Indonesia.go.id - Agar Urusan Pajak Menjadi Jelas

Agar Urusan Pajak Menjadi Jelas

  • Administrator
  • Senin, 26 Oktober 2020 | 12:22 WIB
UU CIPTA KERJA
  Ilustrasi pelayanan wajib pajak. Foto: Antara Foto/ Aprilio Akbar

Ada empat tujuan dari klaster perpajakan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang merupakan pelengkap ketentuan perpajakan lainnya dalam UU Nomor 2/2020.

UU Cipta Kerja dilahirkan untuk melingkupi medan hukum yang luas. Tak hanya ditujukan untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja, UU baru ini diharapkan bisa menjembatani penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan ekosistem investasi dan ekonomi secara luas.

Secara khusus, UU Cipta Kerja bermanfaat dalam mendorong pemulihan ekonomi, mendukung transformasi ekonomi untuk menghindari middle income trap, peningkatan daya saing investasi, dan menekan ekonomi biaya tinggi. UU ini turut mencakup klaster perpajakan sebagaimana tercantum pada Bab VI Bagian Ketujuh yang berisi 4 pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114.

Klaster perpajakan ini mengatur tentang perubahan dan/atau penambahan pasal pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo memaparkan, adanya empat tujuan dari klaster perpajakan dalam UU Ciptaker yang merupakan pelengkap ketentuan perpajakan lainnya dalam UU 2/2020.

Tujuan pertama, meningkatkan pendanaan investasi yang akan berimplikasi ke perbaikan pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai tujuan ini terdapat lima kebijakan yang dibentuk dalam klaster perpajakan yaitu penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri, dan penghasilan tertentu termasuk deviden dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.

Kemudian juga ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, penyertaan modal dalam bentuk aset atau inbreng tidak terutang PPN, serta nonobjek PPh atas bagian laba/SHU koperasi, dana haji yang dikelola BPKH. Sebagai informasi, transaksi inbreng adalah transaksi pemasukan harta yang tidak dalam bentuk uang tunai dari para pemegang saham dalam penyertaan modal, yang bisa juga berupa aktiva di antaranya tanah.

Lima kebijakan klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja itu ditunjang oleh dua kebijakan perpajakan yang tertuang dalam UU 2/2020 yakni penurunan tarif PPh Badan secara bertahap 22 persen pada 2020 dan 2021 serta 20 persen pada 2022 maupun penurunan tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Public tarif umum minus 3 persen.

Tujuan kedua adalah mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela melalui dua kebijakan yaitu relaksasi hal pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak serta pengaturan ulang atas sanksi administratif pajak dan imbalan bunga.

Tujuan ketiga adalah meningkatkan kepastian hukum melalui kebijakan penentuan subjek pajak orang pribadi yaitu WNI maupun WNA tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia menjadi subjek pajak DN. Kemudian pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan subjek pajak DN dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia. Selanjutnya berlaku juga bagi WNI berada di Indonesia kurang dari 183 hari dapat menjadi subjek pajak LN dengan syarat tertentu, penyerahan batu bara termasuk BKP, dan konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP.

Tujuan keempat adalah menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri melalui kebijakan pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam faktur pajak. Tujuan keempat didorong oleh satu ketentuan perpajakan yang telah tertuang dalam UU 2/2020 yaitu pemajakan transaksi elektronik atas penunjukan platform memungut PPN dan pengenaan pajak kepada subjek pajak LN atas transaksi elektronik di Indonesia.

Empat tujuan utama tersebut memang telah selaras dengan masalah perpajakan yang selama ini terjadi. Skor indikator pembayaran pajak Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis masih 75,8 pada 2020. Jauh di bawah Singapura yang 91,6. Tak ayal investor lebih memilih berinvestasi di negara tetangga, seperti halnya dilakukan perusahaan teknologi.

Pemerintah memperbaikinya salah satunya dengan menghapus pajak penghasilan (PPh) atas dividen dalam dan luar negeri selama diinvestasikan di Indonesia. Hal ini termaktub dalam Pasal 111 yang mengubah Pasal 4 Ayat (3) Huruf (f) UU Pajak Penghasilan.

Hingga semester I 2020, jumlah wajib pajak yang melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT) hanya 11,46 juta atau 60,34% dari target 19 juta. Artinya, masih 7,54 juta wajib pajak yang belum menyampaikan kewajiban tahunannya. Rendahnya kepatuhan tak lepas dari kualitas pemungutan pajak yang belum baik.

Pandangan Bank Dunia menunjukkan bahwa masalah kepatuhan berkelindan dengan kepastian hukum dan keadilan berusaha di dalam negeri yang juga menjadi tujuan utama klaster perpajakan. Misalnya, belum jelasnya aturan tentang pajak transaksi elektronik pelaku usaha luar negeri. Sebuah hal yang mengakibatkan diskriminasi terhadap pelaku dalam negeri.

Guna mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, salah satunya pemerintah mengatur ulang sanksi administratif dalam Pasal 9 Ayat (2a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pengenaan sanksi dalam Pasal 19 UU KUP diberikan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali jumlah pajak yang masih harus dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan, tidak atau kurang dibayar.

Dalam Pasal 19 Ayat (1) UU KUP yang baru (sesuai ketentuan UU Cipta Kerja), atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan untuk seluruh masa.

Besaran sanksi administrasi berupa bunga itu dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat tagihan pajak. Bunga dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

Pasal 19 Ayat (2) UU KUP juga disebutkan jika wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

Sebelumnya sanksi administrasi yang dikenakan berupa bunga 2% per bulan dan tidak ada klausul mengenai dikenakan paling lama 24 bulan. Selanjutnya, pada Pasal 19 Ayat (3) UU KUP diubah. Ayat ini mengatur saat wajib pajak diperbolehkan menunda penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT), dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang.

Atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Bunga dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.

Bunga dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. Dalam ketentuan sebelumnya, pengenaan bunga sebesar 2% per bulan dan tidak ada klausul mengenai dikenakan paling lama 24 bulan. “Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan, dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi,” demikian penggalan bunyi Pasal 19 Ayat (4) UU KUP yang dimuat dalam UU Cipta Kerja.

Lalu, peningkatan kepastian hukum, antara lain, dengan mengubah ketentuan subjek pajak orang pribadi dalam dan luar negeri di Pasal 2 Ayat (3) dan (4) UU Pajak Penghasilan. Perubahan termaktub dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja.

Pada Pasal 2 Ayat (3) yang berubah di poin (a), bahwa subjek pajak dalam negeri kini meliputi juga warga negara asing dengan beberapa ketentuan, seperti bertempat tinggal di Indonesia atau berada di negeri ini lebih dari 183 hari dalam jangka waktu setahun.

Perubahan pada ayat selanjutnya yang signifikan adalah warga negara Indonesia juga menjadi subjek pajak luar negeri. Ketentuannya, mereka berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan memenuhi sejumlah persyaratan, seperti tempat tinggal, pusat kegiatan utama, dan tempat menjalankan kebiasaan.

Artinya, negara kini bisa memungut pajak dari warga Indonesia yang berkegiatan di luar negeri dan berpotensi meningkatkan penerimaan negara. Khususnya dari mereka yang menjalankan bisnis di luar negeri. Penciptaan keadilan iklim berusaha di dalam negeri melalui pemajakan transaksi elektronik yang dilakukan pelaku usaha luar negeri.

UU Cipta Kerja mengubah definisi bentuk usaha tetap (BUT) mencakup seluruh subjek pajak luar negeri yang berusaha atau berkegiatan di Indonesia, termasuk transaksi elektronik. Frasa “berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan” dalam definisi BUT dihapus.

Dengan demikian, platform digital seperti Netflix yang berkantor di luar negeri secara otomatis menjadi BUT ketika memperoleh penghasilan di Indonesia. Pemerintah juga mengatur penunjukan platform pemungut PPN transaksi elektronik dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja.  

Hal tersebut akan memperkuat Peraturan Menteri Keuangan nomor 48 tahun 2020 tentang PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang merupakan turunan dari Perppu nomor 1 tahun 2020. Keberadaan pasal tersebut mengonfirmasi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 7 Oktober 2020 bahwa sebagian klaster perpajakan di UU Ciptaker sudah masuk dalam Perppu nomor 1 tahun 2020.

 

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini