Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dinilai akan mendorong reindustrialisasi di Indonesia. Berkat omnibus law itu, iklim usaha bisa lebih ramah dan ekosistem industri lebih sehat. Ada optimistis bahwa kontribusi industri manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) nasional ditargetkan mencapai 25% dalam beberapa tahun ke depan.
Tentu, harapan itu bukan hanya impian kosong. Meskipun, dalam beberapa tahun terakhir kontribusi sektor industri terus menurun sampai ke posisi 19,5%, pada 2019. Tapi sebagai negara besar, Indonesia memiliki kemampuan itu dan UU Cipta kerja adalah katalis untuk mewujudkannya, apalagi negara ini sudah memiliki peta jalan (roadmap) Making Indonesia 4.0.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkap optimistisnya soal reindustrialisasi di tanah air. “Tentu untuk mewujudkan itu, kami juga fokus untuk pendalaman struktur industri dan penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0. Hingga kini, kontribusi manufaktur ke PDB masih terbesar dibandingkan sektor ekonomi lainnya,” tuturnya di Jakarta, Minggu (18/10/2020).
Wabah pandemi Covid-19 yang telah memperlambat laju ekonomi nasional dan itu tentu pekerjaan rumah pemerintah dan semua stake holder bangsa agar bisa bergerak keluar menuju pemulihan. Bangsa ini butuh akselerasi pemulihan ekonominya. Dengan segera pulihnya ekonomi, serapan tenaga kerja pun bisa diwujudkan.
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini juga berselimut mendung. Jumlah penganggur mencapai 6,9 juta orang. Pekerja yang terdampak Covid-19 (PHK/dirumahkan), ada 3,1 juta, 10 juta lainnya pekerja paruh waktu, dan ada 8,34 pekerja yang berstatus setengah penganggur. Selain itu, 2,92 juta angkatan kerja baru setiap tahun. Artinya, dari gambaran di atas, lahirnya UU Cipta kerja menjadi kunci solusi dari masalah ketenagakerjaan Indonesia.
Melalui UU Cipta Kerja, sektor industri sebagai motor penggerak utama perekonomian nasional akan terakselerasi, Itu juga berarti ekonomi daerah bergerak dan tenaga kerja pun terserap. Hingga triwulan II, sektor industri memberikan sumbangan tertinggi bagi struktur PDB nasional yang mencapai 19,87 persen. “Kami akan terus melakukan berbagai upaya strategis agar industri manufaktur tetap berproduksi dan berdaya saing di tengah pandemi Covid-19,” ujar Menperin Agus Gumiwang.
Langkah pemerintah terus mendorong laju industri dengan memberikan pelbagai stimulan dan kemudahan berusaha di tengah Covid-19 telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Itu terlihat dari laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik. Lembaga itu melaporkan bahwa denyut industri dalam negeri mulai berdetak kembali, merespons indikasi peningkatan konsumsi global di akhir.
Sinyalemen itu terlihat dari data BPS yang merekam kenaikan importasi bahan baku atau penolong dan barang modal, masing-masing 7,23 persen dan 19,01 persen pada September 2020.
Berikan Dampak
Stimulus yang dikucurkan memang mulai memberikan dampak. Pasalnya, pelaku dunia usaha mulai melakukan impor kedua barang itu untuk memenuhi aktivitas pabrikan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri sekaligus pasar ekspor.
Laporan BPS terbaru menunjukkan, dari lima sektor (migas, pertanian, industri pengolahan, serta sektor pertambangan dan lainnya), geliat ekspor sektor pertanian yang paling moncer selama September (mtm), dengan tumbuh 20,84 persen. Itu diikuti kemudian sektor migas 17,43 persen, industri pengolahan (7,27 persen).
Hanya sektor pertambangan yang turun -4,10 persen. Sementara itu bila dilihat tahunan (year on year), dua sektor yang memberikan sumbangan positif, yakni sektor pertanian yang tercatat tumbuh 16,22 persen dan industri pengolahan 6,61 persen, seperti disebutkan laporan BPS tersebut.
Indikator bahwa industri manufaktur mulai menggeliat tampak dari aktivitas impor bahan baku penolong per Agustus 2020. Impor bahan baku penolong mulai mendekati aktivitas impor selama 2019. Selama periode Januari-Agustus 2020 nilai impornya sudah mencapai USD67,87 miliar berbanding USD83,64 miliar pada periode Januari-Agustus 2019.
Hal yang sama juga ditunjukkan dari neraca perdagangan selama September 2020 yang mengalami surplus USD2,44 miliar. Angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar USD2,33 miliar. Surplus dagang itu ditopang oleh ekspor USD14,01 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan impor USD11,57 miliar.
Kinerja industri pengolahan dan neraca perdagangan seperti digambarkan di atas tentu sebuah kabar baik bagi ekonomi bangsa ini. Namun, bangsa ini tetap masih perlu kerja keras agar pemulihan lebih terakselerasi. Fondasi hukum berupa UU Cipta Kerja diharapkan lebih mempercepat akselerasi itu. Pasalnya UU itu menyediakan jawaban atas upaya penyederhanaan aturan birokrasi di Indonesia.
Tidak itu saja, dari sisi investasi, adanya UU Cipta Kerja di masa pandemi Covid-19 juga berpotensi menjadikan Indonesia mampu merebut investasi di kawasan Asean. Sehingga, terjadi penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Dalam satu kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pelaku usaha akan mendapat manfaat dengan lahirnya UU Cipta Kerja, seperti kemudahaan dan kepastian usaha. Kemudian insentif dan kemudahan dalam bentuk fiskal atau kepastian pelayanan dalam rangka investasi.
"Adanya ruang kegiatan usaha yang lebih luas, agar investasi bisa masuk dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan pemerintah," kata Airlangga, dalam keterangannya, pada Selasa (6/10/2020).
Sinyal itu sudah terlihat dari laporan BPS. Industri manufaktur termasuk industri pengolahan sudah mulai menggeliat. Harapannya di penghujung akhir tahun ini semakin berlari kencang dan tahun depan sudah benar-benar pulih ekonomi bangsa ini.
Namun, peringatan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani juga patut menjadi perhatian bersama. Yakni Menkeu mengingatkan, pemulihan ekonomi sangat tergantung dari kepastian adanya vaksin virus corona.
“Ketersediaan dan akses vaksin sangat diperlukan untuk penanganan Covid-19 serta mendukung pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani dalam pertemuan virtual G20 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, Jumat (16/10/2020).
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Trihusodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini