Pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Pengesahan RUU itu akan berdampak positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Pasalnya, RUU HKPD itu mengamanatkan penyederhanaan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Bahkan, PDRD itu berpotensi mendongkrak penerimaan hingga 50 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pengesahan RUU HKPD jelas akan berdampak positif bagi PAD. Sebagai ilustrasi, hasil simulasi yang dilakukan pemerintah menunjukkan, penerimaan PDRD bagi kabupaten/ kota diperkirakan dapat meningkat hingga 50 persen dari Rp61,2 triliun menjadi Rp91,3 triliun.
Artinya, penerimaan seluruh pemerintah daerah (pemda) dapat bertambah hingga Rp30,1 triliun pada tahun depan. “Perubahan pengaturan pajak daerah termasuk tarif, justru akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah secara terukur,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (7/12/2021).
Dalam rapat ini, DPR resmi menyetujui RUU HKPD untuk disahkan menjadi undang-undang. Adapun salah satu tarif yang akan diubah adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kebijakan ini tertuang dalam Pasal 41 UU HKPD yang menaikkan batas atas tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) 0,5 persen atau lebih tinggi dari ketentuan batas maksimal tarif PBB-P2 saat ini sebesar 0,3 persen.
Berlakunya UU HKPD berpotensi mengerek pendapatan daerah. Pengelolaan belanja pun menjadi pekerjaan rumah agar penambahan kas membawa manfaat bagi masyarakat.
Perlu diketahui, setelah disahkan Selasa (7/12/2021), poin-poin aturan dalam UU HKPD itu akan berlaku secara bertahap, mulai dari 2023, hingga bersifat transisi sampai 5 tahun sejak beleid itu berlaku.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa UU HKPD memiliki desain untuk mereformasi alokasi sumber daya fiskal, pemberian kewenangan pemungutan pendapatan, hingga penguatan belanja daerah.
Hal tersebut semata-mata bertujuan untuk mewujudkan pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah. Menurutnya, kebijakan desentralisasi fiskal sudah berjalan dua dasawarsa, tetapi pelaksanaannya masih banyak menghadapi masalah.
Masih terjadi disparitas karena tidak semua daerah memiliki potensi yang seimbang, sehingga reformasi kebijakan fiskal dinilai perlu. Menurut Sri Mulyani, berhasilnya desentralisasi untuk membantu pencapaian tujuan bernegara sangat tergantung dari kapasitas atau kinerja daerah dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut.
“Selain itu sejauh mana sinergi gerak langkah antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan harmonis,” ujar Sri Mulyani.
Potensi Naik
Adapun, UU HKPD membuka potensi bertambahnya pendapatan daerah, di antaranya melalui pilar pengembangan sistem pajak dan sejumlah ketentuan. Misalnya, dalam pengaturan dana bagi hasil (DBH), terdapat kenaikan DBH untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dari sebelumnya 90 persen menjadi 100 persen, atau sepenuhnya bagi pemerintah daerah.
Sri Mulyani pun menjelaskan bahwa DBH cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok naik dari 2 persen menjadi 3 persen. Kemudian, UU itu pun mengatur bagi hasil DBH sumber daya alam (SDA) kepada daerah pengolah dan daerah yang berbatasan langsung dengan penghasil, meskipun berada di provinsi berbeda.
Biasanya, DBH hanya diberikan kepada daerah pengolah dan daerah berbatasan di provinsi yang sama, sehingga terdapat daerah yang tidak memperoleh pendapatan meskipun lokasi usaha berada di dekat wilayahnya.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan baru itu dapat meningkatkan kapasitas pemerintah daerah. “Melalui kebijakan-kebijakan DBH tersebut, hasil simulasi dengan menggunakan data penerimaan negara tahun 2021, diperkirakan alokasi DBH akan meningkat sebesar 2,74 persen, yaitu dari Rp108,2 triliun menjadi sebesar Rp111,2 triliun,” ujar Sri Mulyani.
UU itu pun membuka peluang penambahan jenis DBH lain, seperti di sektor perkebunan kelapa sawit. Penambahan itu merupakan tindak lanjut atas aspirasi beberapa fraksi di DPR yang meminta pengembalian DBH di sektor perikanan.
UU HKPD pun mengatur dana alokasi umum (DAU) sebagai komponen terbesar transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), dengan mengamanatkan earmarking untuk pendanaan pembangunan sarana dan prasarana.
Pemerintah dan DPR pun menyepakati pengalokasian DAU tidak menyamaratakan kondisi seluruh daerah, yakni melalui klasterisasi dan pertimbangan kebutuhan fiskal.
Menurut Sri Mulyani, aturan baru itu pun akan menyederhanakan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), agar dapat mengurangi biaya administrasi pemungutan.
UU HKPD mereklasifikasi jenis pajak daerah dari 16 menjadi 14 dan merasionalisasi retribusi daerah dari 32 menjadi 18 jenis layanan. Kemudian, UU HKPD pun mengenalkan mekanisme opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dengan tarif 66 persen.
Selain itu, akan terdapat opsi tambahan retribusi, seperti untuk pengendalian perkebunan kelapa sawit. Sri Mulyani menyampaikan bahwa berbagai ketentuan pajak, bersama upaya peningkatan kualitas administrasi perpajakan, dapat menambah penerimaan PDRD kabupaten/kota hingga 50 persen, yakni dari Rp61,2 triliun menjadi Rp91,3 triliun.
Wakil Ketua Komisi XI Fathan berkomentar, berlakunya UU HKPD yang menuntut reformasi desentralisasi fiskal. “Saya berharap hal tersebut dapat menekan ketimpangan fiskal yang terjadi di berbagai daerah.”
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari