Indonesia.go.id - Peluang Menggenjot Ekspor Indonesia

Peluang Menggenjot Ekspor Indonesia

  • Administrator
  • Rabu, 30 Desember 2020 | 06:12 WIB
TARIF DAGANG ASEAN
  Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Skema tarif perdagangan bebas ASEAN diharapkan mampu dimanfaatkan oleh pelaku usaha nasional untuk meningkatkan daya saing di intra-ASEAN.

Tahun ini adalah tahun implementasi dari Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (Free Trade Agreement ASEAN). Setidaknya, ada dua protokol pelaksanaan tarif preferensi mulai berlaku 2020 ini, yang diharapkan makin memuluskan perdagangan intra-ASEAN maupun dengan kawasan lainnya.

Seperti pernah disinggung Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto dalam pertemuan ASEAN Economic Community Council (AECC)/Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), November 2020, pemangkasan tarif perdagangan merupakan bagian dari ASEAN Comprehensive Recovery Framework (ACRF).

Kerangka kerja ini merupakan upaya ASEAN memulihkan ekonomi akibat dampak Covid-19. Kesepakatan ini makin diperkuat dalam KTT ASEAN ke-37 pada November 2020. Kerja sama regional ini telah menghasilkan beberapa capaian, di antaranya pemanfaatan e-signature and seals untuk Certificate of Origin (CO) serta live implementation of e-Form D dalam ASEAN Single Window.

 

Pengurangan Pos Tarif

Sejak ASEAN FTA dirintis pada 2003, perdagangan ekspor-impor dengan negara anggota ASEAN dan beberapa negara maju lainnya sudah memiliki banyak subsidi tarif. Salah satunya dengan adanya pengurangan atau penghapusan bagi pos tarif produk tertentu, sehingga mampu mengurangi biaya ekspor-impor secara signifikan.

Kesepakatan ini makin diperkukuh dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Adapun negara-negara anggota ASEAN menyepakati produk prioritas yang diperdagangkan di intra-ASEAN, yakni perikanan, pertanian, produk kayu, produk karet, tekstil dan pakaian, otomotif, dan elektronik. Sedangkan, layanan jasa prioritas yang dikembangkan di lingkup MEA adalah kesehatan, pariwisata, perhubungan udara, dan logistik. Pada 2003, negara-negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) berkomitmen untuk mengeliminasi 60 persen pos tarif produknya melalui perjanjian Common Effective Preferential Tariff ASEAN FTA (CEPT-AFTA).

Kemudian untuk mewujudkan arus bebas perdagangan barang pada 2025, disepakati untuk memperluas CEPT-AFTA yang membuat perdagangan barang secara komprehensif dengan perjanjian ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Perjanjian itu ditandatangani pada 2009. ATIGA mengkonsolidasikan dan menyederhanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam CEPT-ASEAN FTA.

Lalu, ATIGA juga menunjukkan jadwal penurunan tarif secara menyeluruh dari setiap negara anggota dan menguraikan tingkat tarif yang dikenakan yang mulai berlaku pada 2015. Sehingga, ATIGA membuat rencana penurunan tarif ini menjadi lebih transparan. Dengan berlakunya ATIGA, sebanyak 99,29 persen atau 64.890 pos tarif produk ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) 2017 sudah bisa diberlakukan tahun ini di Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand pada wilayah intra-ASEAN. Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam juga sudah menurunkan tarifnya menjadi 0-5 persen pada 97,67 persen pos tarif produknya.

Skema tarif AHTN ini jelas dapat menggenjot akses pasar perdagangan antara negara ASEAN. Untuk mempercepat proses pelaksanaan skema tarif perdagangan intra-ASEAN tersebut, mulai 20 September 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 131/PMK.04/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.

Implementasi beleid ini merupakan pelaksanaan ratifikasi Protokol Pertama untuk Mengubah Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN melalui Peraturan Presiden nomor 84 tahun 2020 tentang Pengesahan First Protocol to Amend the ASEAN Trade in Goods Agreement (Protokol Pertama untuk Mengubah Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN).

PMK ini mengatur beberapa hal, antara lain, implementasi Deklarasi Asal Barang dalam skema ASEAN Wide Self Certification (AWSC) yang menggantikan impementasi Invoice Declaration dalam skema MoU 2nd Self Certification Pilot Project (SCPP), dan penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) Form D format baru. Dengan ditetapkannya PMK ini diharapkan perdagangan barang intra-ASEAN dapat lebih meningkat, termasuk adanya peningkatan ekspor Indonesia dengan penggunaan skema AWSC ini.

Aturan Kementerian Keuangan ini juga ditindaklanjuti oleh Kementerian Perdagangan. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 71 tahun 2020 tentang Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) dan Ketentuan Penerbitan Dokumen Keterangan Asal untuk Barang Asal Indonesia. Permendag ini mulai berlaku efektif pada 20 September 2020. Pada prinsipnya, peraturan ini akan memberi kemudahan fasilitasi ekspor bagi para pelaku usaha untuk menerapkan sertifikasi mandiri AWSC.

Keuntungan bagi para eksportir Indonesia dari aturan ini salah satunya adalah kemudahan dalam membuat Deklarasi Asal Barang (DAB) untuk barang asal Indonesia atau Rules of Origin (ROO) sesuai dengan skema ATIGA. Sebelumnya, skema terdahulu hanya dapat dimanfaatkan oleh eksportir produsen untuk ekspor ke beberapa negara di ASEAN.

Skema tarif perdagangan bebas ASEAN ini diharapkan mampu dimanfaatkan oleh pelaku usaha nasional agar produk mereka makin berdaya saing di intra-ASEAN. Apalagi, sejumlah produk barang dan jasa dari Indonesia ada kemiripan diolah di negara-negara jiran ASEAN.  Setidaknya ada peluang besar dalam beberapa tahun terakhir ini. Mengingat neraca perdagangan Indonesia dan ASEAN mengalami surplus.  Menurut catatan Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN tercatat mencapai USD41,4 miliar atau setara Rp583,7 triliun dan impor USD39,7 miliar (Rp559,7 triliun).

Berikutnya kendati ada sedikit penurunan akibat dampak pandemi Covid-19 pada para periode Januari-Agustus 2020, Indonesia terhadap ASEAN masih meraih surplus, ekspor tercatat mencapai USD23,1 miliar (Rp325,7 triliun) dan impor USD19,5 miliar (Rp274,9 triliun).

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini