Pertemuan Menteri Keuangan Kelompok Ekonomi G20 di Fukuoka, Jepang, pekan lalu, memberikan sinyal untuk membuat kerangka baru perpajakan ekonomi digital secara internasional. Bagi Indonesia, itu tentu menjadi kabar yang menggembirakan.
Meski baru akan menjadi konsensus pada Pertemuan Menteri Keuangan G20 di Arab Saudi pada 2020, namun Pertemuan G20 di Fukuoka, Jepang itu telah menyepakati sistem perpajakan yang baku bagi ekonomi digital.
Melalui kerangka baru itu, kini perusahaan ekonomi digital raksasa dunia, seperti Google, Facebook, atau Amazon, tidak lagi bisa menghindari dari pengenaan pajak di satu negara meski mereka tidak hadir secara fisik di negara tersebut.
Selama ini, perusahaan ekonomi digital skala internasional seperti Google, Facebook, atau Amazon, merasa nyaman dan bisa berkelit untuk menghindari pengenaan pajak di negara operasi mereka.
Mereka bisa meneguk keuntungan dari berbagai negara tanpa membuka kantor fisik. Namun dalam praktiknya, mereka tetap menerima advertising, bahkan bentuk adsense itu kini sudah lebih variatif. Alhasil, pajak pun tak terpungut. Potensi tax right Indonesia pun menjadi hilang.
Sebelum mencapai komunike bersama, Pertemuan Menteri Keuangan G20 di Fukuoka yang diselenggarakan mulai 8-9 Juni 2019 itu sempat bersitegang, masing-masing dari dua kubu yang berbeda.
Pertama, kubu negara yang dirugikan dari praktik usaha perusahaan digital. Kedua, negara asal perusahaan digital dan negara yang menikmati kehadiran perusahaan digital karena menerapkan tarif pajak sangat rendah.
Dua negara G20—Inggris dan Prancis—sangat vokal menyuarakan kecaman atas praktik pajak perusahaan digital multinasional. Di sisi lain, mereka hanya membukukan keuntungannya di negara-negara yang mengenakan tarif rendah.
Praktik yang dinilai sebagian besar negara yang menjadi wilayah operasi perusahaan digital sebagai praktik yang tidak adil. Negara-negara yang memberlakukan pengenaan tarif pajak rendah, seperti Irlandia dan Luxemburg.
Terlepas dari semua itu, pertemuan itu tetap melahirkan komunike, yakni mendorong penyusunan peraturan umum yang akan menutup celah perusahaan digital multinasional untuk mengurangi pajaknya. Rancangan itu akan dituntaskan dalam pertemuan Menteri Keuangan G20 di Arab Saudi pada 2020.
Sebenarnya, berkaitan pemajakan ekonomi digital, OECD (Oraganization for Economic Cooperation and Development)/ G20 Inclusive Framework BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) telah menerbitkan policy note pada Januari 2019.
Catatan itu berisikan persetujuan untuk memeriksa dan mengembangkan proposal yang lebih konkret. Proposal ini kemudian diartikulasikan pada dua pilar utama yang saling melengkapi.
Pertama, berfokus pada alokasi hak perpajakan termasuk masalah nexus dengan tiga proposal berbeda yang akan memodifikasi aturan yang ada berdasarkan konsep partisipasi pengguna atau user participation, pemasaran tidak berwujud (marketing intangibles) dan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic present).
Ketiga proposal tersebut secara praktis mengalokasikan lebih banyak pajak hak atas yurisdiksi pasar atau dengan kata lain menguntungkan negara seperti Indonesia.
Kedua, mengeksplorasi Global Anti-Base Erosion Mechanism. Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi risiko lanjutan dari pengalihan laba kepada entitas perpajakan yang sangat rendah.
Pasar Luar Biasa
Wajar, Indonesia sangat berkepentingan terhadap pengenaan pemajakan perusahaan digital multinasional yang melakukan praktik dan meraup keuntungan dari bisnis digital di negara ini yang kini lagi mewabah.
Bayangkan, mengutip laporan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) belum lama ini, total populasi penduduk Indonesia sebanyak 264,16 juta orang. Dari total populasi itu, sebanyak 64,8% penduduk sudah melek terhadap internet, atau sebanyak 171,17 juta orang.
Survei itu juga mengungkapkan pertumbuhan pengguna internet mencapai 10,12$ sepanjang 2018 dibandingkan dengan 2017, atau bertambah sebanyak 27,92 juta orang. Dan, survei itu juga mengungkapkan Pulau Jawa tetap menjadi wilayah yang dengan kontribusi pengguna yang tertinggi, Dari sisi penggunanya, survei itu juga mengungkapkan bahwa penggunaan smartphone (ponsel) menjadi alat yang sangat dominan sebagai alat untuk akses internet setiap hari, yakni mencapai 93,9%.
Dan, mereka lebih banyak menggunakan paket data/kuota seluler untuk bisa terhubung internet dengan persentase mencapai 96,6%, koneksi wifi di kafe/restoran (30,6%), ruang pubik (29,5%).
Hasil dari penggunaan medium internet tentu juga memberikan imbas ekonomi berbasis digital. Satu studi dengan judul “e-Conomy di Asia Tenggara’ yang dilakukan Google dan Temasek menyebutkan digital ekonomi Indonesia menjadi yang terbesar di kawasan itu dengan nilai diprediksi mencapai USD100 miliar pada 2025 dari sebelumnya USD27 miliar pada 2018.
Studi itu juga menyebutkan ada empat jasa kunci yang mendorong nilai sebesar itu, pertama, jasa e-commerce yang memberikan kontribusi sebesar 53%, jasa travel online (25%), jasa berbagi transportasi (14%), dan jasa media online (8%).
Pertanyaan selanjutnya, media sosial apa saja yang diakses masyarakat Indonesia? Survei APJII menyebutkan facebook ternyata yang banyak dikunjungi dengan porsi mencapai 50,7%, Instagram (17,8%), Youtube (15,1%), Twitter (1,7%), Linkedin (0,4%) dan lainnya.
Meskipun Indonesia berkepentingan dengan hasil komunike Pertemuan Menteri Keuangan G20 Fukuoka, yang telah menyepakati untuk pengenaan pajak perusahaan digital multinasional, masih perlu menunggu lagi pertemuan G20 di Arab Saudi. Sehingga, Indonesia dapat lebih mengambil langkah unilateral dalam memajaki perusahaan multinasional tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan Pemerintah Indonesia memiliki basis yang kuat untuk memajaki perusahaan digital multinasional itu meski tanpa adanya regulasi baru seperti yang telah dibuat oleh Inggris. Misalnya, dengan skema diverted profit tax atau equlisation levy dari India.
Terlebih, beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah menerbitkan beleid yang mempertegas status bentuk usaha tetap (BUT) dalam rezim perpajakan di Indonesia. “Penerimaan pajak harus ada meskipun konsensus belum tercapai,” ujar Sri Mulyani di BPK, Rabu (12/6/2019).
Sri Mulyani kemudian menyinggung diskusi yang berkembang di pertemuan G20 di Fukuoka, Jepang beberapa waktu lalu. Menurut bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, sebelum ada konsensus yang dilakukan oleh Task Force on Digital Economy (TFDE) setiap negara berhak untuk membuat satu pendekatan yang dianggap adil.
Hanya saja, langkah yang dilakukan pemerintah harus memiliki basis yang cukup kuat untuk digunakan mengumpulkan pajak dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi digital.
Dengan mengambil prinsip tersebut, praktis ketika otoritas pajak nantinya melakukan estimasi, angka-angkanya harus mempunyai basis yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Jadi mereka harus memiliki informasi-informasi yang mendukung estimasi itu baik itu dari aspek penjualan, iklan, atau informasi yang lain,” ungkapnya.
Adapun salah satu regulasi yang menjadi dasar bagi pememerintah untuk memburu pajak dari ekonomi digital adalah PMK No.35/PMK.03/2019 tentang BUT.
Ketentuan mengenai kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 4 ayat 3 PMK No.32/PMK.03/2019 tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menegaskan bahwa BUT kegiatan sebagaimana dimaksud mencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.
Artinya, meski secara fisik tidak hadir di dalam negeri, selama badan usaha tersebut memperoleh penghasilan di Indonesia tetap menjadi subyek pajak bagi Indonesia. Jadi, perusahaan digital multinasional itu kini tidak lagi bisa berkelit. Negara ini wajar untuk memperoleh hak pajaknya (tax right). (F-1)