Sejumlah lembaga dunia telah menyampaikan proyeksinya terkait pulihnya ekonomi Indonesia pada 2021. Kontan hal itu mendorong menguatnya optimistis di dalam negeri.
Sebut saja Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memberikan proyeksi 4 persen. Lalu, ADB (5,3 persen), Bank Dunia (4,4 persen), IMF (6,1 persen), dan Median Bloomberg (5,6 persen). Sementara itu, outlook APBN juga memberikan proyeksi pertumbuhan 5 persen.
Proyeksi sejumlah lembaga prestisius dunia tentu menjadi vitamin bagi ekonomi bangsa ini untuk mengarungi kondisi perekonomian dunia yang masih tidak menentu. Selain wabah pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, adanya varian virus asal Inggris juga memberi nuansa negatif pada kondisi ekonomi global.
Seperti disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Indonesia memiliki modal yang cukup kuat untuk bisa memasuki tahap pemulihan ekonomi. Faktor pendukung lainnya berupa parameter ekonomi global juga menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di tengah-tengah ancaman gelombang kedua wabah pandemi Covid-19.
"Pemerintah optimistis seluruh rangkaian strategi dan kebijakan yang telah dilakukan mampu memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi yang ada ke depan," ujar Agus Gumiwang dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk "Kaleidoskop 2020: Menjaga Laju Keberlangsungan Industri di Tengah Pandemi", yang berlangsung pada Rabu (30/12/2020).
Optimisme yang sama juga diungkap pelaku usaha, terutama Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani optimistis, momentum pemulihan ekonomi tahun depan akan semakin baik, tecermin dari beberapa indikator ekonomi yang sudah mulai menunjukkan pemulihan.
“Misalnya, PMI manufaktur telah kembali ke level ekspansif dan indeks keyakinan konsumen yang mulai mengalami peningkatan. Ini sangat menggembirakan.”
Indikator Pemulihan
Pertanyaan selanjutnya, apa saja indikator menuju pemulihan di 2021? Ini bisa terlihat dari perjalanan perekonomian nasional selama 2020. Perekonomian Indonesia pernah mengalami titik terendahnya atau rock button di triwulan II/2020 terutama ketika pertama kali negara ini dinyatakan mengalami serangan wabah pandemi.
Namun, pada triwulan III/2020 mulai mengalami perbaikan meski masih kontraksi di -3,4 persen (yoy). Kondisi ini masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Jerman, Singapura, Filipina, Spanyol, dan Meksiko yang rata-rata mengalami kontraksi rata-rata di -4 persen.
Makro ekonomi lainnya yang mendukung adalah permintaan domestik dan kenyakinan konsumen yang membaik. Di mana itu diyakini akan mendorong produksi atau supplay side. Lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang terus menguat dan kembali ke level pre-Covid-19.
IHSG pada Kamis (21/12/2020) ditutup di level 6.165,52, atau menguat 1 persen (d to d) dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Secara month to date, IHSG telah mengalami peningkatan sebesar 9,86 persen.
Demikian pula dengan nilai tukar rupiah pada tanggal yang sama, yang tercatat berada di level Rp14.130 (d to d) dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Secara month-to-date, rupiah hanya terdepresiasi sebesar 0,07 persen.
Dari gambaran itu, level nilai tukar rupiah telah mendekati level sebelum pandemi Covid-19. Aliran Foreign Direct Investment (FDI) yang terus meningkat juga mendukung upaya pemulihan 2021.
Indikator lain yang memberikan gambaran cerahnya sektor industri adalah laporan Purchasing Managers Index (PMI) yang mulai menunjukkan tanda-tanda ekspansi. Setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19.
PMI Indonesia sempat tercatat di level 50,8 pada Agustus 2020. Namun, indeks itu turun lagi di bulan berikutnya pada level 47,2. Naik lagi pada Oktober menjadi 47,8, dan pada November kembali menunjukkan ekspansi di level 50,6. Indikator satu negara sudah mulai ekspansif bila nilainya sudah di atas 50 poin.
Dari sisi utilisasi juga tergambar bahwa terpaan wabah pandemi Covid-19 cukup memukul sektor industri pengolahan. Ini terlihat dari utilisasi pada Januari--Maret 2020, yakni sebesar 76,29 persen.
Akibat adanya pandemi Covid-19, utilisasi mengalami penurunan produktivitas menjadi 59,20 persen pada periode April--November 2020. Pada Desember 2020, rata-rata utilisasi industri sudah mendekati 60 persen.
Investasi Pengolahan
Kabar yang bahkan cukup menggembirakan adalah tidak adanya pengaruh terhadap investasi industri pengolahan, selama pandemi Covid-19. Indikator itu bisa terlihat dari data bahwa hingga September 2020, pertumbuhan investasi industri pengolahan naik 31,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Gambaran di atas merupakan wajah makro ekonomi nasional. Lantas bagaimana kinerja industri pengolahan yang digadang-gadang sebagai motor penggerak di sektor industri? Dari data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan kinerja industri pengolahan nonmigas sempat terpuruk pada triwulan II/2020 di -5,74 persen. Tapi, kemudian mulai menggeliat menjadi -4,02 persen pada triwulan III/2020.
Meski masih mengalami kontraksi, kini sejumlah industri mulai tumbuh. Terutama, industri yang disumbang dari subsektor. Misalnya, industri kimia, farmasi, dan obat tradisional yang tumbuh sebesar 14,96 persen. Lalu, ada industri logam dasar (5,19 persen).
Selain itu, ada pula industri pengolahan lainnya. Seperti, jasa reparasi dan pemasangan mesin serta peralatan sebesar 1,15 persen. Demikian pula kinerja ekspor selama Januari--Oktober 2020 yang berhasil mencatat nilai USD118,23 miliar dan mengalami surplus sebesar USD13,12 miliar. Ekspor itu didukung oleh beberapa sektor seperti industri makanan dan minuman dengan tumbuh 27,59 persen, industri logam dasar (20,82 persen), dan sub sektor kimia, farmasi, dan obat tradisional sebesar 11,85 persen.
Bagaimana dengan peluang 2021? Pemerintah menyakini peluang 2021 masih cukup besar, sepanjang bangsa ini bisa memanfaatkan game changer di masa pandemi, yakni berupa pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Di sisi lain, faktor yang juga menjadi key driver adalah UU Cipta kerja.
Peluang ke depan yang wajib dioptimalkan adalah sejumlah aktivitas perjanjian kerja sama perdagangan internasional yang semakin terintegrasi. Misalnya, melalui perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) secara luas oleh seluruh negara Asean dan lima mitra dagang besar, Indonesia-EFTA (European Free Trade Association), Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) Indonesia-Australia, dan CEPA Indonesia-Korea.
Untuk perjanjian RCEP saja, perjanjian dagang multilateral itu mencakup 29 persen populasi dunia, 27 persen perdagangan dunia, 30 persen PDB dunia, serta 29 persen FDI dunia. "Aktivitas semua perjanjian perdagangan itu harus dioptimalkan untuk mendorong kinerja ekspor dan meningkatkan posisi Indonesia dalam global value chain. Sehingga, dapat meningkatkan daya saing serta mendorong masuknya FDI."
Begitu juga dengan perjanjian perdagangan fasilitas generalized system of preference (GSP) yang akan ditingkatkan menjadi limited trade agreement (LTA). "Ini tentu memberikan optimisme dan mendorong kinerja ekspor nasional."
Selain optimalisasi melalui sejumlah kesepakatan dagang, baik multilateral maupun bilateral, pemerintah juga menyiapkan strategi lainnya, seperti tetap berpihak kepada sektor UMKM, menjaga ketahanan pangan, pengembangan kawasan industri, mandatori B-30, program padat karya dan program pengembangan ekonomi digital, penyusunan Daftar Prioritas Investasi (DPI), serta pembentukan lembaga pengelola investasi (sovereign wealth fund).
"Aktivitas semua perjanjian perdagangan itu harus dioptimalkan demi mendorong kinerja ekspor dan meningkatkan posisi Indonesia dalam global value chain sehingga dapat meningkatkan daya saing serta mendorong masuknya FDI," tutur Agus Gumiwang.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini