Eksis di panggung keormasan sepanjang 22 tahun, kiprah organisasi massa Front Pembela Islam (FPI) akhirnya terhenti. Rabu (30/12/2020), pemerintah memutuskan menghentikan kegiatan dan membubarkan FPI.
"Karena FPI tidak lagi memiliki legal standing baik sebagai ormas maupun organisasi biasa," ujar Menko Polhukam Mahfud MD saat menggelar keterangan pers di kantornya, Jakarta, Rabu (30/12/2020).
Mahfud meyakini, keputusan pemerintah sudah sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Ormas. "Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai putusan MK Nomor 82 PUU 11/2013 tertanggal 23 Desember 2014," kata Mahfud MD.
Karena tak punya legal standing, Mahfud meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menolak semua kegiatan yang dilakukan FPI. Untuk memperkuat putusannya itu, Mahfud memutar gambar pendukung berupa video. "Ini ada gambar pendukung," kata Mahfud MD.
Mahfud pun langsung memutar video itu. Video itu berisi sejumlah anggota FPI berbaiat kepada kelompok teror Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Baiat itu dilakukan di Makassar pada 25 Januari 2015. Selain itu, pemerintah juga memperlihatkan video saat anggota FPI ada yang berorasi mendukung keberadaan ISIS.
Pertimbangan itulah yang kemudian pemerintah mengambil keputusan tegas. Keputusan pembubaran itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken enam menteri/kepala lembaga. Keenam pejabat itu yakni Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.
Keenamnya menuangkan Surat Keputusan Bersama Nomor 220/4780 Tahun 2020; Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020; Nomor 690 Tahun 2020; Nomor 264 Tahun 2020; Nomor KB/3/XII Tahun 2020; dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.
Enam Alasan Pemerintah
Dalam SKB itu pemerintah mengemukakan enam alasan pembubaran dan pelarangan kegiatan FPI itu. Pertama, adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). UU ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan pasal 2 Undang-undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT.
"Oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej yang membacakan isi SKB.
Keempat, organisasi kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan pasal 5 huruf g, pasal 6 huruf f, pasal 21 huruf b dan d, pasal 59 Ayat (3) huruf a, c, dan d, pasal 59 Ayat (4) huruf c, dan pasal 82A Undang-undang Ormas.
Kelima, pengurus dan/atau anggota FPI, maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdasarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme. Dari angka ini, 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. "Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana," kata Eddy.
Keenam, telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggota FPI yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat. Padahal, sebenarnya kegiatan itu menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum.
Menanggapi keputusan pemerintah itu, Tim Kuasa Hukum FPI Sugito Atmo Prawiro menyatakan Rizieq Shihab, sudah mengetahui mengenai keputusan pemerintah yang melarang organisasi tersebut. "Enggak ada masalah. Nanti kita proses hukum. Kita ke PTUN," katanya.
Tak lama setelah keputusan pembubaran, sejumlah aparat polisi dan TNI mendatangi markas FPI di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat. Di Petamburan, aparat meminta warga menurunkan dan mencopot stiker, spanduk, hingga baliho Rizieq dan FPI yang ada di kawasan itu. "Kegiatan FPI mulai hari ini tidak boleh dilakukan. Baik banner, pamflet, sudah dilepas. Begitu juga dengan kegiatan lainnya," ujar Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto.
Kasus yang Melibatkan Rizieq
Keputusan pelarangan kegiatan FPI dilakukan setelah pendiri FPI, Rizieq Shihab, ditahan pada 13 Desember 2020. Rizieq tercatat telah enam kali menyandang kasus tersangka. Dua kasus di antaranya membuat Rizieq harus mendekam di penjara.
Kasus pertama, ketika Rizieq memimpin demo anti-Amerika Serikat tahun 2001. Saat itu Rizieq diduga menyebarkan kebencian. Setahun berselang, Rizieq juga harus berurusan dengan aparat hukum. Aparat kemudian menetapkannya sebagai penghasutan atas peristiwa pengrusakan tempat hiburan di Jakarta. Kasus ini membuat Rizieq harus mendekam di penjara selama tujuh bulan.
Tak kapok berurusan dengan aparat hukum, pada 2008, Rizieq menjadi kembali menjadi tersangka pengeroyokan dan kerusuhan di Monas dengan vonis 1,5 tahun penjara. Pada tahun 2017, Rizieq ditetapkan sebagai tersangka di dua kasus yaitu pornografi dan penghinaan Pancasila. Namun kedua kasus ini dihentikan polisi.
Kasus terakhir saat terjadi kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Rizieq disangka melanggar UU Kekarantinaan Kesehatan dan pasal pidana. Ia disangka menghasut masyarakat supaya melakukan perbuatan pidana sehingga terjadi kedaruratan kesehatan di masyarakat dan tidak menuruti perintah serta menghalangi petugas.
FPI dan Pembentukannya
FPI didirikan pada 17 Agustus 1998, di Pondok Pesantren Al-Umm, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. Organisasi ini didirikan oleh sejumlah ulama, haba’ib, serta aktivis muslim. Pelopornya Rizieq Shihab.
Berdasarkan Riset Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang tertuang dalam buku "Premanisme Politik" (2000) diungkapkan, pembentukan FPI tak bisa dilepaskan dari tiga peristiwa besar, yakni: kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa. Ketiga peristiwa ini merupakan lanjutan gelombang demonstrasi Reformasi 1998 yang bergulir sejak Mei 1998.
Unjuk kekuatan pertama FPI terjadi pada pertengahan Desember 1999. Saat itu, ribuan anggota FPI datang menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur Sutiyoso. Tuntutan mereka tegas: Sutiyoso harus menutup semua tempat "maksiat" seperti kelab malam, panti pijat, bar, dan diskotek, selama bulan puasa. Sutiyoso pun saat itu langsung meninjau ulang kebijakan jam operasi tempat-tempat yang dianggap “maksiat” tersebut.
Sejak saat itu, FPI kerap melakukan operasi-operasi sendiri. Dan kini, pemerintah telah menghentikan segala tindakan yang selama ini kerap mereka lakukan. "Jika keputusan ini dilanggar, aparat hukum akan menghentikan," kata Wamenkumhan, Eddy Hiariej.
Penulis: Fajar Wahyu Hermawan
Editor: DT Waluyo/ Elvira Inda Sari