Pandemi akibat virus corona yang telah berlangsung hampir delapan bulan ini meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian, tak terkecuali dunia penerbangan. Angkutan udara menjadi salah satu sektor paling menderita karena dampak virus yang pertama kali menyebar dari Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019 itu.
Diterapkannya Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) termasuk dikuranginya kapasitas angkut penumpang bagi jasa transportasi sejak masa awal pandemi membuat pelaku usaha jasa penerbangan harus putar otak. Nyaris tak ada lagi yang mau naik pesawat. Sektor ini pun akhirnya mati suri selama beberapa bulan.
Bagi para pelaku usaha sektor ini, tak terbang berarti menyebabkan biaya operasional maskapai akan semakin besar. Ratusan pesawat Garuda Indonesia Group, Lion Group, dan Sriwijaya Group, serta perusahaan aviasi lainnya seperti Susi Air dan lainnya, teparkir diam di hampir semua bandara. Sudah bukan rahasia lagi jika armada pesawat yang dipakai berbagai maskapai tadi dibeli secara kredit dengan bunga yang tak kecil pula. Ketiadaan pemasukan dari penjualan kursi pesawat, tak berarti menghilangkan kewajiban membayar cicilan kredit plus bunga kredit kepada bank penjamin.
Meski demikian, tak sedikit dari mereka tetap berpikir kreatif, mengubah armada burung besinya dari semula untuk mengangkut orang menjadi khusus angkutan barang alias pesawat kargo. Caranya dengan mencopot seluruh atau sebagian kursi penumpang khusus untuk barang. Ada juga yang tetap mempertahankan kursi penumpangnya dan membiarkan barang yang diangkut diletakkan di bangku pesawat dan ditutupi jaring-jaring agar tak mudah jatuh dari kursi.
Namun, tentu saja yang diperlukan para pelaku usaha di industri penerbangan adalah uluran tangan pemerintah untuk mengatasi kesulitan tadi. Sejak merebaknya pandemi corona, pemerintah pun mengumumkan sejumlah langkah antisipasi termasuk pemberian subsidi dalam bentuk stimulus untuk membantu pemulihan perekonomian. Salah satunya untuk sektor penerbangan.
Setelah tertunda selama beberapa waktu, stimulus itu pun akhirnya terbit pada Kamis (22/10/2020) ketika Novie Riyanto selaku Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menjelaskannya kepada media massa. Terdapat dua jenis stimulus yang diberikan yakni subsidi pembebasan tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) atau airport tax dan bantuan kalibrasi. Semua itu mulai diberlakukan pada Jumat (23/10/2020). Selama ini tarif PJP2U di setiap bandara bervariasi per penumpang, mulai dari Rp13.000 hingga Rp50.000 untuk setiap satu tiket penerbangan.
Besarnya stimulus untuk PJP2U adalah Rp175 miliar, sedangkan subsidi biaya kalibrasi Rp40 miliar. Langkah ini diambil dalam kerangka pemulihan ekonomi. Pemberian stimulus pada pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) diberikan bagi para penumpang yang akan berangkat dari 13 bandar udara internasional di tanah air. Bandara-bandara yang telah ditentukan ini adalah bandara pendukung pariwisata dengan harapan dapat membangkitkan pemulihan ekonomi dan juga pariwisata.
"Stimulus PJP2U tersebut akan diberikan kepada seluruh penumpang yang membeli tiket melalui periode tanggal 23 Oktober local time hingga 31 Desember 2020 local time dengan tanggal keberangkatan sebelum 1 Januari 2021," kata Novie.
Ke-13 bandara tadi adalah Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng di Banten, Hang Nadim Batam (Kepulauan Riau), Kualanamu Medan (Sumatra Utara), I Gusti Ngurah Rai Denpasar (Bali), Kulon Progo (Yogyakarta), dan Halim Perdanakusumah (Jakarta). Ada pula Bandara Interasional Lombok (Nusa Tenggara Barat), Jenderal Ahmad Yani Semarang (Jawa Tengah). Selain itu terdapat Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado (Sulawesi Utara), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Silangit Sibolga (Sumatra Utara), Banyuwangi (Jawa Timur), dan Adisucipto Yogyakarta.
Ia berharap seluruh operator penerbangan yang beroperasi di 13 bandara internasional tersebut dapat berkoordinasi dengan masing-masing operator. Dia menegaskan perlunya mengambil langkah-langkah sinkronisasi data dan informasi. Terutama penyesuaian pada sistem penjualan tiket operator penerbangan terkait dengan mengenolkan tarif PJP2U pada komponen tiket yang dibeli calon penumpang. Penyelenggara bandara wajib melakukan rekonsiliasi data operator penerbangan dan melakukan verifikasi, menyiapkan laporan yang valid sebagai dasar permohonan pembayaran tagihan stimulus kepada pemerintah melalui satuan kerja Direktorat Bandar Udara Ditjen Perhubungan Udara.
Sementara itu untuk stimulus layanan jasa kalibrasi penerbangan meliputi fasilitas telekomunikasi penerbangan, fasilitas informasi, dan fasilitas alat bantu visual penerbangan guna menjamin keselamatan penerbangan. Selama ini, biaya kalibrasi fasilitas penerbangan dan alat bantu pendaratan pesawat dibebankan kepada operator bandara, sedangkan selama dua bulan ke depan dibebankan kepada pemerintah untuk meringankan beban biaya operasional operator bandara yang terimbas pandemi Covid-19. Bantuan ini diberikan kepada PT Airnav Indonesia, PT Angkasa Pusa I, dan PT Angkasa Pura II.
Bantu Selamatkan Maskapai
Stimulus pemerintah ini seperti sebuah mata air di padang gurun yang membuat operator penerbangan bisa kembali bernapas. Salah satunya adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan pelat merah ini rupanya langsung menyambut kebijakan stimulus dengan langkah menurunkan harga tiket terhitung mulai 23 Oktober hingga 31 Desember 2020. Kebijakan ini hanya berlaku pada 10 dari 13 bandara yang mendapat subsidi pemerintah.
Dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (22/10/2020), Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan bahwa stimulus bagi sektor penerbangan merupakan langkah tepat bagi pemulihan kinerja maskapai penerbangan dan diharapkan dapat meningkatkan masyarakat untuk kembali menggunakan jasa angkutan udara. Kebijakan stimulus ini juga diharapkan berdampak positif terhadap peningkatan pegerakan penumpang pada penerbangan di dalam negeri. Irfan memastikan maskapainya siap dari segi infrastruktur pendukung dalam mengimplementasikan penyesuaian tarif tiket pesawat yang akan diberlakukan secara menyeluruh pada seluruh kanal penjualan tiket sesuai dengan kebijakan yang diatur mengenai stimulus PJP2U tersebut.
Wajar saja bila maskapai sebesar Garuda Indonesia dengan jumlah armada pesawat yang dimiliki mencapai 145 unit menyambut baik keputusan stimulus tadi. Garuda Indonesia saat ini memerlukan dana yang tidak sedikit agar dapat menjaga likuiditas perseroan. Mengutip laporan keuangan 2019, perusahaan yang sudah beberapa kali menyabet penghargaan bergengsi di dunia penerbangan ini memiliki total pinjaman senilai USD1,83 miliar atau sekitar Rp26,71 triliun dengan kurs Rp14.600 per 1 dolar. Selain itu perusahaan berkode saham GIAA ini juga memiliki pinjaman bersih senilai USD1,53 miliar (Rp22,33 triliun). Posisi ekuitas mencapai USD720,62 juta (Rp10,52 triliun). Dengan demikian, posisi debt to equity ratio (DER) perseroan mencapai 2,55 kali, dan net debt to equity ratio perseroan mencapai 214 persen.
Maskapai nasional yang didirikan pada 1 Agustus 1947 ini tercatat memiliki liabilitas jangka pendek yang cukup besar per akhir 2019, yakni USD3,25 miliar (Rp47,45 triliun). Kewajiban jangka pendek itu mendominasi total liabilitas perseroan yang mencapai USD3,73 miliar (Rp54,45 triliun). Dari jumlah tersebut, sebanyak USD984,85 juta (Rp14,37 triliun) di antaranya merupakan pinjaman bank. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman bank terafiliasi sebanyak USD540,09 juta (Rp7,88 triliun) dan USD 444,75 juta (Rp6,49 triliun) lainnya kepada bank pihak ketiga. Salah satu utang itu yakni sukuk global yang terbit pada 2017 senilai USD500 juta (Rp7,3 triliun) dan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Stimulus yang diberikan negara kepada sektor angkutan udara saat ini bisa ikut membantu meringankan beban para operator penerbangan nasional. Sehingga semua orang bisa kembali terbang dan menikmati tarif murah penerbangan.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini