Dengan memegang Presidensi G20, Indonesia akan mendorong cairnya dana pengendalian iklim dari negara maju. Program kampung iklim (Proklim) membantu menurunkan angka karhutla.
Pemerintah serius menjalankan komitmennya melalui aksi nyata berkenaan dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Target Nationally Determined Contribution (NDC), bahwa pada 2030 Indonesia bisa menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional, akan dilakukan sejalan dengan upaya-upaya mencegah kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Kesungguhan untuk memenuhi komitmen tersebut disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam siaran pers refleksi akhir 2021, yang dirilis Kamis (24/12/2021). Pemenuhan target itu akan dilaksanakan secara kolektif di antara kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim di Indonesia.
Dari target 29% penurunan GRK itu, kontribusi sektor kehutanan, di bawah tanggung jawab KLHK, telah ditetapkan sebesar 17,2%. Sektor energi, yang berada di bawah kendali Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perindustrian akan menyumbang 11%. Sektor limbah di bawah KLHK, Kementerian PUPR, dan Kemenperin dibebani 0,38%, dan sektor pertanian bertanggung jawab atas kontribusi sebesar 0,1%.
‘’Setiap sektor sudah diberikan target masing-masing, sudah diturunkan ke dalam subsektor, dan diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Dengan adanya peta jalan mitigasi dan adaptasi yang rinci dan jelas, semoga apa yang kita diharapkan bisa memenuhi target, bahkan dapat melampaui target,” kata Direktur Jenderal Pengendalian dan Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi, pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 KLHK, yang dihelat secara virtual itu.
Pada rangkaian forum konferensi perubahan iklim COP-26, yang digelar awal November di Glasgow, Skotlandia, Presiden Joko Widodo menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mencapai target NDC di tahun 2030. Jalan yang sudah ditempuh adalah dalam skenario low-carbon compatible with Paris Agreement (LCCP) pada 2060, dengan komitmen utama adalah pelaksanaan forest and land use (FOLU) Net Sink 2030.
Skema FOLU itu meminta emisi GRK di kawasan hutan negatif, dalam arti lebih banyak karbon yang diserap ketimbang yang diemisikan. Indonesia bertekad untuk terus menekan deforestasi, meski tak berarti berhenti total memanfaatkan lahan hutan untuk pembangunan. Namun, penggunaan lahan hutan di satu tempat akan diimbangi dengan rehabilitasi hutan di tempat lainnya.
Laksmi Dhewanthi menyebut, dokumen long-term strategy on low carbon and climate resilience (LTS-LCCR) 2050 sebagai visi dan formulasi kebijakan Pemerintah Indonesia. Di dalam dokumen LTS-LCCR itu ada tiga skenario yang dikembangkan, yaitu skenario utama low carbon compatible with paris agreement (LCCP), skenario with current policy, dan skenario transisi.
Dokumen LTS-LCCR berisi uraian teknis mendukung skenario LCCP, dengan target penurunan emisi GRK sebesar 29% pada 2030. Pada tahun itu pula, sektor kehutanan akan menghadapi kondisi FOLU Net sink. Diharapkan dengan berpijak pada keberhasilan pelaksanaan FOLU itu, Indonesia bisa mencapai Net-Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
Keketuaan Indonesia dalam G20 pada 2022 juga dipandang memberikan peluang baru. KLHK bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diberi mandat untuk melaksanakan climate sustainable working group, yang mengampu isu energy transition and climate suistainability working group. Di situ, Indonesia dapat mengambil prakarsa penerapan prinsip common but differentiated responsibilities and Respective capabilities (CBDR-RC).
Prakarsa CBDR-RC itu memungkinkan negara-negara di dunia bisa memikul yang berbeda dalam penanggulangan perubahan iklim sesuai kemampuan masing-masing. Yang kuat membantu si lemah dalam pelaksanaan net zero emission. Konkretnya, janji pendanaan USD100 miliar per tahun dari negara maju, untuk program perubahan iklim, bila direalisasikan. Setidaknya, secara bertahap.
Untuk mengurangi emisi karbon, masyarakat luas perlu dilibatkan. Emisi karbon itu sendiri tak lepas dari kegiatan antropogenik. Maka, pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam mengendalikan perubahan iklim melalui program kampung iklim (Proklim). Target Proklim 2021 adalah 3.270 desa, dan akan naik menjadi 5.000 desa pada 2022, dan seterusnya menjadi 20.000 desa di 2024.
Masyarakat desa itu akan dilibatkan dalam berbagai program iklim, termasuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang pastinya akan melepas karbon dalam jumlah besar. Program telah berjalan dan hasilnya angka karhutla menurun. Luas areal terbakar di 2021, jika dibandingkan 2014, menurut Laksmi, menyusut 87%. ‘’Karhutla berkurang 1.547.598 Ha, dan tak terjadi lagi asap lintas batas negara pada tahun 2020 dan 2021,’’ ujar Laksmi Dhewanthi.
Fokus perubahan iklim tak hanya berkutat di sekitar GRK. Ada pula isu pengendalian bahan perusak ozon. Kerusakan lapisan ozon tak secara langsung berpengaruh pada pemanasan global, namun akan mendorong perubahan sirkulasi massa udara global, dan membuat perubahan iklim berakibat lebih buruk.
Tanggung jawab pembatasan bahan perusak ozon masuk pula ke Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) KLHK. Ditjen PPI diberikan amanah mengurangi pemakaian HCFC, yakni bahan refrigeran yang dipakai pada mesin AC. Konsumsi refrigeran HCFC (sering disebut R-22), yang secara global mencapai 70.000 ton per tahun, harus diciutkan. Teknologi untuk menggantikan R-22 dengan bahan yang lebih ramah ozone terus dilakukan. Yang penting, menurut Laksmi, aksi kepada teknologi ini harus inklusif.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmaja, yang hadir di forum refleksi tersebut, mengapresiasi pencapaian Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Menurut Sarwono, arahan Presiden Jokowi yang menyatakan leading by example, telah terbukti di lapangan. Indonesia akan menciptakan kepemimpinan dengan contoh, tidak banyak bicara tetapi semuanya konkret dan bisa terukur.
‘’Hal ini terbukti dengan menurunnya laju deforestasi. Karhutla juga lebih terkendali dengan satu sistem informasi yang baik, responsif, dan kerja lapangan yang makin terintegrasi antara berbagai komponen aparat maupun pemerintah,” kata Sarwono, Mantan Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998) dan Menteri Kelautan (1999-2001) itu.
Yang menjadi catatan Sarwono, di sejumlah areal yang menjadi langganan Karhutla, kondisi tanah dan lingkungannya menurun, bahkan rusak. Perlu pengayaan dan pemulihan, agar di atas lahan itu bisa tumbuh hutan yang sehat seperti sedia kala.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari