Kontraksi ekonomi sulit terhindarkan di tengah pandemi global. Tak ayal, pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada Kuartal II (K-2) tahun 2020 pun tersuruk – 5,32 persen, setelah pada K-1 masih bertahan positif 2,97 persen. Pemerintah menyebut kontraksi di K-2 itu tak seburuk negara-negara besar lainnya dalam kelompok ekonomi utama di dunia ditambah Uni Eropa atau G20.
“Indonesia berada di peringkat ketiga di bawah Tiongkok dan Korea Selatan,” demikian dikutip dari Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf: Bangkit untuk Indonesia Maju, terbitan Kantor Sekretariat Presiden pada 20 Oktober lalu.
Laporan tersebut juga menyebutkan, meski Indonesia terdampak kontraksinya tak separah negara lainnya. Dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, pencapaian pertumbuhan ekonomi RI kuartal kedua itu juga masih lebih baik.
Negara-negara G20 adalah Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat serta satu organisasi antarpemerintah Uni Eropa.
Lebih lanjut dalam laporan itu juga disebutkan, pandemi itu berdampak kepada Indonesia dan membuat 3,5 juta pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Selain itu, angka pengangguran naik menjadi 10,4 juta orang, dan angka kemiskinan meningkat menjadi 26,42 juta orang terutama di perkotaan.
Pemerintah menilai kontraksi ekonomi bukan kartu mati karena akan terus digenjot alokasi anggaran dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Posisi kuartal III diperkirakan kontraksinya tak terlalu dalam dan mencatat pertumbuhan negatif 2,9 hingga 1,0 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 oleh Dana Moneter Internasional (IMF) pun telah dikoreksi dari minus 5,2 persen menjadi minus 4,4 persen. Revisi itu menunjukkan telah terjadi pemulihan.
“Ini artinya menggambarkan di beberapa daerah terutama di negara advance terjadi pemulihan yang lebih cepat terutama pada kuartal ketiganya,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa secara daring di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Tak hanya IMF, Sri Mulyani menuturkan, revisi proyeksi ekonomi global untuk 2020 juga dilakukan oleh OECD yakni dari minus 7,6 persen hingga 6 persen pada Juni lalu menjadi minus 4,5 persen pada September. Ia mengatakan, outlook global untuk 2020 lebih baik karena pemulihan ekonomi yang terjadi di beberapa wilayah lebih cepat dibandingkan dengan estimasi awal.
OECD adalah Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (dari bahasa Inggris Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD). Ia merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas.
Meski demikian, menurut Menkeu, risiko utama yang dapat mempengaruhi outlook tersebut adalah eskalasi Covid-19. Maka, ketersediaan vaksin dan penguatan kerja sama multilateral dalam penanganan pandemi, menjadi langkah penting untuk pemulihan.
Hingga kini, masing-masing negara masih melakukan konsolidasi baik dari fiskal maupun moneter dalam mengelola dan menahan perekonomian yang mengalami kontraksi cukup dalam. Hal itu dilakukan karena Covid-19 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan defisit di berbagai negara tertekan sangat berat sekalipun kepada negara dengan kapasitas fiskal yang baik.
“Kalau kita lihat di negara-negara Eropa bahkan yang sudah melakukan all out dari policy mereka, pertumbuhan ekonominya tetap mengalami kontraksi yang luar biasa dalam,” ujar Sri Mulyani.
Ia menyebutkan, untuk Spanyol, kuartal II terkontraksi 22,1 persen dan kuartal III diperkirakan minus 12,3 persen serta Inggris kuartal II terkontraksi 21,7 persen dan kuartal III diperkirakan minus 10,7 persen, karena mengalami pukulan dari brexit yang tidak pasti sekaligus pandemi Covid-19.
Kemudian Prancis kuartal II minus 19 persen dan kuartal III akan minus 9,5 persen, Meksiko kuartal II minus 18,9 persen dan kuartal III diperkirakan masih minus 11,5 persen, serta Italia minus 17,3 persen pada kuartal II dan kuartal III minus 9,7 persen. Untuk India mengalami kontraksi yang termasuk paling dahsyat yaitu minus 23,9 persen pada kuartal II, sedangkan kuartal III diperkirakan juga masih mengalami minus 6,6 persen.
“Bahkan IMF melakukan revisi untuk ekonomi India ini tahun 2020 adalah kontraksi keseluruhannya di atas 10 persen. Luar biasa dalam,” tegasnya.
Malaysia pada kuartal II minus 17,1 persen dan kuartal III diprediksi minus 4,5 persen, Filipina minus 16,5 persen pada kuartal II dan kuartal III akan mengalami negatif 6,3 persen, Singapura kuartal II minus 13,2 persen dan kuartal III akan terkontraksi 6 persen.
Sementara itu, Thailand yang pada kuartal II mengalami minus 12,2 persen, untuk kuartal ketiganya diperkirakan akan mengalami kontraksi di sekitar 9,3 persen karena adanya gejolak politik sehingga kuartal keempatnya akan sulit untuk bangkit.
“Semua negara across the board baik di barat, timur, utara, selatan, maju, emerging maupun developing country semuanya mengalami tekanan yang luar biasa,” tegasnya.
Menurut Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri, ada dua alasan yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak serendah negara lain. Antara lain, perbedaan penerapan kebijakan lockdown. Seperti diketahui, Singapura memiliki kebijakan lockdown yang lebih ketat daripada Indonesia. Kebijakan lockdown yang ketat tersebut berimplikasi pada kontraksi perekonomian yang tajam. Dengan harapan, lockdown tersebut akan membuat pemulihan ekonomi lebih cepat.
"Karena kita terapkan partial lockdown, relatif lebih luwes dibandingkan Singapura, kontraksi di kita relatif kecil dibandingkan negara-negara Singapura, Thailand, dan Filipina," katanya dalam Indonesia Knowledge Forum (IKF) IX 2020, Selasa (6/10/2020).
Menurutnya, semakin terkait dengan perekonomian global, maka pertumbuhan ekonomi akan mudah terpukul karena pandemi. Hal itu pun terjadi pada Singapura yang terikat dengan perekonomian global.
Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang memiliki share trade ekonomi global dengan GDP sebesar 32 persen, sehingga jika terjadi kontraksi pada perekonomian global maka hanya 32 persen saja yang terdampak. "Itu yang menjelaskan kenapa dampaknya relatif ringan dibandingkan negara lain," kata Chatib Basri.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menilai, Indonesia bisa menahan laju kontraksi lebih dalam lantaran sudah disiapkan bantalan berupa bantuan sosial. Bansos memang menjadi jaring pengaman yang disiapkan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Karena kita sudah siapkan program counter cyclical pertama yang dari awal diberikan pemerintah. Bantuan sosial, program padat karya. Ini concern presiden menjadi sangat signifikan karena dari demand side itu bisa terus menggerakkan perekonomian," jelasnya.
Di sisi lain pemerintah juga mengoptimalkan belanja pemerintah untuk mengoptimalkan pertumbuhan. Belanja pemerintah ini diharapkan dapat memperbaiki daya beli dan menumbuhkan sisi permintaan (demand) yang berujung pada pulihnya sisi suplai.
"Demand nanti akan menggerakkan suplai agar kemudian di kuartal III ekonomi nasional kita bisa bangkit tapi tetap tumbuh berkualitas," kata Arif.
Perlu diketahui, perekonomian Indonesia terus menunjukkan perlambatan sejak kuartal I 2020 ini. Pada kuartal IV tahun 2019, PDB nasional mampu tumbuh 4,97 persen. Lantas melambat menjadi 2,97 persen pada kuartal I dan minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 (yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa secara kuartalan, PDB Indonesia tumbuh minus 4,19 persen dari kuartal I lalu.
Kondisi ini merupakan imbas dari pandemi Covid-19 yang tak hanya menekan perekonomian nasional, tapi juga global.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini