Ekonomi digital Asia Tenggara berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tanda-tanda transformasi digital kawasan ini sudah jelas, mereka lahir dan berkembang menjadi perusahaan teknologi unicorn.
Kementerian Komunikasi dann Informatika (Kemenkominfo) bahkan sudah berani menyebutkan negara ini memiliki lima unicorn. Sebutan unicorn merupakan julukan bagi startup yang memiliki valuasi di atas USD1 miliar atau Rp14 triliun.
Kelima unicorn itu adalah Gojek dengan valuasi USD10 miliar (Rp140 triliun), Tokopedia (USD7miliar/Rp98 triliun), OVO (USD2,9 miliar/Rp40,6 triliun), Traveloka ( USD 2 miliar/Rp28 triliun), dan Bukalapak (USD1 miliar/Rp14 miliar).
Yang terbaru dari kelima unicorn Indonesia adalah OVO. Dalam laporan CB Insights bertajuk “The Global Unicorn Club” disebutkan OVO memiliki valuasi USD2,9 miliar.
Banyak model dari pertumbuhan unicorn itu, bisa dilahirkan kemudian diinjeksi dengan modal yang cukup besar. Skema ini yang terjadi pada OVO. Wajar saja, meski mereka sudah menjadi unicorn, disebut-sebut anak usaha yang tergabung di Lippo Grup itu masih berdarah-darah atau merugi.
Namun untuk menjadi sebuah unicorn tentu tidak mudah. Mewujudkannya butuh modal dan kerja keras. Namun semua berpandangan sama, semua aktivitas ekonomi sudah berbasis data. Dan itu semua adalah kue yang gemuk dan renyah.
Bayangkan, dari total penduduk Indonesia yang kini sudah mencapai 265,16 juta jiwa, mengutip satu survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) yang dirilis pada Maret 2019 menyebutkan, dari total populasi penduduk Indonesia itu, sebanyak 64,8% sudah melek internet, atau setara dengan 171,17 juta orang.
Dari sisi penggunanya, survei itu juga mengungkapkan, smartphone (ponsel) merupakan alat yang sangat dominan untuk mengakses internet setiap hari, yakni mencapai 93,9%. Sisanya baru perangkat lainnya, seperti PC atau desktop.
Melengkapi data itu, satu studi yang yang diinisiasi oleh perusahaan raksasa teknologi Google bersama Temasek berupa e-Conomy di kawasan Asia Tenggara 2019 menyebutkan, digital ekonomi Indonesia berpotensi jadi yang terbesar di kawasan itu.
Studi itu menambahkan, pasar digital ekonomi Indonesia berpotensi bisa mencapai USD100 miliar pada 2025, dari USD27 miliar pada 2018. Itu artinya, ada peluang lapangan kerja dan lebih banyak lagi pilihan konsumen melalui piranti itu, terutama bagi generasi muda yang melek terhadap teknologi.
Laporan itu juga mengungkapkan, sumbangan digital ekonomi itu dikontribusikan oleh layanan e-commerce yang mencapai 53%, online travel (25%), layanan sharing ride (14%), dan media online (8%).
Bisa jadi semua benar adanya. Bayangkan, kini semua sudah bisa dikendalikan melalui sebuah genggaman pada satu gadget untuk bisa meraih kue yang gemuk itu, ada potensi pasar yang luar biasa di situ.
Kondisi itu juga memunculkan inovasi dan penggunaan teknologi oleh pengusahan dan perusahaan kecil. Jadi, digital ekonomi memang telah menjadi berkah. Namun, di tengah berkah itu, ada yang benar-benar mampu mengoptimalkan peluang tersebut menjadi bisnis yang luar biasa, terutama penyedia-penyedia platform yang kebanyakan pemain global.
Salah satunya, menjadikan mereka sebagai satu-satunya pemilik lapak adsense dengan menghasilkan uang melalui monetisasi platformnya. Mereka bisa mengeruk pendapatan dari adsense di satu negara bukan asalnya.
Dalam hal ini, Indonesia merupakan pasar yang luar biasa bagi pelaku bisnis itu. Sebaliknya, negara menilai tidak adil karena operasi bisnisnya tak terkena pajak atau ada right tax yang diingkari pelaku bisnis multinasional tersebut.
Menuai Keluhan
Model pengenaan pajak perusahaan multinasional itu sudah lama dikeluhkan oleh sejumlah negara di dunia. Khususnya, sejak digital ekonomi mulai booming. Isu itu pulalah yang mengemuka di Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Riyadh, Arab Saudi, mulai 22--23 Februari 2020.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, juga menyuarakan hal yang sama berkaitan dengan masalah tersebut. “Pembahasan perpajakan internasional menuju solusi global untuk pajak ekonomi digital difokuskan pada empat isu utama,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Senin (24/2/2020).
Merujuk empat isu utama itu, salah satunya adalah masalah pajak ekonomi digital. Pada isu pajak ekonomi digital, para panelis menyepakati, seperti dikutip Menkeu, diperlukan ketentuan perpajakan internasional yang baru guna mengatasi masalah pajak internasional.
Ada beberapa proposal terkait ketentuan tersebut. Pertama, user participation proposal. Artinya, pajak digital dipungut berdasarkan kontribusi pengguna dan hak pengenaan pajak dialokasikan berdasarkan tempat di mana pengguna berada.
Kedua, marketing intangibles proposal, yakni pengenaan pajak didasarkan pada tempat aset tersebut digunakan. Ketiga, significant economic presence proposal, di mana subjek pajak dianggap memiliki kehadiran ekonomi apabila terdapat interaksi dengan pengguna melalui teknologi digital, misalnya platform online.
Isu lainnya yang dibahas adalah mengenai besaran pajak minimum. Para panelis menilai besaran pajak minimum perlu memperhatikan aspek keadilan, efisiensi, transparan, sederhana, dan mendukung konsensus global. “Ini merupakan isu kunci untuk mencapai kesepakatan bersama dan menghindari race to the bottoms,” kata Sri Mulyani.
Selain itu, penentuan minimum pajak juga perlu memperhatikan kepentingan negara dalam menyediakan pembiayaan infrastruktur dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang.
Isu lainnya adalah terkait kepastian pajak. Para panelis menilai standarisasi sistem pajak internasional (single internasional tax system) perlu disepakati agar perusahaan global yang beroperasi internasional mendapat kepastian penghitungan pajaknya.
Isu terakhir adalah soal penyelesaian sengketa (dispute). Para panelis menilai perlu adanya mekanisme yang disepakati bersama untuk menyelesaikan masalah antarperusahaan dan negara bahkan antara perusahaan terhadap perusahaan.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Ratna Nuraini