Indonesia.go.id - Egrang yang Mengubah Desa Buruh Migran

Egrang yang Mengubah Desa Buruh Migran

  • Administrator
  • Rabu, 9 Oktober 2019 | 04:30 WIB
SENI TRADISIONAL
  Permainan tradisional egrang. Foto: Kemendikbud

Ternyata tak sekadar mainan tradisional yang digemari anak-anak. Egrang juga bisa menjadi jembatan untuk banyak hal; mengolah keseimbangan, kepercayaan diri, menggerakkan roda ekonomi dan pariwisata sampai menjadi alat perdamaian. 

Permainan egrang adalah salah satu tradisi yang dimiliki Indonesia dan tercatat dalam buku Javanesse Kinder Spellen yang disusun oleh seorang pemerhati anak-anak pada zaman kolonial Belanda. Buku yang kini ada di Leiden University, Belanda itu, bercerita tentang permainan anak-anak yang berkembang pada masa itu seperti gobak sodor (galah asin / galasin),  kelereng, benteng-bentengan, engklek (gejlik), congklak (dakon), lompat tali, balap karung termasuk egrang dan egrang batok

Bentuknya seperti tongkat dan terbuat dari sepasang buluh bambu atau kayu yang panjangnya bervariasi, sesuai selera dan kebutuhan. Pada satu sisi diberi tempat untuk pijakan kaki. Bila seseorang berdiri diatas pijakan itu dan mulai berjalan dengan egrang, dia akan lebih tinggi dari orang sekitarnya.

Beberapa sumber menyebut bahwa egrang berasal dari bahasa Lampung yang berarti terompah pancung (karena terbuat dari bambu bulat panjang). Di Sumatera Barat dikenal sebagai tengkak (pincang), orang Bengkulu menyebutnya dengan ingkau (sepatu bambu), di Jawa Tengah disebut jangkungan dan di Kalimantan Barat disebut batungkau.

Memainkan egrang tidak semudah dilihat karena berhubungan dengan keseimbangan. Jika egrang terlalu tegak namun tubuh tak sempat menyesuaikan diri, maka akan limbung. Sebaliknya jika terlalu condong ke depan, egrang yang awalnya bisa kita kendalikan, dalam beberapa menit akan kehilangan keseimbangan dan jatuh. 

Mengubah Desa Buruh Migran

Pada tahun 2009, egrang bermetamorfosis di satu desa yang sunyi di kabupaten Jember, Jawa Timur, tepatnya di desa Ledokombo, sekitar 24 km Jember arah utara. Di lereng gunung Raung itu, egrang tak sekadar permainan tradisional tapi menjadi alat menuju harapan karena berhasil mengubah kondisi  desa pemasok buruh migran ini menjadi lebih baik. 

Motor metamorphosis itu dilakukan oleh keluarga Dr Suporahardjo dan Farha Ciciek yang sebelumnya tinggal di Jakarta selama puluhan tahun, kemudian pindah ke desa sunyi di Jember itu karena kesehatan ibunya. Awalnya, Supo memperkenalkan permainan egrang ke kedua anak kandungnya dan mengajak  beberapa anak lain untuk memainkannya mengelilingi desa setiap sore. Kebiasaan itu awalnya terlihat aneh oleh penduduk lokal, karena sebelumnya tak ada yang rutin bermain egrang. 

Kedatangan Supo dan rasa penasaran dua anak kandungnya terhadap egrang, mengubah sebagian besar desa Ledokombo, termasuk anak-anak buruh migran. Supo mengajak mereka bermain, bergembira, berkreasi dan menampilkan potensi mereka melalui pendekatan budaya yaitu egrang. Lalu komunitas Tanoker dibentuk dan memprakarsai festival egrang setiap tahun di desa Ledokombo. 

Kata Tanoker berasal dari Madura yang berarti kepompong. Filosofinya, ulat yang menggelikan akan menjadi kepompong dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu indah. Dia berharap, desa Ledokombo dan anak-anak buruh migran juga akan bermetamorfosis menjadi sebuah desa yang lebih baik dan memberikan harapan yang cerah bagi anak-anak buruh migran. 

Desa Ledokombo (Ledok-ombo artinya tanah becek yang luas) adalah desa yang subur dan terletak di perbatasan Jember dan Bondowoso, Jawa Timur, yang banyak menghasilkan padi, palawija, kopi dan tembakau. Tapi karena sebagian masyarakat tak memiliki tanah luas, akhirnya hanya menjadi buruh tani, selain pedagang kecil, tukang ojek, dan beberapa sektor informal. 

Kondisi itu diperburuk lagi dengan rendahnya pendidikan dan ketrampilan, membuat angka kemiskinan dan kriminalitas cenderung tinggi. Karena tak punya pilihan, maka sebagian besar penduduknya pergi ke kota besar dan luar negeri untuk menjadi buruh migran demi masa depan keluarganya. Sebagian besar masyarakatnya adalah Madura, sebagian Jawa atau campuran keduanya.

Dari 266 desa di kabupaten Jember, beberapa di antaranya memang dikenal sebagai kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW), termasu desa Ledokombo.  Keluarga buruh migran itu menjadi persoalan tersendiri karena mereka meninggalkan anak untuk diasuh oleh kakek neneknya.

Jarak usia yang terlalu jauh antara keluarga pengasuh (kakek-nenek) dan yang diasuh (sang cucu) kerap menimbulkan permasalahan pola asuh anak. Akibatnya, muncul persoalan seperti putus sekolah, kenakalan remaja, hamil di luar nikah, atau perkawinan di bawah umur. Belum lagi tingkat perceraian keluarga TKW, sehingga banyak anak buruh migran dibully teman-temannya dan akhirnya menjadi penyendiri dan tersisih. Mereka sering  berkeliaran di jalan sebagai pelaku kriminal.

Komunitas Tanoker yang dibentuk oleh Supo, punya tujuh kelompok anak-anak berdasar minat yaitu permainan tradisional, membaca dan menulis, memasak, olahraga, musik, menari dan melukis, dengan mekanisme pendampingan. Setiap bulan mereka diminta menampilkan karya sesuai kelompoknya di depan masyarakat dan komunitas  yang diundang. 

Di sela-sela kegiatan, mereka bermain egrang dan permainan tradisonal lainnya dengan gembira. Orang tua termasuk nenek dan kakek anak-anak buruh migran juga dilibatkan dalam banyak pengajaran dan kegiatan. Mereka yakin bahwa pembelajaran tidak saja berlangsung dalam kelas tapi juga luar kelas, bahkan bisa dikemas dalam permainan egrang.

Ada juga beberapa program untuk orang tua. Pengajian yang merupakan kegiatan rutin mingguan disisipi diskusi bok-ebok (ibu-ibu dalam bahasa Madura), misalnya topik pola asuh. Ibu-ibu yang datang mengajukan  permasalahan dan Tanoker berusaha membantu dengan mengundang berbagai ahli untuk berdiskusi dengan mereka. Mereka juga belajar soal makanan yang sehat tanpa zat berbahaya, teknologi seperti internet sampai belajar disain produk.  

Diskusi Melalui Skype

Tak jarang komunitas ini belajar jarak jauh dengan beberapa pihak di luar negeri. Mereka berdiskusi melalui skype dan teknologi lainnya untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan. Mereka juga membincangkan perdamaian dan gerakan anti radikalisme yang menjadi isu internasional. Dari  situ mereka mengenal ciri awal pemuda yang terpapar radikalisme dan cara memulihkannya. 

Singkat kata yang dilakukan Supo dan komunitas Tanoker yang dibentuknya, adalah collaborative parenting, yaitu proses belajar dan pola asuh yang melibatkan keluarga dan permainan tradisional egrang sebagai daya tariknya. Cara itu ternyata efektif untuk menumbuhkan optimisme bagi anak-anak buruh migran. Kreativitas sangat dihargai dan mereka berhasil mengubah kebiasaan serta semangat hidup seluruh desa Ledokombo. 

Kini Ledokombo bukan desa sunyi dengan angka kriminalitas tinggi dan anak-anak yang tak terkelola dengan baik. Kini mereka bergairah mengelola desa wisata yang penuh dengan karya kreatif  seperti usaha batik bermotif egrang,  usaha asesoris dan souvenir egrang dan permainan tradisional lain. Usaha souvenir ini melibatkan mantan buruh migran yang lebih memilih bekerja di desa dan tak ingin kembali ke luar negeri sebagai TKI dan TKW.  

Ada juga diskusi bok-ebok, pak bapak (bapak-bapak), dan yang-eyang (kakek nenek), pesantren yang mengolah usaha kopi dan pasar lumpur yang menyajikan aneka makanan sehat tanpa penyedap dan pengawet. Mereka juga mengelola puluhan homestay dan tempat permainan tradisional seperti gobak sodor, polo lumpur dan lainnya. Beberapa komunitas dari luar kota datang ke desa ini untuk belajar sambil bermain.

Desa ini kini berubah menjadi satu destinasi wisata kreatif dengan festival egrang yang berlangsung setiap bulan September. Jika festival berlangsung, penduduk sibuk menyiapkan banyak hal karena ratusan tamu dari luar kota dan luar negeri akan datang dan menginap. Pada festival egrang ke 10 September lalu, mereka memilih topik ‘Memuliakan Desa’ dengan flashmob ratusan penari yang memakai egrang dan berasal dari berbagai kota. 

Ternyata egrang tak sekadar permainan tradisional. Ledokombo telah membuktikan bahwa permainan itu bisa mengubah desa asal buruh migran menjadi lebih baik. Pemerintah Daerah Jember dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mendukung penuh proses metamorphosis desa ini. (K-CD)