Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan peta jalan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) lima tahun ke depan agar lincah (agile), berdaya tahan (resilient), adaptif, dan kontributif dalam memberi akses keuangan kepada para pelaku UMKM dan masyarakat di daerah.
Pandemi virus corona di tanah air yang berlangsung sejak 21 bulan terakhir telah mengubah perilaku masyarakat dalam hal ekonomi terutama transaksi keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, akumulasi nilai transaksi daring (gross merchandise value) di Indonesia selama 2021 mencapai USD70 miliar (Rp1.000 triliun) dan diprediksi menembus USD146 miliar di 2025.
Angka pencapaian di 2021 ini merupakan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bahkan mengalahkan Vietnam (USD57 miliar) dan Thailand (USD56 miliar). Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan keuangan digital tersebut didorong oleh maraknya perdagangan elektronik (e-dagang) di Indonesia, yakni sebesar USD53 miliar atau tumbuh 52 persen dibandingkan 2020 dengan USD35 miliar.
Hal itu juga ditunjang oleh bonus demografi dan membawa Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi tinggi dalam peningkatan ekonomi dan keuangan digital. Di samping itu selama 2020 hingga semester pertama 2021 ada sebanyak 72 persen dari konsumen baru digital atau 15 juta orang berasal dari daerah nonmetropolitan.
Sepanjang Januari 2021 saja, seperti dilaporkan OJK, dari aktivitas perdagangan elektronik di Indonesia, sebanyak 93 persen pengguna internet mencari produk yang diinginkan secara daring. Sebanyak 78,2 persen dari mereka menggunakan aplikasi belanja daring dari telepon genggam. Sedangkan 79,1 persen pengguna internet membeli produk mereka lewat telepon genggam.
Berdasarkan laporan tadi, sebagian besar pemilik usaha yang merupakan sektor usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) akan berupaya meningkatkan pengguna layanan keuangan digital dalam 1-2 tahun ke depan. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) untuk menangkapnya.
Demikian dikatakan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam peluncuran secara daring Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Industri BPR-BPRS (RBPR-BPRS) 2021-2025 di Jakarta, Selasa (30/11/2021). Peta jalan tersebut memiliki visi agar BPR-BPRS bisa menjadi bank yang lincah (agile), memiliki daya tahan (resilient), adaptif, dan kontributif dalam memberi akses keuangan kepada para pelaku UMKM dan masyarakat di daerah.
Akselerasi transformasi digital menjadi satu di antara empat pilar penting yang ditekankan di dalam RBPR-BPRS. Pilar ini mengedepankan digitilasasi di industri BPR-BPRS dan optimalisasi layanan transfer dana lewat pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi (TI). Kemudian meningkatkan penggunaan teknologi terkini pada BPR-BPRS.
Salah satu upaya yang dilakukan OJK adalah dengan mengajak para pengelola BPR-BPRS untuk berkolaborasi dengan layanan teknologi finansial (tekfin) yang kerap disebut sebagai shadow banking ini. Heru yang juga Anggota Dewan Komisoner OJK ini menyebutkan, BPR-BPRS jangan alergi terhadap tekfin.
Sebaliknya, BPR-BPRS harus memanfaatkan kemajuan teknologi digital pihak tekfin untuk memberi kemudahan layanan kepada para nasabah. "Begitu juga dengan tekfin, mereka dapat memanfaatkan jaringan BPR-BPRS hingga ke pelosok. Kami akan terus mendorong manfaat ini supaya BPR-BPRS semakin kuat ke depannya dan bagaimana kolaborasi ini bisa saling menguntungkan," kata pria kelahiran Salatiga, 5 September 1956 itu.
Berdasarkan keterangan Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto, sudah 31 perusahaan tekfin di Indonesia menggandeng 51 BPR. Kolaborasi ini mampu meningkatkan portofolio kredit kedua pihak hingga 40 persen pada 2021.
Heru menambahkan, penguatan BPR-BPRS dilakukan untuk meningkatkan inklusi dan akses keuangan pada masing-masing wilayah kerja. Apalagi selama ini 99,1 persen penyaluran kredit atau pembiayaan oleh BPR-BPRS didominasi oleh nilai di bawah Rp500 juta. Baru sekitar 49,8 persen komposisi penyaluran kredit mengarah kepada sektor produktif.
Padahal pasar pengembangan BPR-BPRS masih sangat luas, termasuk untuk UMKM sebagai nasabah utama. Ini lantaran 99,9 persen sektor usaha pada 2019 dipegang UMKM. Namun, dari jumlah tersebut, baru 24 persen yang mempunyai rekening kredit dan 85 persen dari UMKM di Indonesia belum mengambil langkah digitalisasi.
Terlepas dari itu semua, BPR-BPRS pun memiliki sejumlah tantangan terkait digitalisasi ini. Hasil Survei Kajian Digitalisasi Layanan Perbankan OJK 2019 diketahui, sebanyak 69 persen nasabah BPR-BPRS membutuhkan layanan yang dapat mereka akses selama 24 jam. Ini selaras dengan survei The Financial Brand pada 2020 terhadap community bank di Amerika Serikat. Di mana tantangan terhadap bank berskala kecil adalah teknologi, data, dan layanan kepada nasabah.
Tahan Banting
Selama pandemi berlangsung, kinerja BPR-BPRS masih terjaga dan tumbuh positif. Dalam kurun Januari-September 2021, aset BPR-BPRS tumbuh 8,9 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Demikian pula dengan tingkat penyaluran kredit yang naik 4,33 persen, dan pengelolaan dana pihak ketiga (DPK) melonjak sampai 11,27 persen.
Jika dilihat dari non performing loan (NPL) atau rasio kredit macet pun masih sangat terkendali dan dikelola dengan sangat hati-hati. Indikator lain terkait ketahanan perbankan seperti rasio permodalan, profitabilitas, hingga likuiditas dari BPR-BPRS juga menunjukkan hal serupa.
"Kami melihat ketahanan permodalan BPR-BPRS masih sekitar 23,86 persen dan rasio pembiayaan terhadap simpanan cukup baik. Ini menandakan bahwa walau didera pandemi, industri BPR-BPRS masih menunjukkan perkembangan sangat bagus. Mereka tetap berdaya tahan dalam menghadapi Covid-19," terang Heru yang pernah menjabat Kepala Departemen Pengawasan Bank III Bank Indonesia itu.
Dalam sebuah webinar di Jakarta beberapa waktu lalu, Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan bahwa seluruh BPR sangat prudent saat pandemi. BPR, kata Joko, membiayai segmen UMKM produktif dan memiliki arus kas (cashflow) baik lantaran UMKM skala mikro memiliki ketahanan lebih baik dari usaha besar.
Penyaluran kredit berada di angka tiga persen dan kredit tumbuh mencapai 12,7 persen. "BPR-BPRS berperan dalam mendukung program pemerintah sebagai mitra UMKM di mana potensinya besar di pengusaha mikro dan tidak tersentuh perbankan," katanya seperti dikutip dari Antara.
Menurut Deputi Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat, ada tiga kelompok kegiatan usaha BPR-BPRS berdasarkan permodalannya. Yaitu BPRKU I dengan modal di bawah Rp15 miliar, BPRKU II (Rp15 miliar-Rp50 miliar), dan BPRKU III dengan permodalan di atas Rp50 miliar.
Hingga September 2021 OJK mencatat ada 1.481 BPR beroperasi dan 164 BPRS. Jumlah tersebut berkurang 156 BPR (9,53 persen) jika dibandingkan 2015 (1.637 BPR) karena adanya merger dan konsolidasi. Dari jumlah 1.481 BPR tersebut, sebanyak 1.138 adalah BPRKU I atau 75,8 persen, 272 BPRKU II (18,4 persen), dan 71 BPRKU II (4,8 persen).
Saat 2015, dengan 1.637 BPR rinciannya ada 1.444 BPRKU I, 158 BPRKU II, dan hanya 35 BPRKU III. Artinya, dalam hampir enam tahun terakhir ada banyak BPR naik kelas. Jumlah BPRKU I berkurang 306 unit, BPRKU II naik 114 unit, dan BPRKU III bertambah 36 unit. Di samping itu, BPRKU III menguasai total aset yakni Rp68,277 triliun (42 persen), penyaluran kredit Rp49,6 triliun (41 persen), dan pengelolaan DPK sebesar Rp45,4 triliun (41 persen).
Jaring Pengaman
Untuk menjaga industri BPR-BPRS agar makin kuat, sejumlah jaring pengaman telah disiapkan oleh OJK. Misalnya, panduan strategi antifraud dan penerapan aplikasi OJK BOX atau OBOX kepada BPR-BPRS.
Dalam peluncurannya di Jakarta, 2 November 2021, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK Bambang Widjanarko mengatakan bahwa OBOX adalah sebuah aplikasi pintar. Fungsinya untuk memungkinkan bank berbagi data dan informasi bersifat transaksi dalam periode tertentu melalui repository. Sehingga informasi dan data dari BPR-BPRS terutama bersifat transaksional dapat diketahui lebih cepat dan efektif oleh pihak OJK.
OBOX awalnya dikembangkan pada 2019 untuk diimplementasikan kepada perbankan umum. Ini adalah salah satu langkah OJK dalam melaksanakan pengawasan berbasis teknologi (supervisory technology/suptech).
Uji coba OBOX telah dilakukan terhadap 33 BPR dan 11 BPRS dengan hasil sangat baik. Penerapan penuh OBOX di BPR-BPRS dimulai awal November 2021 dan pelaporan dilakukan tiap dua minggu, di mana periode pertama berlangsung pada 1--15 November 2021.
Dalam rangka pengawasan tingkat kesehatan (TKS) BPR-BPRS, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) nomor 15/POJK.03/2021 pada 31 Agustus 2021. Aturan baru ini untuk meningkatkan efisiensi, mendorong penyederhanaan pelaporan BPR-BPRS, dan mendukung pengaturan berbasis principle based dan tidak lagi rule based.
Dalam POJK tersebut, Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis digabungkan menjadi Laporan Pelaksanaan dan Pengawasan Rencana Bisnis. POJK juga mengatur soal strategi penghimpunan dana dan penyaluran kredit atau pembiayaan serta kebijakan manajemen risiko. Untuk proyeksi laporan keuangan, sedikitnya memuat laporan posisi keuangan, laba rugi, dan rekening administratif.
OJK juga menyiapkan percepatan proses perizinan produk dan layanan BPR-BPRS lewat pemanfaatan teknologi serta mengembangkan early warning system. OJK berharap, dengan demikian, terjadi perubahan pada kepemimpinan dan manajemen risiko, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, pebaikan infrastruktur TI, dan terjadinya kolaborasi sebagai enabler terhadap RBPR-BPRS ini.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari