Indonesia.go.id - Posisi Indonesia Sulit Tersaingi

Posisi Indonesia Sulit Tersaingi

  • Administrator
  • Kamis, 15 Oktober 2020 | 09:26 WIB
INDUSTRI NIKEL
  Pertambangan nikel PT. Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Kamis (28/3/2019). Foto: Antara/ Basri Marzuki

Harga nikel berangsur pulih di pasar ekspor. Produksi nikel olahan Indonesia tetap tumbuh di tengah pandemi. Pabrik smelter nikel di Indonesia tumbuh tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Indonesia adalah raja nikel dunia. Predikat itu tersandang sejak 2018, setelah merebutnya dari tangan Filipina. Pada 2019, ekspor nikel Indonesia mencapai USD1,7 miliar atau 37,2 persen dari nilai ekspor dunia. Juara bertahan Filipina terperosok ke posisi ketiga, dengan market share 13 persen, karena disalip oleh pendatang baru Zimbabwe yang dapat meraih 16 persen dari nilai ekspor nikel di pasar global.

Pandemi Covid-19 membuat pelambatan pada pertumbuhan industri nikel di tanah air. Diperkirakan, pada 2020 ini pertumbuhannya masih positif meskipun tipis. Pada semester I-2020, misalnya, produksi feronikel dari pabrik smelter yang ada di Indonesia dapat mencapai 667 ribu ton, sekitar 60 persen dari produksi tahun 2019.

Feronikel adalah produk terbesar di Indonesia yang digunakan sebagai pelapis produk besi antikarat. Produk lainnya adalah nickel pig iron (NPI), yakni feronikel dengan kandungan nikel lebih rendah dan ada pula nickelmatte, yaitu produk antara (dengan kadar nikel 78 persen) untuk diproses lebih lanjut menjadi feronikel, atau bahan khusus untuk campuran logam di mesin jet, turbin gas industri, kawat resistor listrik, dan banyak produk lainnya. Adapun nikel-sulfat digunakan sebagai anoda-katoda pada baterai isi ulang.

Tidak semua produk olahan dari batuan nikel (nickel ore) dan bijih nikel itu diekspor. Dari 667 ribu ton produk feronikel, misalnya, sekitar 75 persen diekspor dan selebihnya diserap industri domestik. Pada produk nickel pig iron yang pada 2019 mencapai 419 ribu ton, justru hanya 25 persen untuk ekspor, dan 75 persen lainnya untuk konsumsi industri lokal.

Indonesia pun sedang bergerak untuk makin mengukuhkan posisinya sebagai raja nikel. Sejak Januari 2020, pemerintah secara resmi melarang ekspor nikel mentah, baik sebagai batuan nikel (nickel ore) maupun bijih nikel, yang kadar nikelnya di bawah tiga persen. Kapasitas industri smelter nikel domestik juga terus meningkat. Diharapkan devisa ekspor nikel olahan ini juga akan semakin berkibar.

 

Harga Menguat  

Di pasar internasional, produk nikel ini mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Dalam lima tahun, yakni sejak 2015 hingga 2019, industri ini tumbuh 61 persen. Penggunaan terbesar adalah untuk baja antikarat (stainless steel), pipa air, besi magnet, elektroda pada baterai isi ulang, dan uang koin pun mengambil porsi besar.

Persaingan cukup ketat di pasar global. Sampai 2015, Indonesia, Filipina, Australia, dan Caledonia Baru (negara kepulauan di Pasifik Barat) masih baku saing. Namun, berkat adanya aliran investasi besar, produksi nikel di Indonesia mengalami lonjakan tajam. Nikel Indonesia menguasai pasar, meninggalkan para pesaing Zimbabwe, Filipina, New Calidonia, dan seterusnya.

Setidaknya sampai dua dekade ke depan Indonesia berpotensi terus memimpin di pasar ekspor dunia. Cadangan Indonesia yang sudah teregister sekitar 21 juta ton setara nikel murni. Pesaing terdekatnya Australia (20 juta ton), Brazil (11 juta ton), Rusia (6,9 juta ton), Kuba (5,5 juta ton), dan Filipina (4,8 juta ton). Zimbabwe belum merilis cadangannya. Situasi bisa berubah bila ada eksplorasi baru.

Harga nikel olahan (rata-rata semua jenis produk) sempat mengalami penurunan sejak Oktober 2019, dan mencapai titik terbawah pada Maret-April 2020 akibat pandemi Covid-19. Bila pada September 2019 harganya masih berjaya pada level USD17.600 per metrik ton, tiba-tiba merosot ke posisi USD16.300 pada Oktober. Turun lagi ke USD15.200 pada Desember 2019, lantas terhempas oleh pandemi sampai kisaran USD11.200 pada Maret 2020.

Akhir September 2020 harganya sudah kembali ke kisaran USD14.800 per metrik ton. Optimistis bahwa industri nikel ini akan cepat pulih terlihat pada pasar berjangka di LMX (London Metal Exchange), harga nikel sudah mencapai USD15.400 untuk penyerahan Desember nanti.

 

Kondisi Domestik

Pada 2020 ini ada tiga industri smelter baru yang mulai mengolah nikel. Yang pertama, smelter PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, berlokasi di Halmahera Timur, Maluku Utara. Kapasitas input 1,21 juta ton bahan mentah dengan produksi 65 ribu ton feronikel per tahun. Kedua, PT Arthabumi Sentra Industri di Morowali, Sulawesi Tengah. Kapasitas inputnya 720.000 ton dan produksinya 73 ribu ton NPI per tahun.

Yang ketiga PT Elit Kharisma Utama di Cikande, Banten, dengan kapasitas input (untuk dua line) sebesar 1,2 juta ton dan total kapasitas produksi dua line 97,45 ribu ton NPI ton per tahun. Saat ini baru satu line yang selesai.

Dengan tambahan tiga unit itu, kini ada 22 unit smelter nikel yang beroperasi di Indonesia--dari rencana 29 unit pada 2022/2023. Pertumbuhan yang cepat mengingat pada 2016 baru ada tujuh smelter. Dengan tambahan tiga unit smelter itu, kapasitas produksi nikel olahan dari semua turunannya (feronikel, nikel matte, NPI, dan nikel-sulfat), sudah mendekati dua juta ton per tahun. Jumlah itu sulit ditandingi oleh negara manapun.

Serapan nikel di pasar dalam negeri juga turut mengerek tumbuhnya berbagai industri berbasis logam. Berbagai produk perkakas, mesin, spareparts, kawat resistor listrik, pipa dan sejumlah produk stainless steel semakin banyak diproduksi di Indonesia. Industri smelter nikel pun menjadi andalan baru dalam deretan komoditas ekspor.

Sebagian besar smelter baru ini, yang sentranya ada di Morowali, Sulawesi Tengah, dioperasikan oleh perusahaan hasil kongsian pengusaha lokal dan perusahaan dari Tiongkok. Investasi yang mengalir dari Tiongkok cukup besar untuk 29 smelter itu, karena tiap unitnya memerlukan modal antara USD1 miliar hingga USD1,5 miliar. Tiongkok memerlukan nikel dalam jumlah besar untuk mendukung penguasaan pasar global untuk produk baja antikarat.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini