Indonesia.go.id - Nota Sri Mulyani untuk Lembaga Keuangan Dunia

Nota Sri Mulyani untuk Lembaga Keuangan Dunia

  • Administrator
  • Jumat, 27 November 2020 | 01:32 WIB
EKONOMI GLOBAL
  Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap kesetaraan akses vaksin Covid-19 bagi negara berkembang. Foto: Antara Foto

Di sejumlah event dunia, Menkeu Sri Mulyani menekankan pentingnya kesetaraan akses vaksin, bauran kebijakan fiskal, makroprudensial, dan moneter. Pada skenario optimistis, di 2020 India tumbuh 8,8 persen, Tiongkok 8,2 persen, dan Indonesia 6,12 persen.

Sejak 5 Oktober lalu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati nyaris tak pernah absen mengikuti rangkaian sidang tahunan World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF). Lebih banyak secara virtual. Beberapa kegiatan yang diikuti Menteri Keuangan itu antara lain G24 Ministers and Governors Meeting, CNBC Debates on the Global Economy, dan International Monetary Fund Connect-Early Warning Exercise (IMFC-EWE).

Di arena internasional itu Sri Mulyani tak henti-henti menekankan pentingnya kesetaraan akses vaksin antara negara maju dan negara berkembang, optimalisasi bauran kebijakan fiskal, makroprudensial, dan moneter. Itulah peta jalan yang harus ditempuh untuk keluar dari tekanan pandemi.

Sri Mulyani berharap, WB dan IMF dapat membantu negara berkembang dan emerging dengan financing, knowledge sharing, dan convening power yang dimiliki. Dengan bantuan WB dan IMF, negara-negara tersebut berpeluang dapat mengoptimalkan kebijakan fiskal, makroprudensial, dan moneter untuk menghadapi krisis pandemi.  

Kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara makroekonomi dan mikroekonomi. Fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi keuangan, melainkan meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar uang, perusahaan besar, industri, pasar-pasar, usaha kecil dan rumah tangga, serta infrastruktur keuangan.

“Untuk itu, WB dan IMF dapat membantu dengan memberi sinyal positif kepada pasar, khususnya rating agencies dan investor bahwa kebijakan one-off burden sharing yang prudent dapat dilakukan dengan aman,” ujar Sri Mulyani, sosok yang punya pengalaman langka menjadi kreditur ketika menjadi eksekutif dan bank dunia, dan menjadi kreditur sebagai menteri keuangan.

Selain itu Menkeu juga mengharapkan agar tingkat bunga di negara-negara berkembang dan emerging dapat lebih murah, agar negara miskin tidak dibebani bunga lebih tinggi. Lebih lanjut, untuk mendukung pemulihan hijau dan inklusif, pasar keuangan pun diharapkan mengapresiasi penerbitan obligasi hijau (green bond), dengan mengakomodir tingkat imbal hasil atau yield yang lebih rendah.

Dalam Ministerial Conclave: Investing in Human Capital in the Time of Covid-19 pada 8 Oktober 2020, para pemimpin membahas strategi mobilisasi pendanaan dan investasi sumber daya manusia (SDM) dalam merespons dampak Covid-19. Pada kesempatan itu Menkeu RI menyampaikan nota bahwa Indonesia berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan mutu SDM di tengah kondisi yang luar biasa menekan saat ini. “Investasi dalam human capital adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Sejak awal terjadinya pandemi, Pemerintah Indonesia fokus dalam memberikan perlindungan terhadap manusia dengan meningkatkan anggaran, melebarkan defisit fiskal, dan memprioritaskan belanja kebutuhan darurat,” kata Menkeu.

Selain perlindungan kesehatan dan sosial, di saat bersamaan, pemerintah juga terus melakukan reformasi. Pada CNBC Debates on the Global Economy, yang terselenggara pada 15 Oktober 2020, Menkeu bersanding dengan tokoh-tokoh penting seperti Managing Director of the IMF Kristalina Georgieva, Gubernur Bank Sentral Uni Eropa Christine Lagarde, dan Chair of the Board of Gavi Ngozi Okonjo-Iweala.  Di situ Menkeu berbagi pengalaman Indonesia dalam menghadapi dampak ekonomi Covid-19 yang salah satunya dengan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Para tokoh ini menyepakati bahwa pengambilan kebijakan harus berani demi pemulihan ekonomi yang kuat dan tahan lama, serta bahwa peran kerja sama internasional sangat krusial dalam memerangi krisis.

Sedangkan pada International Monetary Fund Connect-Early Warning Exercise (IMFC-EWE) yang juga terjadi pada 15 Oktober 2020, Menkeu menekankan pentingnya mitigasi risiko fragmentasi ekonomi global ke depan, kebijakan makro dan keuangan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas keuangan, serta kebijakan dan pinjaman IMF yang disarankan beradaptasi dengan keadaan saat ini. Acara itu hampir selalu dihadiri Menkeu Sri Mulyani setiap tahunnya. Dalam rangkaian sidang tahunan WB-IMF tersebut, IMF juga meluncurkan World Economic Outlook (WEO) terbaru. Dalam laporan tersebut, IMF memroyeksikan resesi ekonomi 2020, di mana ekonomi global 2020 terkontraksi -4,4% (year on year), lebih baik dari proyeksi Juni yaitu -5,2%.

Hal itu didorong oleh kinerja pemulihan ekonomi negara maju lebih cepat dari ekspektasi awal, meski negara berkembang justru mengalami koreksi lebih dalam. Di kuartal ketiga, tanda-tanda pemulihan ekonomi terlihat lebih kuat dibanding kuartal sebelumnya. Lebih lanjut dalam rilis WEO, pertumbuhan ekonomi global 2021 diperkirakan lebih moderat pada 5,2% dibanding perkiraan sebelumnya, menggambarkan masih adanya risiko pandemi yang mendorong negara untuk tetap melakukan physical distancing meski sudah mulai tersedia vaksin.

Dalam jangka menengah, pertumbuhan akan mengalami moderasi dari tingkat rebound pada 2021. Oleh sebab itu, reformasi struktural dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan akibat resesi. IMF mengatakan bahwa krisis kali ini merupakan krisis terburuk kedua setelah great depression, sehingga diperlukan penanganan yang serius melalui reformasi dan inovasi kebijakan masing-masing negara maupun internasional.

Walaupun ekonomi Indonesia mengalami kontraksi, secara keseluruhan masih merupakan salah satu yang terbaik di antara negara-negara G-20. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ekonomi Indonesia sepanjang 2020 diperkirakan oleh G-20 sebesar minus 1,5 persen. Proyeksi tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi kedua terbaik setelah Tiongkok yang diperkirakan tumbuh 1,9 persen. “Rata-rata proyeksi negara G-20 lainnya mengalami kontraksi sangat dalam dengan Spanyol yang terendah minus 12,8 persen,” jelas Menteri Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual.

Dia menambahkan pemerintah masih belum mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 yang tetap berada di kisaran minus 1,7 hingga minus 0,6 persen. Sri Mulyani menjelaskan kemungkinan ekonomi global tahun depan akan mengalami pembalikan (rebound) yang berbeda-beda, tergantung pada daya tahan ekonomi suatu negara. “Harusnya yang terkontraksi paling dalam, rebound-nya makin kuat. Tapi ternyata tidak seperti itu,” kata dia.

Tiongkok dan Indonesia diperkirakan menjadi negara dengan pembalikan ekonomi paling tinggi. Tiongkok diperkirakan tumbuh positif 8,2 persen, Indonesia tumbuh 6,12 persen pada tahun depan. Sementara itu India tahun depan juga diperkirakan tumbuh tinggi 8,8 persen. Hanya saja pada 2020 diperkirakan akan terkontraksi sangat dalam, yakni lebih dari minus 10 persen.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini