Indonesia.go.id - Angkot KRL, MRT, LRT Bergandeng Tangan

Angkot KRL, MRT, LRT Bergandeng Tangan

  • Administrator
  • Sabtu, 30 Maret 2019 | 14:44 WIB
INTEGRASI TRANSPORTASI
  Presiden Joko Widodo resmikan MRT di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/3/2019). Sumber foto; Antara Foto

Pengguna transportasi  massal terus meningkat. Kereta listrik, MRT, LRT, Transjakarta, dan angkot perlu diintegrasikan. BPT Jabodetabek tidak cukup punya otoritas untuk mengurai kerumitan yang ada.

Setelah menembus enam masa jabatan Presiden RI dan sembilan Gubernur DKI, selama hampir 34 tahun, kisah tentang kereta MRT (mass rapid transit) Jakarta itu kini menjelma ke alam nyata. Jalur MRT Fase-1 dari Lebakbulus–Bunderan HI sepanjang 15,7 km telah dioperasikan. Didampingi sejumlah menteri dan Gubernur DKI Anies Baswedan, Presiden Joko Widodo meresmikan MRT itu dari panggung mungil di tepian jalan lingkar Bunderan HI,  Ahad (24/3/2019) pagi.

Di hadapan ribuan massa yang memadati Bunderan HI, dalam kata sambutannya, Presiden Jokowi menjanjikan bahwa  jalur bawah tanah HI-Kota sepanjang 8,1 km akan berlanjut, sehingga koridor MRT Selatan-Utara sepanjang 23,1 km itu bisa selesai pada 2024. Sementara itu, koridor Barat-Timur sepanjang 87 km akan dimulai  2019 ini juga. Setuju? ‘’Setuju...,’’ gemuruh suara massa menyambut tawaran Jokowi.

Bukan hanya kereta MRT, dalam waktu dekat ini warga Jakarta juga bakal  menikmati layanan LRT (light rail transit). Pada tahap pertama kereta LRT ini akan beroperasi di Jakarta Timur, pada ruas Velodrome (Rawamangun)– Kelapa Gading sepanjang 5,8 km. Rail LRT itu melayang 9-12 meter di atas tanah.

Kelak jalur Kelapa Gading-Velodrome ini akan terkoneksi dengan LRT jalur Selatan,  ke arah Bogor melalui Cibubur dan ke Timur hingga Cikarang melalui Bekasi. Titik koneksinya di Cawang.  Koridor  ini masih dalam penyelesaian. Koridor Jakarta Timur itu akan terhubung ke pusat melalui  Stasiun Manggarai.

Dibanding MRT, postur LRT memang lebih kecil dan ringan. Ukuran kabin LRT 11,5 m panjang, dan  lebarnya 2,6 m. Daya angkutnya maksimum 118 orang. Dengan panjang rangkaian 3 kereta, sekali jalan penumpang yang bisa diangkut 360 orang. Ada pun kabin MRT panjangnya 20 m, lebar 2,9 m, dengan kapasitas maksimum 332 orang. Dengan enam kabin per rangkaian, MPT dapat membawa 1.950 orang per trip.

Moda baru MRT dan LRT ini adalah upaya pemerintahan untuk menghadirkan transportasi massal, bukan hanya untuk Jakarta saja, tapi untuk daerah sekitarnya, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Nyaris seperti Jakarta, daerah Bodetabek ini juga dicengkeram oleh persoalan transportasi yang tak efisien. 

Penduduk  Jabodetabek saat ini hampir 30 juta jiwa dengan mobilitas yang amat tinggi. Seiring penduduk bertambah, permukiman berkembang, tata ruang yang ada tidak tergarap dengan baik. Penambahan jalan raya nyaris tak berarti dan kemacetan lalu lintas menjalar ke mana-mana.

Secara umum, kawasan Jabodetabek ini mengalami empat gejala khas, yakni kemacetan yang menjadi-jadi, peran angkutan umum tidak optimal, infrastruktur angkutan umum terbatas, dan minimnya alokasi dana publik untuk pendanaan operasional kendaraan umum.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1553957134_MRT_JAKARTA.png" style="height:374px; width:665px" />Moda baru MRT. Sumber foto: Antara Foto

Dalam beberapa tahun terakhir, tampak ada perkembangan yang menarik dari kontribusi kereta api listrik commuter line. Ada jalur Jakarta-Bogor yang bercabang ke Cibinong-Nambo, Utara, ada jalur Tangerang-Jakarta-Bekasi-Cikarang dan ada pula Jakarta-Rangkas Bitung (Banten). Kereta murah dan ber-AC ini melayani ratusan ribu komuter setiap harinya. Tapi, tetap saja tidak cukup.

Penambahan moda transportasi massal lainnya sangat diperlukan. Maka, kereta MRT dan LRT hadir sebagai moda transportasi  massal baru dan menjadi bagian dari solusi  jangka panjang. Pemerintah sendiri tampaknya kini sudah lebih percaya diri untuk mengoperasikan  transportasi massal setelah berhasil membenahi  commuter line yang berbasis kereta listrik dan bus TransJakarta.

Penumpang commuter line kini sekitar 1 juta per hari. Capaian ini  berlipat tiga kali dibanding 2006, dan naik lebih dari 50 persen dari 2014. Sementara itu jaringan bus Transjakarta dapat mengangkut 189 juta penumpang sepanjang 2018, atau rata-rata 520 ribu per hari. Naik 31% dari 2017. Padahal, 2011-2015 tren penumpang Transjakarta sempat susut 10 persen, tapi  sejak 2016 terus meningkat. Bahkan, 2019 diperkirakan akan mengangkut 230 juta penumpang (708 ribu per hari), dua kali lipat dari capaian 2011.

Toh, persoalan masih bertumpuk. Sebagian warga masih enggan memakai jasa moda transportasi massal. Kendati  biaya angkutan umum dan massal dijaga relatif rendah, tapi  masih ada kesulitan menjangkau halte atau stasiun angkutan massal. Kalau pun dapat  dijangkau, ada masalah ongkos, karena seringkali penumpang harus satu-dua kali menggunakan kendaraan umum sebelum sampai ke stasiun atau halte yang dituju.

Belum lagi, pada jam-jam  sibuk, penumpang harus berjejalan di kabin transportasi massal. Jumlah gerbong commuter line memang terbatas dan sulit ditambah lagi karena akan menganggu banyak persimpangan sebidang dengan jalan raya. Tapi di sisi lain, jumlah bus Transjakarta memang masih memungkinkan terus bertambah.

Sejauh ini,  pengguna kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) masih sangat besar. Kemacetan lalu lintas semakin menjalar. Penambahan ruas jalan dianggap bukan solusi. Seperti terjadi di kota-kota besar di  Asia, penambahan ruas jalan  hanya mengundang penambahan populasi kendaraan pribadi. Suka atau tidak, transportasi massal dianggap solusi yang paling masuk akal. Transportasi massal harus terus dikembangkan dan diintegrasikan satu sama lain.

Agar transportasi massal itu berfungsi  maksimal, perlu ada pengaturan ulang rute dan sepesifikasi kendaraan umum, agar moda ini secara efisien menghubungkan permukiman warga ke stasiun dan halte transportasi massal. Tapi, yang ini pun bukan urusan mudah. Kendaraan umum yang sebagian besar dioperasikan swasta itu telah memiliki rute masing-masing.

Penataan rute dan spsifikasi angkutan umum bukan urusan mudah. Ada konsekuensi bisnis bagi pengusaha. Belum  lagi, urusan rute ini menjadi kewenangan Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota, kepolisian setempat, dan perlu dukungan Organda (Organisasi Angkutan Daerah). Lantas, bila perlu terminal baru, siapa yang harus menanggung biayanya?

Kerumitan ini  yang mendorong Presiden Joko Widodo bertekad untuk membentuk badan khusus untuk mengelola, mengkordinasikan, dan mengingrasikan segala macam moda transportasi umum. Dalam sidang terbatas terkait Kebijakan Pengelolaan Transportasi se-Jabodetabek, di Istana Bogor, Selasa (19/3/2019), Presiden Joko Widodo mendesak agar badan itu terbentuk paling lambat Juni 2019.

Selama tiga tahun belakangan, telah beroperasi Badan Pengelola Transportasi Jobodetabek (BPTJ) di bawah Kementerian Perhubungan. Namun dengan kewenangan yang sangat terbatas, badan ini tak bisa banyak berbuat. BPTJ tak bisa membatasi populasi kendaraan umum dengan rute tertentu, dan mengalihkan ke rute tang mendekati ke jaringan transportasi massal. Sementara itu, di banyak rute, populasi kendaraan umum yang ada melampaui kebutuhan.

Maka, badan yang otoritatif untuk mengelola transportasi publik ini memang diperlukan. Dia perlu punya kewenangan besar dan dukungan anggaran yang besar pula. Dua hal tersebut diperlukan untuk mengurasi keruwetan masalah transportasi publik di Jabodetabek. (P-1)