Oseltamivir itu yang siap dipasarkan awal Oktober ini. "DESREM Remdesivir adalah obat etikal. Tidak dijual bebas," kata Arief.
Seperti halnya Indofarma, Kalbe Farma pun mendapatkan bahan aktif Remdesivir ini dari pihak ketiga, yakni Hetero Drugs Ltd India. Kalbe Farma, sebagai perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara itu juga telah mengantisipasi kebutuhan yang mendesak. Bos Kalbe Farma Vidjentius mengatakan, pihaknya siap memasok 50 ribu dosis sampai dua bulan ke depan.
Para dokter Indonesia menyambut gembira bahwa Remdesivir masuk arena. Ada pilihan baru dalam pengobatan Covid-19. Dokter Erlina Burhan MSc SpP, seorang spesialis paru yang membantu Satgas Penanganan Covid-19, menyebutkan bahwa Remdesivir mampu menekan replikasi virus sehingga keparahan infeksi pasien bisa berkurang. Tapi, ia mewanti-wanti bahwa obat baru ini memberi risiko pada ginjal dan lever.
Selama ini beberapa jenis obat telah diedarkan untuk membantu pasien Covid-19 di Indonesia. Namun yang tergolong antiviral barulah Avigan dari Jepang. Pemerintah telah memesan dua juta butir tablet Avigan dan tiga juta butir Chloroquine Maret silam. Namun, Chloroquine jarang digunakan karena khasiatnya tak kunjung terbukti untuk menghadapi Covid-19.
Uji Klinis
Remdesivir (dalam bentuk generiknya) tentu menjadi harapan baru. Dalam uji klinis tahap tiga di AS, yang dilakukan Gilead, memang terbukti bahwa angka kesembuhan pasien yang diberi obat tersebut lebih tinggi ketimbang pasien yang hanya memperoleh perawatan standar.
Dalam uji klinis itu, ada 384 pasien yang dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama (191 orang) diberi Remdesivir selama lima hari, kelompok kedua (193 orang) diberi obat Rendesivir 10 hari, dan kelompok ketiga hanya memperoleh perawatan standar tanpa obat antiviral. Hasilnya dilihat pada hari ke-11.
Dengan kondisi pasien cukup berat, meskipun belum sampai memerlukan alat bantu pernafasan (ventilator), ternyata pada kelompok satu dan dua terlihat bahwa jumlah pasien yang menunjukkan gejala kesembuhan, ditandai dengan kondisi klinis yang membaik, lebih tinggi dibanding kelompok 3.
Sebaliknya, jumlah pasien yang memerlukan ventilator lebih banyak pada kelompok tiga bila dibandingkan kelompok satu dan dua. Jumlah kematian pun lebih tinggi di kelompok ketiga, yakni dua persen, sedangkan pada kelompok satu dan dua rata-rata 0,5 persen.
Setelah tiga kali uji klinis menghasilkan gambaran yang konsisten, FDA memberikan izin edar untuk Remdesivir. Rekomendasinya bukan untuk semua pasien, melainkan hanya untuk para pasien yang menunjukkan gejala berat, yang sudah mulai sesak nafas dengan tingkat saturasi oksigen dalam darah kurang dari 94 persen.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini