Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang sering disebut juga sebagai Mega-Free Trade Agreement (Mega FTA) akhirnya ditandatangani setelah dirundingkan lebih dari delapan tahun.
Indonesia tercatat ikut memprakarsai dan mengawal lahirnya perjanjian perdagangan tersebut. RCEP diselesaikan dan ditandatangani di era Presiden Joko Widodo. Indonesia patut berbangga dengan lahirnya kesepakatan itu, karena negara ini berpeluang memanfaatkannya untuk mendongkrak kinerja perdagangannya.
RCEP adalah sebuah perjanjian perdagangan (FTA) yang melibatkan 15 negara yang mempunyai 29 persen penduduk, 29 persen PDB dunia, dan 27 persen perdagangan dunia. Artinya, RCEP merupakan jawaban atas berbagai tantangan global dan regional baik berupa kemajuan teknologi, tren perdagangan antarnegara maupun konteks khusus seperti pandemi.
Di tengah keberhasilan Indonesia menelurkan kesepakatan RCEP, kinerja ekspor Indonesia juga mencetak rekor tertinggi sepanjang tahun pada Oktober 2020 dengan capaian USD14,39 miliar. Nilai ekspor ini lebih besar dibandingkan dengan capaian pada Maret yang sebelumnya memegang rekor dengan nilai USD14,07 miliar.
Seperti diungkap oleh Badan Pusat Statistik dalam satu konferensi pers Perkembangan Ekspor Impor, Senin (16/11/2020), kinerja ekspor yang moncer itu membuat neraca perdagangan kembali mencetak surplus besar yang pada Oktober 2020 mencapai USD3,61 miliar.
BPS juga mencatat realisasi tersebut lebih tinggi dari surplus USD2,44 miliar pada September 2020 dan surplus USD161 juta pada Oktober 2019. Secara total, neraca perdagangan Indonesia surplus USD17,07 miliar pada Januari-Oktober 2020. Realisasi ini lebih baik dari defisit USD2,12 miliar pada Januari-Oktober 2019.
“Surplus ini meningkat cukup besar karena ada penurunan impor. Sedangkan penyumbang peningkatan ekspor terdapat pada lemak dan minyak hewan/nabati,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa pada Badan Pusat Statistik (BPS), Setianto di konferensi tersebut.
Dari data BPS yang tersaji, nilai ekspor pertanian pada Oktober 2020 mengalami pertumbuhan positif, yakni sebesar USD0,42 miliar atau tumbuh 1,26 persen (m to m) jika dibandingkan pada bulan sebelumnya. Kenaikan terjadi karena adanya dukungan mobilitas ekonomi di sejumlah negara yang juga terus membaik. Secara YoY pun, ekspor sektor pertanian tumbuh 23,80 persen.
Menurut Setianto, sejauh ini pangsa ekspor nonmigas terbesar Indonesia masih diduduki oleh 3 negara besar baik di Asia maupun di Amerika. Ketiganya adalah Tiongkok, Amereka Serikat dan Jepang. “Yang jelas, ekspor nonmigas kita menyumbang 95,03 persen dari total ekspor Januari-Oktober 2020, di mana 11,38 persen di antaranya berasal dari sektor pertanian,” ujarnya. Sementara itu, sektor pertanian tumbuh sebesar 2,15 persen (y on y).
Lembaga itu menjabarkan lebih jauh pertumbuhan dari sektor pertanian. Menurut BPS, pertumbuhan ini tak lepas dari kondisi harga komoditas kelapa sawit dan kedelai di pasar internasional pada triwulan ke III yang naik secara (q to q) maupun (y on y). Minyak sawit dan produk turunannya menjadi salah satu motor penggerak ekspor. Meski kenaikan harga komoditas memberi kontribusi kenaikan ekspor, pemerintah harus mewaspadai bahwa kinerja dagang akan terus diselimuti ketidakpastian jika mengandalkan produk-produk tersebut.
Tumbuh Lebih Positif
Namun, yang jelas Indonesia memang patut bersyukur, tren kenaikan ekspor juga seiring dengan kondisi ekonomi global yang tumbuh lebih positif, terutama untuk kawasan Asia Pasifik yang pengendalian pandeminya lebih baik. Rampungnya pemilihan Presiden Amerika Serikat disebutnya juga mendorong kenaikan permintaan dan fluktuasi harga komoditas bahan baku atau penolong industri manufaktur.
Meskipun neraca perdagangan kembali mencetak surplus pada periode Oktober 2020 sebesar USD3,61 miliar. Di sisi lain, nilai impor yang tercatat hanya mencapai USD10,78 miliar. Impor itu secara bulanan menurun 6,79 persen month-to-month. Secara tahunan, impor terkontraksi sangat dalam, sebesar -26,93 persen year-on-year. Namun, pemerintah patut mewaspadai penurunan impor itu, terutama bahan baku industri, yang menyebabkan melemahnya impor itu.
Sejalan dengan data Purchasing Managers’ Index pada Oktober yang tercatat di bawah 50, yaitu sebesar 47,8. Impor yang turun jauh lebih dalam dibandingkan dengan posisi September 2020 ini.
Berkaitan dengan itu, juru bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal Hastiadi mengatakan terdapat sejumlah alasan pemicu penurunan impor pada Oktober. Misalnya, inventori industri diperkirakan masih tersedia untuk aktivitas produksi, sehingga pelaku usaha menahan pemasukan.
“Saya memperkirakan impor bahan baku atau penolong atau modal bisa kembali naik pada November atau Desember.”
Adalah Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir yang melihat bahwa permintaan global sudah mulai meningkat. “Sehingga pemerintah akan melakukan yang pertama mendorong ekspor yang Indonesia punya keunggulan komparatif, seperti SDA [sumber daya alam], TPT [industri tekstil dan produk tekstil], emas perhiasan, besi, dan baja,” katanya.
Indikasi mulai rebound-nya sektor perdagangan Indonesia tentu patut disyukuri. Namun, negara ini harus segera melakukan diversifikasi komoditas ekspornya sehingga memiliki fundamental yang kuat dan kompetitif di pasar global, termasuk pasar dari kesepakatan RCEP yang diteken baru-baru ini.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini