Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengingatkan adanya potensi risiko yang perlu diwaspadai, baik dari sisi domestik maupun global.
Indikator pemulihan ekonomi bisa dirasakan tatkala semua lini produksi mulai bergerak. Demikian kesimpulan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional, yang kini dipandang sudah dalam tataran normal akibat hantaman pandemi Covid-19.
Dasarnya, adalah setelah melihat sejumlah indikator dari stabilitas sistem keuangan selama 2021 hingga triwulan IV-2021. Menurut KKSK hal ini didorong oleh faktor utama, yaitu penurunan kasus Covid-19 di dalam negeri.
KSSK terdiri dari lima pimpinan puncak otoritas keuangan Indonesia, di antaranya Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),Purbaya Yudhi Sadewa.
KKSK juga menyepakati komitmen bersama untuk terus bersinergi menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) dan momentum pemulihan ekonomi. Apalagi, sebut KSSK, kondisi terkini pandemi Covid-19 yang terkendali dan mulai pulihnya aktivitas masyarakat.
Menurut Sri Mulyani, yang juga merupakan Ketua KSSK, perkembangan kasus harian Covid-19 yang rendah pada triwulan IV- 2021 mendorong pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sehingga mendukung berlanjutnya pemulihan aktivitas ekonomi.
Berdasarkan data, Sri Mulyani menambahkan, berbagai indikator dini hingga Desember 2021 menujukkan perkembangan yang menggembirakan. Beberapa indikator itu, antara lain, mobilitas masyarakat yang melampaui level prapandemi, keyakinan konsumen yang kuat, penjualan eceran yang meningkat, purchasing managers index (PMI) manufaktur yang bertahan di zona ekspansif, konsumsi listrik sektor industri dan bisnis yang meningkat, serta kinerja positif penjualan kendaraan bermotor dan semen.
Demikian pula dengan laju inflasi tetap rendah dengan indeks harga konsumen (IHK) 2021 di level 1,87 persen (year on year/yoy), di bawah kisaran sasaran 3,0 persen ± 1 persen, surplus neraca perdagangan berlanjut pada Desember 2021 dan secara akumulatif di tahun 2021 mencapai USD35,34 miliar. Sementara itu, cadangan devisa berada pada level USD144,9 miliar, setara 8 bulan impor barang dan jasa.
Perkembangan tersebut turut ditopang berlanjutnya perbaikan ekonomi global dengan PMI, keyakinan konsumen, dan penjualan ritel yang tetap kuat. Namun demikian, KSSK juga mengingatkan, terdapat potensi risiko yang perlu diwaspadai, baik dari sisi domestik maupun global.
Potensi risiko dari sisi domestik terutama terkait kenaikan kasus Covid-19. Sedangkan, Sri Mulyani menegaskan, potensi risiko global antara lain berupa gangguan rantai pasok di tengah kenaikan permintaan yang mendorong peningkatan tekanan inflasi, terutama akibat kenaikan harga energi serta berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global sejalan dengan percepatan kebijakan normalisasi the Fed dalam merespons tekanan inflasi AS yang meningkat (Desember 2021: 7,0 persen yoy) serta peningkatan tensi geopolitik di kawasan Baltik.
Paket Kebijakan
Dalam rangka itu, Ketua KSSK menilai, paket kebijakan terpadu berupa peningkatan pembiayaan dunia usaha yang diterbitkan pada Februari 2021, turut berperan dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi.
“Sinergi kebijakan baik yang bersifat across the board (berlaku pada seluruh sektor) maupun yang spesifik pada sektor tertentu (sector specific) berkontribusi dalam menjaga momentum pemulihan di 2021,” ujarnya.
Kebijakan across the board yang diberikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), antara lain, berupa insentif fiskal dan dukungan belanja pemerintah turut menjaga kinerja keuangan dunia usaha dan mendorong daya beli masyarakat serta dukungan kebutuhan penanganan kesehatan.
Berkaitan dengan pemulihan ekonomi, terutama pemberian insentif, tak dimungkiri telah menjadi kebijakan yang benar untuk menjaga momentum pemulihan dunia usaha dari dampak pandemi Covid-19.
Beberapa insentif itu, antara lain, berupa perpanjangan pemberian stimulus pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) untuk properti dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) DTP sektor otomotif. Demikian pula dilanjutkannya stimulus pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor dan diskon 50 persen PPh Pasal 25 guna meringankan beban dari sisi produksi.
Kendati demikian, khusus untuk insentif PPh Pasal 22 Impor dan Pasal 25, otoritas fiskal bakal lebih selektif. Hal itu tecermin dari pemangkasan sektor usaha penerima stimulus.
Langkah ini dinilai berisiko, karena dapat menahan laju pemulihan dunia usaha. Apalagi, pandemi tengah bergejolak karena varian Omicron.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perpanjangan insentif untuk properti dan kendaraan bermotor dilakukan karena efektif menciptakan efek berganda sepanjang 2021. Namun, untuk stimulus PPh, pada tahun ini hanya berfokus pada klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang masih terdampak pandemi seperti jasa pendidikan, angkutan, akomodasi, serta jasa makanan dan minuman.
“Itu adalah sektor yang masih di bawah level prapandemi, yang kemudian kami respons dengan memberikan perhatian,” tutur Menkeu.
Perpanjangan stimulus fiskal itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 3/PMK.03/2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19 yang diundangkan pada 25 Januari 2022. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor berlaku hingga 30 Juni 2022, sedangkan diskon PPh Pasal 25 diberikan untuk Masa Pajak Januari 2022 sampai dengan Masa Pajak Juni 2022.
Pemerintah pun memangkas daftar penerima insentif tersebut dari cakupan dalam regulasi sebelumnya, yakni PMK No. 149/ PMK.03/2021. Jumlah penerima dipangkas dari 481 KLU menjadi 156 KLU untuk penerima diskon PPh Pasal 25, sedangkan sasaran pembebasan PPh Pasal 22 Impor dipangkas dari 397 KLU menjadi 72 KLU.
Sektor usaha yang tidak lagi menerima insentif, antara lain, konstruksi, instalasi, perdagangan besar, hingga perdagangan eceran. Menurut Sri Mulyani, sektor yang dikeluarkan tersebut telah berhasil mencatatkan pertumbuhan yang setara dengan prapandemi sehingga tidak lagi membutuhkan pendampingan fiskal.
Sektor usaha yang telah pulih itu, antara lain, pertambangan dan industri logam, industri makanan minuman, real estat, kehutanan, hingga perkebunan. Adapun, sektor yang masih rentan, antara lain, industri kulit, alas kaki, tekstil pakaian jadi, kertas, kayu, dan semen.
Kalangan pelaku industri merespons positif pemangkasan sektor penerima fasilitas pembebasan PPh Pasal 22 Impor. Terlepas dari semua itu, kerja keras KSSK untuk menjaga perekonomian nasional, terutama di era pandemi yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, tentu patut dihargai.
Bahkan, berbagai risiko seperti disampaikan Sri Mulyani di atas, termasuk adanya tren mulai meningkat lagi wabah melalui varian baru Omicron, berpotensi memperlambat laju pemulihan yang sudah berada di jalurnya. Harapannya, semua itu bisa dikendalikan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari