Pemerintah sepertinya sangat serius menggarap potensi pajak ekonomi digital. Kali ini yang menjadi sasaran adalah perusahaan jasa layanan streaming online yang kini tengah jadi tren di pelbagai negara.
Wajar saja pemerintah berencana mengejar pajak kepada perusahaan penyedia jasa layanan streaming online. Pasalnya, Netflix Tax—istilah pengenaan pajak bagi penyedia jasa layanan berbasis streaming online milik Amerika Serikat, Netflix—akan diterapkan di beberapa negara, seperti Australia dan Singapura.
Seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, penerapan kebijakan tersebut memang saat ini tengah disiapkan untuk diterapkan di beberapa negara, seperti di Australia dan Singapura. Perusahaan tersebut dinilai telah meraup untung dari penjualan jasanya tanpa memberikan kontribusi pajak atas hasil penjualannya itu.
"Oleh karena itu, mereka wajib untuk membayar pajak. Di Australia, di Singapura mereka sudah menetapkan untuk mengutip pajak dari Netflix ini, di sana namanya bahkan Netflix Tax," kata dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, (29/10/2019).
Suara yang sama juga dikemukakan Menkominfo Johnny G Plate. "Mereka juga gencar masuk ke sini. Iklan pun ada di dalamnya. Nah ini yang harus dilihat lebih jauh. Apakah sudah memenuhi segala kewajibannya atau belum?” ujarnya.
Namun, Sri Mulyani juga mengingatkan, pengenaan pajak bagi perusahaan tersebut tidak memungkinkan. Persoalannya, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP mengharuskan pemerintah untuk menarik pajak penghasilan bagi suatu perusahaan jika memiliki Badan Usaha Tetap atau BUT di Indonesia.
Negara ini pernah mengalami masalah yang sama terhadap Google. Mereka juga menggunakan argumen yang sama. Tapi akhirnya mereka pun patuh dan bersedia untuk mengenakan PPN 10% kepada pemasang iklannya.
Sama seperti disampaikan Sri Mulyani berkaitan dengan persoalan yang akan muncul bila mengenakan Netflix Tax terhadap penyedia jasa layanan on demand asal AS itu, Google pun mengemukakan alasan bahwa mereka tak memiliki kantor secara fisik di negara yang bersangkutan meskipun dalam praktiknya mereka tetap menerima advertising, bahkan bentuk adsense itu kini sudah lebih variatif.
Alhasil, pajak pun tak terpungut. Potensi tax right Indonesia pun menjadi hilang. Isu soal pengenaan wajib pungut pajak (tax right) terhadap operasi perusahaan digital berskala global juga dikeluhkan beberapa negara.
Dalam pertemuan Menteri Keuangan Kelompok Ekonomi G20 di Fukuoka, Jepang, Juni lalu, masalah itu sempat menjadi bahasan. Akhirnya, dalam pertemuan itu pun disepakati untuk membuat kerangka baru perpajakan ekonomi digital secara internasional.
Terlepas semakin derasnya desakan untuk mengenakan pajak bagi pelaku ekonomi digital transnasional seperti Google, pengumuman Google melalui PT Google Indonesia yang berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% kepada pemasang iklan yang beralamat di Indonesia tentu cukup melegakan.
Wujud dari komitmen Google itu, seperti disampaikan dalam keterangan pers mereka beberapa waktu lalu, mereka patuh pada peraturan pajak di Indonesia. Bahkan, pelaku ekonomi transnasional itu juga mengumumkan pemberlakuan pengenaan PPN itu mulai per 1 Oktober 2019.
Tuntutan Wajar
Sangat wajar Pemerintah Indonesia menuntut pengenaan pajak kepada pelaku digital termasuk yang berskala global. Pasalnya, mereka beroperasi di wilayah Indonesia yang pasarnya luar biasa.
Satu survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) dan dirilis pada Maret 2019 menyebutkan dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 264,16 juta orang, 64,8% penduduknya sudah melek internet, itu setara dengan 171,17 juta orang.
Dari sisi penggunanya, survei itu juga terungkap bahwa penggunaan smartphone (ponsel) menjadi alat yang sangat dominan sebagai alat untuk akses internet setiap hari, yakni mencapai 93,9%.
Laporan APJII juga mengungkapkan ternyata mereka lebih banyak menggunakan paket data/kuota seluler untuk bisa terhubung internet dengan persentase mencapai 96,6%, koneksi wifi di kafe/restoran (30,6%), ruang pubik (29,5%).
Bagaimana dengan Netflix? Data dari Nakono.com menyebutkan, pelanggan streaming Netflix Indonesia menunjukkan tren pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Pada 2017, total pelanggan streaming Netflix Indonesia mencapai 95.000 pelanggan. Pada 2018, pelanggan Netflix Indonesia tumbuh 2,5 kali lipat menjadi 237.300 pelanggan.
Pada 2019, jumlah pelanggan Netflix di Indonesia diperkirakan mencapai 482.000 atau meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan 2018. Dan tahun depan, jumlah pelanggan Netflix diprediksi mencapai 907.000 pelanggan atau melejit 88,35% dibandingkan dengan 2019.
Data jumlah pelanggan tersebut mengacu pada pelanggan streaming dan akun pelanggan yang dapat ditagih secara individu, bukan total pemirsa Netflix yang jumlahnya lebih besar. Sebagai informasi, Nakono merupakan perusahaan riset yang fokus kepada penelitian di bidang ekonomi digital.
Dalam konteks pengenaan pajak itu, Indonesia bisa mengacu kepada Australia. Negara jiran itu kini juga sedang mengejar pajak perusahaan digital tersebut. Mereka hanya diwajibkan membayar pajak tak kurang 1% dari pendapatannnya pada Netflix. Perusahaan tersebut hanya membayar pajak tak kurang 1% dari pendapatannya pada 2018.
Sebagai gambaran, raksasa digital itu meraup USD600 juta hingga USD1 miliar dari pelanggan lokal Australia pada 2018, tetapi hanya membayar sekitar USD340.000 dalam bentuk pajak (0,06%).
Terlepas dari semua itu, pelaku ekonomi digital transnasional seperti Google, Facebook, Youtube, dan Netflix, pengenaan pajak di wilayah operasi aplikasinya sudah tidak bisa dihindari. Mereka seharusnya patuh terhadap kebijakan negara setempat.
Mereka seharusnya mengikuti apa yang telah dilakukan Google yang akhirnya berkompromi dengan Pemerintah Indonesia. Jadi, kita tunggu lagi kerelaan pelaku ekonomi digital berskala global lainnya untuk segera patuh terhadap regulasi perpajakan di wilayah negara operasinya karena itu wujud tax right negara setempat. (F-1)