Di tengah peningkatan inflasi sejumlah negara lain, inflasi Indonesia masih terkendali pada level yang rendah dan stabil.
Pemulihan ekonomi negara ini semakin nyata. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan fakta tersebut. Lembaga itu baru saja melaporkan angka inflasi Indonesia periode November 2021 yang mencapai 0,37 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Sementara itu, inflasi di periode itu dibandingkan November 2020 (year on year/yoy) mencapai 1,75 persen. Pencapaian inflasi itu masih sesuai dengan ekspektasi pasar dan juga mengindikasikan pemulihan ekonomi.
Bahkan, BPS menyebutkan tingkat inflasi secara bulanan maupun secara tahunan di periode ini merupakan yang tertinggi sepanjang 2021. Menurut Kepala Badan Pusat Statistk Margo Yuwono, tingkat inflasi secara bulanan maupun tahunan ini merupakan yang tertinggi sepanjang 2021.
“Perkembangan inflasi secara bulanan terjadi inflasi 0,37 persen. Selama 2021, ini merupakan inflasi yang tertinggi. Sementara itu, secara tahunan inflasi pada November tercatat 1,75 persen, ini juga tertinggi sepanjang 2021,” katanya, Rabu (1/12/2021).
Dalam kesempatan itu, BPS juga melaporkan inflasi inti tumbuh 1,44 persen secara yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 1,33 persen. Inflasi inti berisi kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun, sehingga kenaikannya bisa menjadi indikasi membaiknya daya beli masyarakat.
Margo menjelaskan, peningkatan inflasi pada periode laporan didorong oleh permintaan yang meningkat seiring dengan semakin baiknya mobilitas masyarakat. "Inflasi naik itu tanda-tanda pemulihan ekonomi pada umumnya," tegasnya.
Bila diperinci lebih jauh lagi, masih menurut laporan BPS, inflasi inti di November ini tecermin dari kenaikan harga minyak goreng, telur ayam ras, dan tarif angkutan udara, yang memberikan andil tertinggi terhadap inflasi, masing-masingnya sebesar 0,08 persen, 0,06 persen, dan 0,05 persen.
“Jika bicara kenaikan inflasi, berarti antara supply dan demand, lebih tinggi demand-nya sehingga terjadi kenaikan harga. Jadi bisa disimpulkan faktor permintaan lebih dominan yang mempengaruhi inflasi pada November 2021,” jelas Margo.
Adapun, dari 90 kota pantauan lembaga tersebut, sebanyak 84 kota mengalami inflasi dan enam kota deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Sintang sebesar 2,01 persen.
Berdasarkan komponen pengeluaran, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatatkan inflasi tertinggi, sebesar 0,84 persen, dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,21 persen. Penyumbang inflasi tertinggi lainnya, adalah kelompok transportasi, sebesar 0,51 persen dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,06 persen.
Mengomentari laporan BPS, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, penurunan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh daerah sepanjang November mendorong pemintaan domestik semakin meningkat yang tecermin dari realisasi inflasi November 2021.
Meskipun demikian, tambah Airlangga, secara tahunan realisasi inflasi November masih berada di bawah kisaran sasaran inflasi 2021 sebesar 3 plus minus 1 persen. Inflasi pada level konsumen yang masih terkendali juga ditopang oleh Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) yang rata-rata bergerak stabil di sekitar 2,5 persen (yoy) sepanjang 2021.
“Di tengah peningkatan inflasi sejumlah negara lain, inflasi Indonesia masih terkendali pada level yang rendah dan stabil,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (1/12/2021).
Dari gambaran data inflasi yang disajikan BPS harus diakui fenomena yang sama juga terjadi di berbagai negara dunia yang sedang mengalami disrupsi rantai pasok dan kenaikan harga energi karena keterbatasan suplai.
Hal tersebut mendorong Indeks harga produsen di sejumlah negara meningkat tajam dan berdampak terhadap peningkatan harga di level konsumen (inflasi). Contohnya adalah Jerman.
Negara benua biru itu tercatat indeks harga produsen yang naik dari 0,85 persen di Januari 2021 menjadi 18,4 persen di Oktober 2021, mendorong inflasi meningkat di atas level 5 persen (yoy).
Menurut Menko Perekonomian, inflasi November terutama disumbang oleh komponen inflasi harga bergejolak (volatile food/VF) yang mengalami inflasi 1,19 persen (mtm), 3,0 persen (yoy) dengan andil 0,20 persen. Beberapa komoditas VF yang menyumbang terhadap inflasi November antara lain minyak goreng, telur ayam ras, cabai merah, dan daging ayam ras.
Di sisi lain, komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,17 persen (mtm), 1,44 persen (yoy) dengan andil 0,11 persen terhadap inflasi November terutama didorong adanya kenaikan harga emas perhiasan, sewa rumah, dan kontrak rumah.
Lebih lanjut inflasi inti November juga lebih tinggi dibanding inflasi Oktober yang sebesar 0,07 persen (mtm) dan 1,33 persen (yoy). “Pelonggaran level PPKM juga mendorong mobilitas masyarakat terus meningkat meskipun masih dibatasi dengan syarat perjalanan yang cukup ketat,” ujar Airlangga.
Pendapat yang sama juga dikemukakan Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, Rabu (1/12/2021). Menurutnya, ke depan, Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna menjaga inflasi sesuai kisaran targetnya.
“Inflasi inti tetap rendah di tengah permintaan domestik yang mulai meningkat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi,” ujarnya.
Harus diakui inflasi yang terjadi di periode November masih sesuai dengan ekspektasi dan juga tanda-tanda mulai pulihnya ekonomi secara umum. Harapannya, pemerintah tetap bisa mengendalikan inflasi inflasi pada level yang rendah dan stabil.
Namun munculnya varian baru virus corona, yakni yang dinamai Omicron, patut diwaspadai karena dapat menimbulkan ancaman inflasi baru.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari