Ekonomi Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh sebesar 5,2 persen di 2022 dan sebesar 5,3 persen pada 2023.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi ke depan, lanjut Haryo, komponen konsumsi rumah tangga perlu diperkuat sebagai penopang produk domestik bruto (PDB).
Sejumlah lembaga dunia telah memberikan prediksi bahwa ekonomi dunia tahun depan diselimuti awan gelap sebagai bagian dari sejumlah risiko global yang patut diwaspadai Indonesia.
Salah satunya adalah terkereknya inflasi sebagai respons dari tetap tingginya suku bunga Bank Sentral AS. Bahkan, tahun depan, suku bunga acuan The Fed akan mencapai 5 persen setelah lembaga moneter AS itu baru saja menaikkan kembali bunga acuan 50 bps (basis points) menjadi 4,25-4,50 persen pada Rabu (14/12/2022) waktu setempat.
Namun, pemerintah tetap menyakini dan optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu mencapai target di level 5,2 persen pada 2022 dan diproyeksikan 5,3 persen pada 2023. Optimisme itu telah dikemukakan dalam beberapa kesempatan oleh pemerintah, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
“Dengan pertimbangan berbagai risiko global dan domestik, kami optimis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen tahun 2022 dan sebesar 5,3 persen di tahun 2023,” ujarnya, Kamis (15/12/2022).
Untuk tahun 2023, pemerintah telah menetapkan arah kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2023 dengan tema “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan” mulai dari percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, peningkatan kualitas SDM di bidang kesehatan dan pendidikan, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat pada 2022 dapat menjadi bekal untuk menghadapi potensi resesi global pada 2023. Mobilitas masyarakat yang semakin pulih menjadi determinan utama pendorong aktivitas ekonomi Indonesia. Pemerintah juga akan terus mengambil langkah-langkah responsif dalam menjaga daya beli masyarakat di tengah tren kenaikan inflasi global.
“Dengan fundamental yang kuat, ditambah meningkatnya posisi Indonesia dalam kancah ekonomi internasional, pemerintah optimis bahwa kebijakan dan program yang tengah dicanangkan dapat mendorong kemajuan yang sangat signifikan di berbagai sektor perekonomian serta dapat meredam tantangan global,” tutur Menko Airlangga.
Bagaimana dengan pendapat Gubernur Bank Indonesia? Sependapat dengan Airlangga Hartarto, Perry Warjiyo juga mengingatkan sejumlah risiko global yang patut diwaspadai Indonesia tahun depan, khususnya tingkat suku bunga Bank Sentral AS yang tetap tinggi.
“Tahun depan, Fed funds rate atau suku bunga acuan The Fed akan mencapai 5 persen untuk merespons inflasi,” kata Perry saat membuka acara seminar nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) secara daring, Selasa (14/12/2022).
Inflasi AS sudah menurun dalam lima bulan berturut-turut ke level 7,1 persen pada November lalu, namun masih jauh dari sasaran 2 persen. Untuk memerangi inflasi, The Fed diperkirakan kembali menaikkan bunga acuan 50 bps menjadi 4,25-4,50 persen pada Rabu (14/12/2022) waktu setempat dan mencapai 5 persen tahun depan.
Sementara itu, Direktur Riset The Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Haryo Kuncoro mengatakan, meski sudah melandai, level inflasi AS masih dianggap tinggi dibanding target The Fed sebesar 2 persen.
“Kenaikan suku bunga The Fed masih terbuka hingga posisi 5,25-5,5 persen. Proses pengetatan moneter AS bisa berlangsung setidaknya 2 tahun ke depan,” ujarnya.
Kebijakan The Fed itu, lanjut Haryo Kuncoro, niscaya berdampak pada perekonomian Indonesia. Potensi capital outflow menguat karena investor mengejar return yang lebih tinggi.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi ke depan, lanjut Haryo, komponen konsumsi rumah tangga perlu diperkuat sebagai penopang produk domestik bruto (PDB).
“Insentif dari sisi fiskal masih dibutuhkan untuk menangkal dampak pengetatan kebijakan moneter global. Jangan lupa juga manajemen supply side-nya untuk meredam inflasi domestik. Itu strategi ke dalam,” ucapnya.
Untuk strategi keluar, lanjutnya, hilirisasi menjadi kunci agar mampu mengekspor produk olahan dengan harga yang lebih tinggi. Perolehan ekspor ini lebih bisa diandalkan untuk menambah cadangan devisa, guna memberi rasa aman pelaku pasar dari risiko gejolak nilai tukar rupiah.
Peneliti Indef Bidang Perdagangan, Industri, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, industri manufaktur nasional sebenarnya berpotensi tumbuh di atas 5 persen pada 2023, di tengah ancaman resesi dan pelemahan permintaan global. Besarnya pasar dalam negeri yang bisa digarap dan dukungan kebijakan pemerintah terhadap produk lokal masih membuka potensi pertumbuhan tinggi bagi industri di tanah air.
“Peluang sektor manufaktur untuk tumbuh positif masih cukup lebar. Kuncinya di pasar domestik. Kalau menggunakan skenario business as usual, pertumbuhan bisa 4,3--4,6 persen. Tetapi kalau ada akselerasi, bisa di atas 5 persen,” kata Ahmad.
Wakil Ketua Umum Koordinator bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, pengusaha belum bisa bernafas lega saat ini. Apalagi, tambahnya, The Fed besar kemungkinan masih akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi AS turun ke level inflasi yang ditargetkan 2 persen.
“Mengenai ekonomi nasional, sejujurnya belum bisa bernafas lega atau bersantai-bersantai. Pemerintah harus terus vigilant (tetap waspada) menjaga stabilitas ekonomi nasional, khususnya mengatasi pelemahan nilai tukar, pengendalian inflasi, serta meningkatkan kinerja ekspor yang mudah terdampak dengan tekanan/fluktuasi kondisi ekonomi global,” ucapnya.
Shinta mengatakan, hal itu bisa dilakukan dengan sejumlah cara, antara lain, tetap mengendalikan pertumbuhan impor konsumsi, memaksimalkan ekspor melalui kemudahan pembiayaan ekspor dan penyederhanaan perizinan ekspor untuk produk-produk ekspor. Selanjutnya, meningkatkan fasilitasi dan edukasi ekspor untuk UMKM, khususnya ekspor ke negara-negara pasar nontradisional.
Kemudian, melakukan reformasi struktural untuk membenahi mismatch dalam rantai suplai industri dalam negeri, serta memastikan ketersediaan dan kelancaran distribusi barang/jasa di seluruh indonesia untuk mengendalikan inflasi.
“Banyak cara dan kami harap pemerintah konsisten menstimulasi kegiatan ekonomi nasional secara produktif (bukan konsumtif). Sehingga, penciptaan produktivitas ekonomi dan lapangan kerja betul-betul terjadi, untuk menjamin stabilitas ekonomi dan mendongkrak pertumbuhan,” kata Shinta.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari