Pemerintah perlu melakukan upaya ekstra untuk mengendalikan harga-harga sehingga daya beli masyarakat tidak terganggu di tahun depan.
Pemulihan ekonomi sudah berada pada jalurnya. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen atau IHK pada Oktober 2021 yang mengalami inflasi sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) memberikan optimisme ekonomi mulai pulih.
Menurut Kepala BPS Margo Yuwono, tren seperti itu sudah sesuai dengan polanya. Indikator terjadinya pemulihan ekonomi itu bila permintaan dan transaksi barang mengalami peningkatan.
Namun demikian, dia juga mewanti-wanti pemerintah. Mengapa begitu? Sebab menurutnya, potensi peningkatan harga patut diwaspadai.
“Perlu upaya ekstra dari pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga. Bila kebijakan pengendalian harga tetap terjaga, maka daya beli masyarakat tidak terganggu tahun depan,” ujarnya Senin (1/11/2021).
Laporan BPS itu menyebutkan, Indeks Harga Kosumen atau IHK pada Oktober 2021 mengalami inflasi sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) atau terjadi kenaikan dari 106,63 menjadi 106,66. Sementara itu, inflasi tahunannya mencapai 1,66 persen (year-on-year/yoy) dan tahun kalendernya sebesar 0,90 persen.
Dari 92 kota yang dipantau, sebanyak 68 kota mengalami inflasi dan 22 kota mengalami deflasi. Dari 68 kota tersebut, inflasi tertinggi terjadi di Sampit 2,06 persen, terendah di Sumenep sebesar 0,02 persen.
Adapun, deflasi tertinggi terjadi di Kendari dan terendah ada di Bengkulu. "Inflasi 0,12 persen jika dibandingkan Oktober 2020 lebih tinggi karena saat itu 0,07 persen," ujar Kepala BPS Margo Yuwono.
Berkaitan dengan inflasi tahunannya sebesar 1,66 persen, Margo Yuwono menjelaskan, itu masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu dan merupakan inflasi tahunan pada Mei 2021, sebesar 1,68 persen saat momentum lebaran. "Namun, inflasi ini merupakan yang kedua tertinggi tahun ini," katanya.
BPS juga melihat tren inflasi semakin tinggi jelang akhir tahun 2021. Secara kelompok pengeluaran, inflasi tertinggi dibukukan oleh kelompok transportasi sebesar 0,33 persen dengan andil 0,04 persen.
Menurut Margo, inflasi di kelompok ini dipicu oleh kenaikan angkutan udara yang memberi andil sebesar 0,03 persen. Sementara itu, berdasarkan komponen, harga bergejolak memberikan andil 0,01 dan inflasinya sebesar 0,03 persen didorong oleh harga cabai merah.
Adapun, komponen harga yang diatur pemerintah memberikan andil inflasi sebesar 0,06 persen dan inflasinya sebesar 0,33 persen. Inflasi di sektor ini disebabkan oleh kenaikan tarif angkutan udara, BBM dan harga rokok kretek.
Tren seperti dilaporkan BPS sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Tren ini sudah menjadi tren global sehingga mendorong terjadinya inflasi, bahkan stagflasi.
Adalah sejumlah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris, yang ekonominya mulai pulih setelah melandainya Covid-19, kini dihadapkan pada ancaman stagflasi.
Kondisi Inflasi Tinggi
Kondisi itu diindikasikan dengan inflasi tinggi tapi diikuti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi. Sebagai gambaran utama, tingkat inflasi AS berada di angka 5,4 persen (yoy) pada September.
Namun pertumbuhan ekonomi AS turun signifikan dari 6,7 persen (QoQ) ke angka 2,0 persen (QoQ) selama triwulan III-2021, sementara tingkat pengangguran berada di angka 4,8 persen pada akhir September.
Bagi investor pasar fixed income global, kekhawatiran stagflasi tersebut digambarkan dengan yield curve US Treasuries (T-bonds) yang cenderung mendatar (flattening). Per 28 Oktober 2021, yield T-bonds tenor 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun berada pada rentang yang terbatas, yakni antara 0,06 persen dan 0,15 persen.
Demikian pula yield T-bonds tenor 7—10 tahun yang berada antara 1,44 persen dan 1,57 persen. Sementara itu, yield T-bonds tenor panjang bahkan memperlihatkan inverted, di mana yield tenor 20 tahun (berada di angka 198 persen) melebihi angka yield tenor 30 tahun (yang berada di angka 1,96 persen).
Secara umum, kecenderungan flattening (atau inverted) tersebut menunjukkan adanya risiko yang hampir sama antartenor. Walau hal ini sering terjadi saat transformasi perekonomian dari resesi ke ekspansi dan sebaliknya, juga dapat diartikan dengan ekspektasi investor akan adanya ketidakpastian terhadap prospek perekonomian masa depan.
Yang patut disyukuri, kekhawatiran stagflasi belum terlihat pada perekonomian domestik. Inflasi September cenderung stabil di angka 1,60 persen (yoy), sementara inflasi di Oktober di angka 1,66 persen.
Kekhawatiran terjadinya stagflasi juga sudah diingatkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, di sela-sela pertemuan G20 di Roma, belum lama ini. Merujuk istilah makro ekonomi, stagflasi adalah suatu periode ketika inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan. Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh United Kingdom Chancellor of the Exchequer Iain MacLeod dalam pidatonya di Parlemen Inggris pada 1965.
“Pemulihan ekonomi dunia kini terancam, terjadi kenaikan inflasi, kenaikan energi, terjadinya gangguan pasokan (supply distruption),” ujar Sri Mulyani.
Dalam konteks transmisi, pertama, harus diakui globalisasi telah menyebabkan hubungan antarnegara makin samar dapat menjadi sumber masalah ke depannya. Alhasil, sektor perdagangan dapat menjadi jalur utama transmisi stagflasi global ke dalam negeri, karena tidak hanya dapat menyebabkan permintaan produk-produk Indonesia berkurang.
Akan tetapi juga dapat mengurangi nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja domestik. Tidak hanya itu, kenaikan inflasi, khususnya dari negara-negara mitra dagang utama juga dikhawatirkan dapat merembet ke dalam negeri melalui pengiriman barang-barang impor (imported inflation).
Transmisi kedua, dikhawatirkan dapat berasal dari ekspektasi suku bunga global yang meningkat. Selain tapering-off, risiko peningkatan inflasi juga biasanya direspons dengan kenaikan suku bunga acuan.
Harapannya, risiko stagflasi juga dapat dijaga jangan sampai menjalar ke Indonesia. Sekali lagi, dengan harga komoditas ekspor Indonesia yang meningkat signifikan dan mendorong surplus neraca dagang hingga 17 bulan berturut-turut pada September 2021 diharapkan mendorong multiplier effect bagi ekonomi dalam negeri.
Indikator makro ekonomi berupa realisasi penerimaan negara, khususnya PNBP dan kepabeanan-cukai yang naik masing-masing 22,5 persen (yoy) dan 29 persen (yoy) di periode yang sama juga diharapkan terhindarnya terjadinya stagflasi dan pemulihan ekonomi semakin berada pada jalurnya di penghujung 2021 dan awal 2022.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari